Fenomena Ahok dan Teman Ahok

Basuki Tjahaja Purnama
 

Fenomena Ahok dan Teman Ahok

Fenomena Ahok dan Teman Ahok memiliki gema dan kegemparan yang melebihi , bahkan mungkin film Deadpool apalagi sekedar film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang entahlah atau justeru . Fenomena Ahok ini pernah dijumpai dalam tulisan tahun lampau dari JPNN tentang Ahok sebagai Anomali Politik. Mengapa begitu?

Anomali Ahok dan Teman Ahok

Menurut apa yang dituliskan di oleh JPNN, dari penuturan Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi bahwa mengapa Ahok menjadi Anomali Politik dan tulisan redaksi tentang Nalar Anomali Basuki adalah:

  1. "Dia tidak punya support partai politik, organisasi masyarakat ataupun. Ini anomali politik. Tidak pernah ada kepala daerah bisa seperti itu," kata Hasan di Jakarta, Kamis (12/3). Kata Hasan Nasbi kepada JPNN tentang Ahok yang pernah jadi Bupati di Kabupaten Belitung Timur.
  2. Berani secara terang-terangan melawan legislatif dengan membongkar korupsi di parlemen. Menurut Hasan, kepala daerah yang memiliki dukungan politik sangat kuat sekalipun biasanya enggan berkonfrontasi dengan DPRD soal anggaran. Mereka lebih memilih berkompromi.

    "Kalau Ahok dia mau selamatkan uang negara dan tak mau maklum dan terima dengan pakem asal pemerintah jalan," Hasan Nasbi.

  3. Alasan lainnya adalah elektabilitas Ahok sangat tinggi meski tanpa dukungan politik dan bermusuhan dengan legislatif.
  4. Basuki Tjahaja Purnama tidak pernah mau menerima imbalan dari pihak mana pun, kecuali gaji yang diterima secara resmi. Kebiasaan yang “tidak biasa” ini sudah dilakoninya sejak belum ada undang-undang yang melarang gratifikasi.
  5. Pemimpin non-muslim di daerah muslim, juga pernah dilakoninya di Belitung Timur yang masyoritas adalah orang Muslim.
  6. Norma kesantunan biasa tidak berlaku bagi Ahok. Baginya, tak ada kesantunan yang harus ditunjukkan di hadapan orang-orang yang dianggapmya koruptor dan perampok uang rakyat. Menurut Basuki Ahok, kemarahan adalah “kesantunan” bagi orang-orang yang dianggapnya jahat.
  7. Sebagai Eksekutif (Gubernur DKI Jakarta) Ahok mengontrol legislatif (DPRD DKI) dengan cara mengoreksi total APBD yang diajukan DPRD dan menandai satu per satu mata anggaran yang diduga kuat menjadi lahan korupsi. APBD yang dikoreksinya itu tidak dikembalikan ke DPRD untuk disahkan, malah ia setorkan langsung ke Kementerian Dalam Negeri, dan melaporkan kemungkinan terjadinya korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini bertentangan dengan prosedur namun nalar politik Ahok mengatakan, kontrol terhadap pejabat publik bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Sebab, di luar norma institusional yang diatur undang-undang, ada norma sosial yang dibimbing nalar dan menunjukkan bahwa harus ada hati nurani yang hilang dalam proses politik bangsa ini.
  8. Memilih jalur independen non partai (sampai saat ini) dan memiliki dukungan dari Teman Ahok, menurut survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Politik Indonesia popularitas Ahok mencapai 98,5 persen dan tingkat elektabilitasnya 43,5 persen. Sementara Populi Center menyebutkan elektabilitas Ahok hingga 59 persen. (Sumber )

Benar-benar Ahok adalah anomali politik Indonesia, meskipun pada pergantian Orla ke Orba kita juga tahu seberapa sih kekuatan dan dukungan rakyat kepada Soeharto saat itu jika tidak mengeluarkan taring kekejamannya dan menghabisi orang-orang yang dituduh sebagai musuh bersama bangsa saat itu. Meskipun Jokowi juga memiliki anomali politik tertentu namun fenomena Ahok ini cukup berbeda. Sehingga apa yang diciptkan untuk menjegal Ahok adalah karena Anomali Ahok di atas, seperti deparpolisasi dan apa yang menjadi anomali lainnya.

Deparpolisasi

Partai Politik mungkin memiliki azas dan pandangan politik yang berbeda, seperti kita tahu tentang orang yang berjualan kecap ataupun obat-obatan, mereka memiliki banyak cara untuk menggaet para pendukung. Dari yang berimbalan sorga hingga kesejahteraan bersama. Dari yang mengaatakan berjanji untuk membangun jembatan di sungai yang tidak ada hingga janji-janji pembangunan ahlak yang justru dirusaknya dalam perilakunya sendiri ketika masih menjabat.

Partai politik dibangun untuk memudahkan pergulatan menuju kekuasaan yang kuenya nanti dibagi-bagi oleh para petinggi dan pendukung politik. Mereka membangun aturan dan undang-undang yang terkadang tidak dibutuhkan rakyat atau malah bertentangan dengan kepentingan rakyat. Mereka mengkotakkan dirinya sebagai orang politk, calon penguasa, petinggi, pemilik negara dan sebagainya yang mencerabut akal nalarnya sendiri bahwa mereka lahir dari rakyat, meski itu simbahnya simbah dahulu.

Selain Partai Politik, musuh utama dalam pembangunan dan jalannya program-program kesejahteraan dan tujuan berdirinya negara ini adalah para birokrat. Dimana ketika para politikus sudah dapat menggenggam atau bekerjasama dengan birokrasi maka semakin hancurlah apa yang menjadi impian dan kebaikan versi rakyat kecil.

Isu deparpolisasi sebenarnya juga sangat tidak menarik karena memang saatnya partai politik berkaca pada prestasi dan kelakuannya sendiri sehingga tidak lama lagi mungkin rakyat Indonesia sadar bahwa mereka butuh orang-orang yang muncul dari kawah candradimuka yang letaknya bukan di partai politk, namun muncul dari neraka penderitaan rakyat.

Jika Ahok dan Teman Ahok memilih jalur independen itupun adalah pilihan yang sah dan ada undang-undangnya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang. Meski tidak berpartai namun memiliki haluan yang jelas yaitu nalar dan hati nurani.

Sudah sedemikan burukkah negeri kita?

Betul !, jadi ... bergembiralah ada !

[via ]

Atas