Akses Ruang yang Adil
Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi
Kaum Difabel
Dr. Mansour Fakih
Disampaikan pada Diseminasi Nasional
“Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua”
di Yogyakarta 27 – 28 September 1999.
-
Pendahuluan
Salah satu tanggung jawab yang penting bagi kaum cendekia, apakah yang berada di birokrasi, akademisi, maupun kalangan LSM, pada dasarnya adalah mendorong terjadinya perubahan sosial menuju tatanan dan relasi sosial yang mendasar, baru dan lebih adil. Namun, persoalannya, justru para cendekia yang pada dasarnya memiliki kekuasaan untuk memberi makna dan membentuk realitas sosial, justru bisa menjadi penghalang terwujudnya keadilan sosial. Hal ini karena para cendekia berkuasa menentukan apa yang dianut sebagai masalah sosial dan apa yang dianggap untuk dipecahkan. Namun, sesungguhnya, jika ditelaah lebih dalam, ideologi dan keyakinan terori para cendekialah yang sangat berperan dalam hal ini. Oleh karena itu, dua cendekia yang berbeda menjatuhkan penilaian serta melahirkan sikap dan keputusan tindakan yang sangat berbeda. Ideologi dan analisis sosial yang digunakan para cendekia pulalah yang mempengaruhi tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil, atau baik buruknya suatu kebijakan.
Oleh karena itu, pilihan seseorang pengambil keputusan dalam menetapkan suatu kebijakan publik tidak pernah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh ideologi dan paradigma terhadap paham keadilan yang dianutnya sehingga selalu akan ada yang diuntungkan ataupun disingkirkan. Padahal, pilihan suatu teori sosial sebagai pendekatan untuk memecahkan suatu permasalahan keadilan sosial tidaklah berkaitan dengan benar salahnya suatu ideologi dan teori mengenai keadilan sosial tersebut, melainkan suatu pilihan subjektif. Dengan begitu, ditetapkannya suatu konseop keadilan sosial dan dipinggirkannya teori keadilan sosial yang lain lebih disebabkan oleh kemampuan suatu teori atau analisis sosial memenangkan dan untuk menyingkirkan teori atau analisis lain. Bahkan, bagi Ritzer (1975) kemenangan suatu teori atau analisis sosial terhadap teori yang lain itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut teori yang dikalahkan dan sekali lagi bukan karena teori tersebut lebih benar atau lebih baik dari yang dikalahkan#sdfootnote1sym">1.
Demikian halnya dalam menghalangi berbagai teori dan kebijakan sosial, dominasinya suatu teori sosial ada kaitannya dengan kekuasaan penganut teori tersebut dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebenaran teori tersebut. Dengan demikian, proses diskursus dalam teori perubahan sosial tersebut apakah dilakukan demi melanggengkan 'status quo' dan stabilitas atau justru demi suatu proses emansipasi dan transformasi sosial menuju relasi sosial yang secara mendasar, baru dan adil. Oleh karena itu, memilih teori dan analisis sosial itu sendiri sudah merupakan pemihakan atas nilai tertentu. Pertanyaan yang penting diajukan disini adalah untuk tujuan apa sesungguhnya proses perubahan sosial diabdikan? Masalah 'apa dan siapa' yang perlu dipecahkan serta melalui program apa? Jadi, masalahnya bukanlah apa kita harus memihak atau netral, karena pemihakan mustahil untuk dihindarkan oleh semua teori sosial, namun masalahnya kepada siapa pemihakan tersebut diabdikan?#sdfootnote2sym">2
Selama ini umumnya teori dan analisis sosial banya didominasi oleh dua aliran yang saling bertentangan, yakni antara aliran modernisasi yang berakar pada paradigma sosial Positivisme dan aliran analisis kritis seperti Teori Kelas, Teori Kritis mazhab Frankfurt ataupun aliran Postmodernisme. Namun demikian, kesemua teori sosial tersebut belum sepenuhnya berminat memahami ketidakadilan yang dialami oleh para 'penyandang cacat'. Teori Kelas, misalnya, yang dikenal dengan akar teori kritis dalam membongkar ketidakadilan struktural, sangat tepat untuk memahami struktur ekonomi dan politik kapitalisme, tetapi kurang dapat digunakan untuk memahami ketidakadilan yang dialami oleh penyandang cacat. Untuk itu, diperlukan suatu analisis yang dapat memberi jalan keluar bagi berlangsungnya ketidakadilan bagi penyandang cacat, suatu bentuk ketidakadilan yang terlupakan.
