Syahadat Indonesia

 

Syahadat Indonesia

Memang Gadjah Mada diakui dan selalu masih saja dielu-elukan dengan sumpah palapanya untuk mengayomi dan menyatukan pendapat mengapa Indonesia harus ada. Bahkan peribahasa Bhinneka Tunggal Ika menjadi sebuah kata sakti inklusifnya politik dan misi keIndonesiaan yang berbeda-beda namun tetap satu, meskipun khianat demi khianat untuk mengotorinya selalu saja muncul oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab entah dengan maksud apa, sudah tak jelas lagi bahkan tiada lagi yang menanyakannya. Mengapa juga masih dibutakan dengan sejarah akademis, yang justru terbatas hanya pada sesuatu yang minimalis dan bahkan hanya bisa menarik perjuangan insan nusantara hingga abad ke sepuluh, bukan menarik kembali ke sebelumnya yang lebih detail dan kuno, sangat sulit memang, namun bukankah dari itu kita dapat mengetahui betapa lebih kayanya negeri Nusantara ini yang akhirnya bernama Indonesia, dan yang jelas saat-saat itulah kebijaksanaan dan kearifan lokal lebih terpateri bahkan tanpa kita sadari sepenuhnya, tentang budaya, seni, bahkan perspektif dalam memandang, hingga tanpa adanya perlawanan ketika menerima dengan lapang dada agama-agama baru dari luar yang dengan serta merta dan sangat cepat diadopsi dalam kehidupan bermasyarakat disini. Kerajaan-kerajaan itu bukannya berdiri tanpa arti tentu, produk-produk sastra bahkan tehnologi bukan tidak mungki telah terlahirkan. Meski mungkin dicibir namun keras pedang Majapahit tentunya juga berkualitas seindah samurai mungkin. Lekuk liku keris dengan pamor yang indah, bahkan hitungan tanam menanam, hingga arsitektur yang cukup indah bisa menjadi bukti betapa nenek moyang kita bukan pengangguran, belum lagi wacana akan budi pekerti yang sangat istimewa. Bahkan cerita-cerita tentang kehebatan seseorang yang bisa terbang pun seakan terkikis habis menjadi dongeng, tidak heran bahkan kisah tragedi 1965 yang belum lama sudah seperti cerita tahayul yang siapapun saat ini akan terheran-heran akan kebenarannya. Dan memang untuk saat ini sudah tidak penting lagi (lmao). Perang Diponegoro yang merebak dan meluas hingga merugikan kumpeni pun bisa berubah nilainya karena dianggap hanya membela sejumput tanah milik Pangeran Diponegoro ya Sultan Herucakra karena dipakai untuk pelintasan kereta api, menisbikan kecintaan dan geram Pangeran Diponegoro akan rusaknya monumen Kasultanan Yogyakarta yaitu satu kesatuannya antara Kraton, Tugu dan Merapi sebagai sebuah monumental bathiniyah, dengan dipotongnya jalur itu oleh jalan kereta api, dan menghilangkan nilai-nilai perjuangan yang sarat patriotisme yang bahkan Pangeran Diponegoro pun tidak ingin terjadi tumpahnya darah dan hilannya nyawa ribuan insan pribumi karena perang yang berlarut-larut. Dan dengan mudahnya semuanya hilang karena teks dibuat oleh kekuasaan untuk pembenarannya sendiri. Belum lagi kisah-kisah kepahlawanan lain di bumi pertiwi yang dipelintir sedemikian rupa menjadi hilang nilainya. Bahkan beberapa abad sebelumnya kenangan tentang Syech Lemah Abang, pun hanya tinggal menjadi dongeng dan bisa dihitung siapa yang mau mencoba untuk menggali nilai-nilai perseteruan politik antara Demak dengan Beliau, latar belakang apa, mengapa, pun sudah sangat jauh dan tidak penting lagi, meski konteks kearifan-kearifan dan apapun itu masih terpakai hingga sekarang tanpa disadari dan diketahui asal muasalnya. Hingga mungkin sebuah film "sang pencerah" yang sepertinya bagus namun bisa menyulut dan membakar permusuhan karena demikian kerasnya perspektif yang diemban, yang mungkin ketika tidak ada reaksi, barangkali memang bangsa ini sudah sakit keras dan kehilangan jiwanya. Merah itu apa?, Putih itu apa, barangkali juga tafsir akan dibuat setelahnya, yang penting jadi dahulu, ataukah sudah terformat oleh invisible hand tanpa pernah merasa penting untuk apa dan mengapa harus memilih hari itu untuk mendirikan dan menjadikan satu rajutan kebangsaan Indonesia, entah.. siapa mau berfikir dan mendalaminya.. karena toh tidak membuat perut kenyang... itukah masalahnya? Mengapa Budi Utomo yang isinya ambtenaar, bukan Syarikat Islam, atau Partai Komunis Indonesia yang jelas-jelas bersemangat dan berdarah-darah melakukan pemberontakan kepada Kumpeni pada saat itu, siapa mau menelaah, kalau hanya ingin hidupnya sengsara pada saat sekarang karena jelas-jelas sudah dianggap ekstrim. Sampai kapan ini?, Syahadat Indonesia dimanakah dirimu sebenarnya, sudah barang tentu kehancuran budi pekerti di segala bidang karena memang diimport demi kepentingan yang lain, bukan kepentingan kebangsaan. Terucap semua hormat untuk semua pahlawan dahulu maupun saat ini yang meneguhkan dirinya untuk sadar dan bersyahadat kepada keIndonesiaannya, meski kadang sudah tidak penting lagi karena tidak terbayarkan rasa dahaga dan laparnya. Tentunya memang cikal bakal ruhani Indonesia akan selalu tumbuh subur untuk menjamur dan menjadikan bumi ini tunduk pada sesuatu yang mulia entah itu atas nama Indonesia atau kemanusiaan atau apapun.

Atas