Bagi mereka yang berpikir dan tentu saja terstruktur. Pertanyaan mengenai mengapa, bagaimana dan kenapa bisa begini? menjadi hal penting dan juga pencarian latarbelakang segala proses kejadian. Bahwa seluruh kejadian ada hubungannya, ada sejarahnya, ada kisahnya, bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Pemikiran seperti ini akan sangat mencerahkan banyak orang, ketika dibuka dan transparan, dengan penuh keberanian dan lapang dada. Menyakitkan memang menyakitkan namun masalah bangsa adalah bukan masalah anak kecil yang bisa setiap saat mengambil dan menggunakan pentungan untuk mengintimidasi atau melakukan kekerasan kepada orang lain yang memiliki pandangan yang berbeda. Karena sejarah adalah sejarah, terjadi pada masa lalu sementara saat ini adalah menaganalisa kembali serta menerima apa yang sudah terjadi, menghadapi apa yang baru dengan konteks dan suasana yang berbeda.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders ke Indonesia hingga 25 Maret 2016 lalu ditulis dalam Harian Kompas Cetak tanggal 26 Maret 2016 seperti di bawah ini. Tautan aslinya ada di sini.
Hadapi Sejarah dengan Berani
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders menyebutkan, banyak periode menyakitkan dalam sejarah hubungan antara Indonesia dan Belanda yang sudah berlangsung empat abad. Jika ingin menyongsong masa depan, kita harus berani menghadapi sejarah dengan transparan, termasuk bagian-bagian yang kelam.
Koenders berbicara di hadapan peserta kuliah umum, yang sebagian besar adalah mahasiswa sejumlah universitas di Jakarta, di Erasmus Huis, Jakarta, Kamis (24/3). Perbincangan dilanjutkan secara terpisah bersama Kompas, Jakarta Post, dan Jakarta Globe.
Koenders cukup banyak menyinggung soal hubungan Indonesia-Belanda, termasuk sejarah di era kolonial. "Pada proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945, kita mengalami perpisahan yang menyakitkan, sebuah proses yang ditandai dengan kekerasan. Banyak korban jiwa maupun yang terluka pada masa itu. Pengerahan pasukan Belanda tahun 1947 menempatkan Belanda di sisi yang salah dalam sejarah. Jika masyarakat ingin menyongsong masa depan yang cerah, kita harus berani menghadapi sejarah kita sendiri," kata Koenders.
Menurut Koenders, banyak topik baru ataupun temuan terkait dengan "masa kelam" dalam sejarah Indonesia-Belanda yang muncul dalam beberapa tahun terakhir. "Khususnya di Belanda, ketertarikan terhadap masalah ini terus meningkat. Saya yakin, ini adalah sejarah di mana kita harus punya keberanian untuk menelitinya dan mendiskusikannya agar tidak melupakannya," kata Koenders.
Ada banyak periode kelam dalam sejarah Indonesia-Belanda. Menurut Anda, perlukah transparansi dalam sejarah?
Ya. Namun, karena ini menyakitkan, juga karena di pihak Belanda kami telah berbuat banyak kesalahan, dan banyak kekerasan, adalah penting kedua negara bekerja sama untuk menciptakan transparansi ini. Saya rasa, ini penting. Ini membantu kita untuk melihat ke masa depan.
Saat ini hubungan dagang Indonesia-Belanda sangat baik, tetapi tahun lalu Pemerintah Belanda menentang hukuman mati warganya. Bagaimana mengatasi tantangan perbedaan pandangan terkait hak asasi manusia?
Pertama-tama, hubungan kedua negara sangat baik di berbagai bidang. Di tingkat tinggi, kami mendiskusikan banyak hal secara terbuka dengan penuh kepercayaan. Kami memiliki pandangan berbeda tentang hukuman mati. Kami sepakat untuk tidak sepakat tentang hukuman mati. Ini sikap kami dan sikap Uni Eropa, yaitu menentang hukuman mati. Kami mendiskusikan ini dalam situasi yang produktif. Kami juga sudah menyampaikannya kepada Pemerintah Indonesia.