Tulisan ini menguraikan tentang bagaimana, dengan meminjam analisis kritis, untuk memahami persoalan penyandang cacat dan membongkar ketidakadilan terhadap penyandang cacat, salah satu bentuk ketidakadilan sosial. Tulisan ini mencoba menganalisis akar ideologis permasalahan penyebab ketidakadilan yang dialami oleh para penyandang cacat serta bagaimana ideologi tersebut berakibat terhadap berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penyandang cacat. Terakhir mengupas bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk melakukan transformasi sosial menuju tatanan sosial yang sensitif dan adil dengan memberikan ruang yang memberdayakan siapa saja.
-
Difabel, sebagai Konter Diskursus Cacat atau Disable
Pada dasarnya untuk memulai membongkar salah satu jenis ketidakadilan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang dialami oleh sebagaian warga masyarakat yang sering disebut sebagai 'penyandang cacat' justru bermula dari keyakinan ideologis masyarakat, akademisi, birokrat tentang apa yang disebut 'penyandang cacat' itu. Apa yang dianggap sebagai suatu 'realitas sosial' penyandang cacat adalah diskontruksi secara sosial. Dengan kata lain, apa yang dianggap sebagai suatu realitas mengenai 'cacat' merupakan suatu kesepakatan sosial atau suatu konvensi sosial. Apa yang oleh suatu masyarakat diyakini di sekitar mereka yang mendapat label 'cacat' dan 'tidak cacat' adalah suatu konvensi sosial. Bahkan, mulai dari label 'cacat' ini tersembunyi pengertian 'baik' dan 'tidak baik', bahkan tersembunyi juga 'normal' dan 'tidak normal'. Konstruksi sosial atau konvensi sosial yang berlaku adalah bahwa mereka yang cacat adalah 'tidak normal' dan mereka yang tidak cacat adalah 'normal'. Konvensi ini memaksa warga masyarakat untuk mematuhi dan melanggengkannya.
Orang yang tidak memiliki kaki karena suatu kecelakaan, misalnya, lantas dianggap 'cacat. Dalam pengertian 'tidak normal'. Pelabelan ini ternyata tidak berhenti di sini, karena golongan masyarakat yang digolongkan dalam 'penyandang cacat', yakni adalah mereka yang hanya kehilangan ata kerusakan salah satu dari anggota badan atau indera mereka, selanjutnya selain dianggap tidak normal, lantas pengertian tidak normal tersebut berubah menjadi 'disable' yang artinya tidak mampu. Padahal, sesungguhnya seseorang yang tidak memiliki salah satu anggota badan, masih memiliki banyak sekali kemampuan yang 'berbeda' dengan mereka yang memiliki kaki atau tangan. Akan tetapi, dengan diskursus itulah selanjutnya berbagai ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan terjadi. Oleh karena itu, memang peperangan terbesar untuk memberdayakan kaum yang dianggap 'cacat' ini justru melawan diskursus dominan para pengguna ideologi yang tersembunyi di balik istilah 'disable' ataupun 'penyandang cacat'.
Demikian halnya sebaliknya, mereka yang memiliki kaki, tangan, dan mata; siapa yang bisa menjamin mereka tidak memiliki kecacatan dalam bidang yang lain, cacat moral, atau cacat politik, misalnya. Akan tetapi, mereka yang memiliki cacat moral tidak dikaegorikan sebagai 'tidak normal'. Konvensi adanya siapa yang normal dan tidak normal dengan demikian bersifat subjektif, tidak netral, merupakan aksi politik penindasan.
Oleh karena itu, salah satu bentuk resistensi dan pemberdayaan yang hakiki adalah justru mulai dari usaha untuk membongkar konvensi sosial yang diyakini kalangan masyarakat, birokrat, akademisi, bahkan aktivis LSM untuk melakukan dekonstruksi terhadap diskursus 'disable' ataupun 'penyandang cacat' dengan memuncukan wacana tandingan yang lebih adil dan memberdayakan, yakni bahwa mereka yang tidak memiliki kaki, misalnya, ternyata memiliki 'different abilities' atau yang di-Indonesiakan dan disingkat sebagai 'difabel'.
