Urip mung mampir Ngombe

 

Urip mung mampir Ngombe

Sepintas kata-kata 'urip mung mampir ngombe' atau 'hidup hanya untuk mampir minum' adalah kata tak bermakna atau mengandung pengertian tertentu. Setiap orang bisa dan boleh saja memaknai diri dan hidupnya sendiri. Bahkan kadang ada juga yang kebingungan ketika mendapati bahwa hidupnya dirasa kurang bermakna, baik bagi dirinya ataupun orang lain. Namun ada juga yang merasa selalu memiliki makna bahkan dikait-kaitkan serta diceritakan ke mana-mana pada siapapun bahwa dia pernah menjadi ini, itu pada saat dulu maupun saat ini. Pemaknaan diri diperbolehkan, gratis dan bebas dilakukan dan sepertinya dilindungi oleh undang-undang dan menjadi hak asasi manusia.

 

Memaknai hidup sendiri sejelek apapun atau sebagus apapun memerlukan proses yang panjang, proses yang berjalan sendiri ataupun diciptakan sendiri untuk membuat seseorang menjadi sesuatu yang diinginkannya atau menemukan dirinya sendiri bahwa memang dirinya seperti itu, secara subyektif menurut diri sendiri atau menurut kata orang lain yang dipercayainya. Proses ini kadang sangat sulit dan harus berbenturan dengan banyak keinginan dan harapan pribadi, sehingga kadang kata-kata 'urip mung mampir ngombe' seakan melecehkan usaha seseorang untuk mencari apa dan siapa dirinya sendiri.

 

Urip mung mampir ngombe, menunjukkan bahwa hidup hanyalah menjalani dan mereguk sesuatu. Dalam hal ini 'air' diumpamakan sebagai sesuatu tersebut, dan hanya 'mampir' tidak tinggal lama, hanya sebentar dan kemudian pergi untuk meninggalkan 'urip'. Hidup memerlukan 'daya', untuk bertahan dan menjalani hidup, salah satu 'daya' yang disebutkan tersebut adalah '' dimana orang-orang pada jaman dahulu kala percaya bahwa air adalah . Jadi jika disederhanakan lagi peribahasa Jawa 'urip ming mampir ngombe' adalah hidup hanyalah tinggal sebentar dan itupun memerlukan air sebagai sumber kehidupannya untuk bisa menjalankan hidup.

 

Hidup bisa juga secara bodoh diartikan sebagai menjalani hidup untuk meneteskan kehidupan lagi sebagai mata rantai cerita, hingga cerita tersebut berakhir. Dari ragam cerita individu-individu yang hidup tersebut menjadi ribuan bahkan milyaran ragam cerita yang berdiri sendiri dan berkait satu sama lain Semuanya memiliki perbedaan dan hikayat tersendiri, dalam satu pagar yang bernama ''. Terlepas dari teknologi, ilmu pengetahuan, budaya, kecerdasan manusia dan gen keturunan, air memberikan jutaan perbedaan yang dialami manusia, dia menemani manusia hidup yang berkembang menjadi memiliki ragam ceritanya sendiri.

 

Ada yang bisa memiliki cerita demikian dahsyat hingga kaya raya dan menguasai dunia, ada yang menjadi maling, ada yang menjadi pembunuh, ada yang jadi ahli dalam perjalanan profesinya, dan tidak sedikit yang gagal dalam memanfaatkan hidup dengan air atau sumber kehidupan yang sama, dalam satu kotak makro 'dunia' dan 'mikro' tubuh serta pikiran. Mengapa ini bisa terjadi sementara katanya Tuhan dengan keadilanNya pastilah menciptakan semuanya sama, dari bahan yang sama, perjalanan yang sama, bahkan sumber kehidupan yang bisa dikatakan sama, yaitu 'air'.

 

Jadi sepertinya istilah 'urip ming mampir ngombe' adalah sesuatu yang sangat ruwet dan panjang sekali. Sekaya-kayanya orang toh ada batasnya ketika makan, dia kenyang, dan ketika kehausan pun hanya akan kuat minum beberapa gelas. Mereka hanya 'mampir' untuk 'meneguk daya kehidupan' dari 'air' untuk melanjutkan hidup sampai kemudian haus lagi. Apa yang kemudian menjadikan tolong-menolong dan saling memberi menjadi semakin hilang. Sumber kehidupan dikuasai dengan modal yang demikian besar, dijual mahal dengan tidak peduli pada yang membutuhkan, sementara pada awalnya disediakan gratis untuk siapapun. Hingga kemudian manusia lahir untuk hidup pun harus membayar, demikian juga ketika mati kembali ke tanah. 

Atas