Bagaimana meningkatkan hubungan bilateral ini menjadi hubungan yang khusus?
Kami, antara lain, telah memperbarui nota kesepahaman tentang strategi maritim. Juga kesepahaman di bidang pendidikan dan kerja sama di bidang penegakan hukum. Masih banyak aturan hukum di Indonesia yang didasarkan teks hukum Belanda.
Terorisme
Belanda saat ini memegang kepemimpinan Uni Eropa sampai dengan 1 Juli mendatang, yang akan digantikan Slowakia. Koenders menyinggung dua topik fokus utama di Eropa saat ini, yaitu terorisme dan krisis pengungsi.
Eropa dan Asia Pasifik, menurut dia, sama-sama harus menghadapi dua masalah itu. Kerja sama antarnegara maupun antarkawasan sangat penting untuk menanggulangi terorisme dan masalah pengungsi.
Terkait terorisme, langkah-langkah keamanan apa yang harus segera diambil Uni Eropa?
Terkait isu keamanan, yang harus diselesaikan adalah penjagaan pantai-pantai di Eropa. Namun, harus dibedakan antara penjagaan terkait terorisme dan terkait pengungsi. Saya harus mengatakan ini agar tak ada salah persepsi. Anda harus memindai (screened) semua orang yang masuk ke Eropa, baik itu migran, pengungsi, siapa pun. Dengan itu kita bersama-sama memperkuat perbatasan luar (external border). Karena begitu perbatasan di dalam (antarnegara Eropa) tak ada lagi, maka Anda memiliki perbatasan luar.
Pasca serangan teror, bagaimana penanganan komunitas Muslim di Eropa? Sempat ada seruan untuk ethnic profiling (pemrofilan berdasarkan etnis).
Tidak akan ada ethnic profiling. Saya menentang itu. Juga religious profiling (pemrofilan berdasarkan agama). Eropa mencoba untuk menunjukkan, kita membutuhkan solidaritas seluruh agama. Ini penting, karena apa yang teroris inginkan adalah memecah belah, menanamkan rasa takut. Itu sebabnya solidaritas di antara kita penting.
Terkait krisis pengungsi, apakah ketika Slowakia memegang kepemimpinan UE, Juli mendatang, tak akan berpengaruh pada kesepakatan UE-Turki? Mengingat Slowakia tahun lalu menentang kuota untuk pengungsi dan melakukan langkah hukum.
Slowakia sudah ikut menyepakati perjanjian itu (UE-Turki). Untuk urusan langkah hukum, tentu kita harus menunggu hasilnya. (MYR)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2016, di halaman 9 dengan judul "Hadapi Sejarah dengan Berani".
Mengakhiri Hubungan yang Menyakitkan
Sungguh ketika berbicara tentang sejarah dan masa depan, adalah berbicara mengenai saat ini, anak-anak kita dan masa tua kita. Bagaimana kita menanamkan tentang dunia masa depan yang harus dihadapi dan masa lalu sejarah terjadinya negara atau terjadinya apa yang terjadi saat sekarang ini. Bagaimana menyiapkan generasi yang mampu bersaing sekaligus mampu menata diri demi kenyamanan seluruh yang ada di negeri ini. Bagaimana kita bisa hidup enak dan sukses ketika tidak menyiapkan anak-anak kita untuk memiliki pemikiran dan kemapanan yang pada saat tua akan kita nikmati sebagai sebuah keberhasilan dalam mendidik generasi.
Kompromi dan rembugan antar generasi adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Pergantian kekuasaan yang mulus tanpa harus ada pengorbanan yang menyakitkan karena perang saudara misalnya, hanya karena saling keras kepala dan 'ngaceng' kekuasaan. Bukanlah hal yang menjadi solusi baik saat ini, besok ataupun di masa yang akan datang. Hal perebutan kekuasaan akan menyisakan banyak sekali masalah yang seharusnya tidak usah dipikirkan oleh para generasi penerus kita.