Uraian ini memberi pelajaran bahwa sesungguhnya 'diskursus tentang normal dan kecacatan' yang kemudian menjadi 'disable' adalah persoalan mendasar utama bagi para difabel. Konstruksi sosial yang selanjutnya menjadi konvensi sosial tentang kecacatan telah mengakibatkan berbagai persoalan dan penderitaan bagi mereka yang mendapat label 'cacat' dan 'tidak mampu' ini. Dengan demikian, sesungguhnya mereka tidaklah cacat tetapi telah 'dicacatkan'.
-
Kritik terhadap Analisi 'Mainstream' Persoalan Kaum Difabel
Analisis sosial yang memfokuskan persoalan 'difabel' pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam dua aliran utama yakni aliran 'mainstream' dalam perbincangan nasib difabel yang memfokuskan pada kaum difabel, serta aliran analisis kritik yang melihat pada sistem dan struktur relasi antara mereka yang normal dan mereka yang 'cacat'. Analisis mainstream dewasa ini telah menjadi aliran yang mendominasi di kalangan pemikir pembangunan kalangan birokrasi. Analisis ini berdasar pada asumsi bahwa permasalahan kaum difabel berakar pada asumsi dan keyakinan akan rendahnya kualitas sumberdaya kaum difabel itu sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dengan 'manusia normal' dalam masyarakat, termasuk dalam pembangunan. Oleh karena itu, bagi analisis ini, harus ada usaha mendorong dan meningkatkan SDM kaum difabel dengan mendidik kaum difabel agar mampu bersaing secara setara.
Selama ini ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah kaum difabel, yang sebagian besar dilandaskan pada paham modernisasi. Pendekatan yang sangat dipengaruhi oleh modernisasi tersebut, misalnya, adalah analisis 'Pengentasan Kemiskinan' (Anti Poverty). Dasar pemikiran analisis ini adalah bahwa kaum difabel menjadi miskin karena rendahnya sumberdaya kaum difabel. Oleh karena itu perlu diciptakan 'proyek peningkatan keterampilan kaum difabel untuk peningkatan pendapatan mereka'. Paham analisis lainnya yang dekat dengan 'anti poverty' ini adalah 'pendekatan efisiensi' yakni pemikiran bahwa pembangunan mengalami kegagalan karena difabel tidak dilibatkan. Dan oleh karena itu, pelibatan itu lebih demi efisiensi pembangunan. Sekali lagi dalam analisis ini kaum difabel bukan menjadi kepedulian utamanya. Analisis ini sama sekali tidak bertujuan untuk membebaskan dan emansipasi kaum difabel, melainkan justru menggunakan difabel sebagai tujuan pembangunan. Kedua analisis sosisal tersebut lebih memfokuskan pada kaum difabel, dan kegiatannya lebih untuk memenuhi kebutuhan praktis kaum difabel semata, tanpa mempertanyakan pada kebutuhan strategis mereka.
Pendekatan efisiensi dan pengentasan kemiskinan ini menjadi aliran 'mainstream' mengenai usaha memecahkan masalah kaum difabel. Sebagian besar organisasi di Indonesia menganut pemikiran tersebut. Pemikiran yang berasal dari Keadilan Sosial dan Hak-Hak Asasi Manusia Liberal ini laksana mendapatkan institusinya sehingga mendominasi wacana, pemikiran, serta bentuk-bentuk proyek yang memfokus pada difabel di lapangan. Tidak lupa mekaneisme global ini juga telah melahirkan 'para ahli' serta menjamurnya 'pusat rehabilitasi penyandang cacat'.
Landasan ideologis dan teori dari aliran mainstream ini berakar pada paham liberal. Teori Liberal menjunjung tinggi nilai-nilai otonomi, persamaan, serta nilai moral dan kebebasan individu. Mereka dalam mendefinisikan masalah kaum difabel melihat struktur dan sistem sebagai pokok permasalahan. Asumsi gerakan liberal berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan umum. Kerangka dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada 'kesempatan yang sama dan hak yang sama' bagi setiap 'individu', termasuk di dalamnya kaum difabel. Kesempatan dan hak yang sama antara 'manusia normal dan difabel (penyandang cacat) ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan antara 'manusia normal' dan difabel. Hal ini karena adanya asumsi bahwa 'difabel adalah mahluk rasional' juga.
