Sebuah regulasi baru yang berhubungan dengan aktifitas tehnologi informasi sedang dalam proses penyiapan dan sudah masuk ke Prolegnas yaitu RUU Tipiti, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Tehnologi Informasi. RUU yang memiliki ancaman lebih keras dibandingkan dengan UU ITE yang seharusnya memang tidak perlu di takuti karena seharusnya mengatur jalannya Transaksi Elektronik saja dan malah agak rancu dengan penambahan kata Informasi didepannya tersebut mungkin adalah paket hemat, sekali tepuk dua tiga lalat mati karenanya terutama dengan jurus yang singkat padat yaitu pasal-pasal multi tafsir seperti pencemaran nama baik, penyebaran informasi pornografi dan lain sebagainya yang seakan ingin meluluhlantakkan semua perbuatan yang dipersangkakan buruk.
Undang-undang pada akhirnya sebagai sebuah kebijakan yang tidak memiliki perspektif korban maupun kewajaran, seakan menjadi palu besi dan sapu jagad dengan keagungannya karena berada dibawah konstitusi negara. Anehnya kebanyakan mengatur tentang perilalku masyarakat bukan malah mengatur tentang aparatus yang gamblang, maklum namanya juga pemerintah, dan pamong praja. Tugasnya mengatur dan mengatur, namun siapa yang mengatur mereka sementara seluruh rahasianya berada dalam naungan pasal nama baik, menyerang petugas, maupun kerahasiaan negara yang dilindungi undang-undang. Bukankah rahasia atau semuanya adalah untuk menaklukkan musuh, bukannya untuk membuat rakyat kebingungan dan tiada jalan untuk bersuara.
Masyarakat tidak bisa mengeluh apalagi menuntut ketika barang-barang elektronik mereka rusak dan cacat karena listrik mati, tuduhan sebenarnya jelas, namun apakah ada aturan untuk itu. Masyarakat tidak bisa menuntut ketika kakinya terjeblos ke dalam lubang jalan yang rusak, barang seperti ini sangat aneh dan langka di negeri begajul, namun sangat logis ketika berada di sebuah negeri yang demokratis dimana kepentingan publik sangat dihormati karena sangat paham bahwa uang untuk mengelolanya adalah uang rakyat dari pajak, bukan seperti di negeri begajul dimana uang pajak untuk biaya gaji dan nyaur utang, sementara fasilitas publik adalah dari duit utangan maupun bantuan dari negara lain.
Sangat jelas memang beda paradigma berpikir yang ada, dimana hak adalah milik rakyat dan kewajiban ada pada penyelenggara negara. yang terjadi adalah kebalikannya dimana rakyat wajib ini dan itu sementara tidak bisa berbuat apa-apa ketika didholimi oleh sesuatu yang lebih besar. Atau mungkinkah DNA yang terjadi sudah demikian rusaknya sehingga chaos sangat mungkin gampang terjadi seperti penggusuran-penggusuran pemukiman yang dianggap bermasalah. Pembiaran sarana dan prasarana pelayanan publik yang rusak karena tidak ada utangan, dan hal inipun memicu masyarakat semakin memicingkan mata kepada pajak maupun regulasi yang ada, ditambah dengan kasus-kasus besar yang ada seperti Century gate, Rumah Sakit Omnivora dan lain sebagainya dimana masyarakat yang melek akan merasa sangat lelah dan terasa menghadapi persekongkolan antar golongan dan pribadi bukannya persaingan untuk membuat sistem penyelenggaraan negara yang berkebangsaan, berkeadilan, memiliki perspektif korban serta menumbuhkembangkan nasionalisme sebagai kebanggaan bersama. Mengapa menirukan dan mengadopsi penelitian dari bangsa lain yang mungkin tidak bisa terjadi disini, ataukah memang karena aktifitas kejahatan yang sudah mendarah daging plus bumbu kekerasan penambah nikmat para pewarta dan tivi nasional.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
![]() | 0 byte |