Bagaimana sakitnya ketika mendengar anak kita membicarakan kekejaman Belanda saat penjajahan yang berlangsung sudah berabad-abad lampau, sehingga sangat membencinya lahir bathin, ketika anak kita pulang dari sekolah di SD misalnya. Jengkel... iya, namun pertanyaan besar yang harus selalu kita lontarkan kepada anak kita juga tidak harus dengan serta merta menyalahkannya karena nanti bisa beresiko pelajaran sejarah atau ilmu sosialnya jeblog, atau menjadi anak aneh yang dianggap menjadi antek Belanda oleh teman-temannya, atau lebih sangat cilaka ketika dimusuhi oleh gurunya. Mengajak diskusi tentang hal-hal yang menyakitkan para nenek moyang kita, dengan sudut pandang saat ini dengan anak-anak kita, toh sekarang bisa dengan seenaknya berlibur, sekolah, kuliah ataupun berbisnis dengan negeri Belanda, Inggris, Jepang ataupun negara Komunis China, atau bekas Uni Soviet.
Jaman sekarang sudah berbeda, mungkin, bahwa yang namanya kolonialisme, penjajahan atau apalah adalah semata sebuah bisnis. Bisnis dalam arti sebenarnya yang dipelajari oleh para kita seperti branding, penguasaan pasar, mendapatkan laba produksi hingga ekspansi pasar dan sebagainya. Yap... bisnis penjajahan, bisnis teror, hingga bisnis perdagangan dan jasa, dapat kita lihat semuanya dalam kategori bisnis. Seperti bisnis agama yang mulia dan halus yang dilakukan sekte yang banyak dimusuhi yaitu bisnis menterjemahkan kitab suci Al-Qur'an ke berbagai bahasa. Sementara bisnis agama yang kasar adalah dengan menyerang kelompok lain, dalam konteks lahir maupun bathin, dengan membunuh maupun dengan wacana.
Hubungan dengan para korban kekerasan negara di masa lalu, tidak dapat dipisahkan begitu sahaja dengan konflik pasa proklamasi dengan Belanda. Konflik kekerasan dengan Belanda maupun Jepang di masa lampau sebelum kemerdekaan. Mengapa banyak tokoh kita sendiri di masa sebelum merdeka bersatu padu untuk mewujudkan mimpi kemerdekaan, namun setelah sampai merdeka, terjadi konflik-konflik perang saudara yang juga tidak kalah besar, bahkan konflik pada 1965 adalah yang paling mengerikan dalam sejarah, menyisakan banyak persoalan, dan memiliki skala konflik yang diperhitungkan dunia baik dalam cara maupun jumlah korban serta tingkat keberangasan dalam membunuh sesama manusia dalam jumlah jutaan, masif dan tidak mencerminkan kemanusiaan yang manusiawi.
Bahwa peristiwa menyakitkan pada konflik dengan tentara Indonesia pasca 1945 mengakibatkan Belanda kehilangan sekitar 60 ribu tentara, sementara kemungkinan pihak Indonesia kehilangan 100 ribu tentara dan warganya. Jumlah yang sangat besar, terlebih jika kita mau menghargai jasa-jasa orang tersebut secara perorangan dalam kemanusiaannya.
Masa lalu, tak luput dari kesalahan, meski ada kebenaran, namun berbagai peristiwa salah atau misinterpretasi pasti ada. Membuka kembali sejarah masa lalu, direkonstruksi, dikritisi dan kemudian menjadikan sebuah pencerahan ingatan adalah hal yang sangat mahal, mewah, meski bisa dilakukan dengan cara paling sederhana dan seadanya. Kepentingan-kepentingan besar di balik konflik menjadikan semua menjadi sulit, balutan dan polesan bahkan kepalsuan adalah hal sulit dan paling mahal untuk diungkapkan, kecuali dengan keberanian dan kejujuran, untuk menyisihkan berbagai persoalan dan masalah yang ditimbulkan di masa lampau, menjadi lentera penerang untuk berjalan meniti masa depan. Memang percuma berbicara dengan menteri-menteri kita jaman sekarang yang pandangannya pragmatis, cekak dan tampak tidak cerdas karena masih bingung mau kerja apa. Pendapat Bert Koenders dan keinginan Belanda untuk membuka sejarah kembali adalah kemewahan tiada tara bagi negeri ini sebenarnya. Ada dibalik penderitaan dan berbagai masalah yang menjadi api dalam sekam bangsa kita bisa terbantu terkuak dan terkontekskan dengan jelas.
Siapa sih yang menikmati kemerdekaan? bukan pertanyaan penting dan bermutu memang. Namun siapakah sih yang benar-benar menikmati kemerdekaan kita?, siapa hayo... hayo siapa yang menikmati kemerdekaan yang selalu kita bela, perjuangkan dan kita tempatkan dalam lokasi paling mewah di hati sanubari kita sendiri?. Kita? ya memang seharusnya kita, namun dengan kemerdekaan yang menjadi konsep kita, bukan konsep yang dibuat orang lain meski dengan konsep rembugan, musyawarah, namun musyawarah yang di 'drive' dengan berbagai kepentingan. Lantas apakah kita menikmati kemerdekaan? benar kita menikmati kemerdekaan kita ini dengan apa adanya. Meski banyak yang harus dihapuskan dalam ingatan-ingatan banyak orang, dan pancaran-pancaran ingatan tersebut yang pada saatnya menjadi solusi, hanya saja mungkin saat ini masih dianggap sebagai ingatan yang bermasalah. Jadi kita memang belum merdeka terhadap masa lalu, hanya karena menghormati periuk orang lain yang menciptakan kemerdekaan sendiri dan menikmatinya sendiri tanpa memandang lagi cita-cita kemerdekaan.
Bisakah menghadapi masa lalu dengan merdeka?
Semua orang akan menjawab dengan optimis bisa, dan harus. Namun sebagian orang yang memiliki keahlian dalam ilmu politik, harus memutar otak dan berpikir jauh ke dalam. Apakah memang bisa dan apakah memiliki efek popularitas dalam karir berpolitiknya?. Cara pandang ilmuwan, politisi, akademisi, dan orang biasa jelas berbeda. Belum lagi pandangan militer, militer yang memiliki orientasi politik dan kekuasaan. Jelas pandangannya akan berbeda sekali.
Ungkapan-ungkapan yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders jelas akan sangat kenyal, keras dan sulit dicerna saat ini bagi orang-orang ataupun pihak-pihak yang berkepentingan tentang pan nasionalisme, jelas memang itu nasionalisme yang sempit, yang menempatkan kita sendiri menjadi bangsa yang lebih rendah dari Belanda karena pernah dijajah, atau pihak-pihak yang bisa menikmati (anggapan) permusuhan dengan Belanda. Menikmati keperkasaan dalam membunuh lawan politik di masa lalu, atau keperkasaan karena bisa memerintah dan diperintah secara militer.
Banyak rintangan memang menghadapi kebenaran cerita tentang masa lalu, tentang sejarah itu sendiri. Pertikaian tentang buku putih sejarah kemerdekaan hingga buku putih peristiwa 1965 sendiri tidak akan pernah selesai, hingga semua saksinya tidak ada karena usia. Terlebih semua informasi berasal dari orang-orang yang memiliki kepatuhan luar biasa kepada atasan sehingga akal sehatnya jogging. Semua berdasarkan perintah, seperti perintah Tuhan yang selalu benar, tidak bisa dilogika, direview ataupun dikontekskan secara benar. Begitupun ahli sejarah yang melakukan riset hanyalah sedikit orang, selainnya itu hanyalah para penghafal buku dan berjualan hafalan buku.
Belum lagi konflik wacana antar agama. Belanda menjadi hal yang sangat rendah karena membawa atau secar tidak sengaja dibawakan misi agama tertentu yang berlawanan dengan kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas yang mudah terbakar, dan terindoktrinasi image kejahatan penjajahan dan kolonialisme. Mereka akan menjadi penentang garis depan, tanpa harus dibayar (mungkin) untuk menentang berubahnya atau perbaikan wacana yang membukakan banyak sekali persoalan berbangsa.
Sungguh sedih. Masih terdapat banyak kewaguan yang tak beralasan.
[ Foto via Kompas ]