Oleh karena itu, jika menyoalkan mengapa kaum difabel tertinggal, gerakan keadilan sosial dan hak-hak asasi liberal beranggapan bahwa kaum difabel menjadi marjinal lebih disebabkan oleh salah 'mereka sendiri'. Dengan kata lain, jika sistemnya sudah memberikan kesempatan yang sama pada 'manusia normal' dan difabel, maka jika kaum difabel tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu dipersalahkan adalah kaum difabel sendiri. Paham seperti ini berangkat dari bias 'normal' dan tidak membayangkan ada golongan masyarakat difabel.
Atas dasar itu, tidak heran mengapa untuk memecahkan masalah kaum difabel, mereka mengajukan cara menyiapkan kaum difabel untuk bersaing dalam suatu dunia usaha yang penuh persaingan bebas tersebut. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat misalnya dalam program-program 'pemberdayaan penyandang cacat' yakni dengan menyediakan 'program intervensi untuk meningkatkan ketrampilan dan peningkatan taraf hidup mereka, seperti kursus keterampilan' serta 'kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan'.
Pendekatan yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum difabel itu adalah problemnya terletak pada kaum difabel sendiri, dan oleh karenanya diperlukan usaha untuk menggarap kau difabel (penyandang cacat) itulah yang kini menjadi perlakuan 'mainstream' dalam memecahkan masalah kaum difabel. Bagi mereka diskriminasi akibat tata ruang yang diskriminatif akibat ideologi 'kenormalan' model analisis kritis tidak dikenal. Sejak awal kaum difabel dianggap sebagai masalah (anomali) bagi pembangunan atau partsisipasi politik dalam pembangunan. Keterbelakangan kaum difabel bagi mereka adalah akibat dari sikap irasional, menyerah, minder, atau rendah diri. Semua sikap yang tidak membangun tersebut sumbernya adalah karena mereka tidak mampu mengatasi kecacatan atau 'ketidakmampuan mereka'. Oleh karena itu, melibatkan difabel dalam pembangunan dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status difabel. Keduanya dianggap akan berakibat positif pada difabel, yakni akan mengurangi akibat dari kelemahan biologis antara difabel dengan yang 'normal'.
Analisis Liberal yang menjadi aliran mainstream ini perlu mendapat kritik karena tidak meyoalkan diskriminasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh masyarakat terhadap difabel. Faham ini bertentangan dengan analisis kritis yang justru melihat penindasan difabel sebagai realitas objektif karena adanya diskriminasi akibat adanya keyakinan bahwa mereka tidak bermanfaat bagi pertumbuhan dan akumulasi kapital dalam sistem produksi kapitalisme. Meskipun teori sosial kritis tidak menjelaskan secara spesifik tentang posisi kaum difabel dalam perubahan sosial, namun berbeda dengan analisis kaum Liberal yang lebih memfokus dan ada kecenderungan menyalahkan kaum difabel, analisis kritis lebih tertuju pada sistem ketidakadilan yang melekat pada kapitalisme melalui berbagai cara dan alasan. Pertama, karena pada dasarnya Kapitalisme hanya membeli 'tenaga kerja' yang hanya dimiliki oleh 'manusia normal' yang mampu bekerja secara produktif di pabrik. Akibatnya banyak kaum difabel tersingkirkan dalam sistem tersebut.
Usaha kaum liberal untuk mendidik kaum difabel agar setara dan mampu bersaing dengan 'manusia normal' hanya akan menghasilkan perubahan praktis jangka pendek. Oleh karena itu, paradigma yang lebih memfokuskan pada 'kaum difabel' ini mulai mendapat tantangan dari mereka yang lebih mengusahakan perubahan posisi difabel, yakni perubahan jangka panjang, transformasi yang bersifat strategis, termasuk mendekonstruksi diskursus cacat dan disable. Oleh karena itu, 'analisis terhadap kaum difabel' yang tadinya banyak digunakan oleh gerakan keadilan dan hak asasi manusia, perlu menjadi alat analisis bagi setiap organisasi yang bergerak memperjuangkan nasib kaum difabel. Uraian berikut akan melihat kembali bagaimana kaum difabel sebagai alat analisis bisa digunakan untuk pemberdayaan kaum difabel.
-
Analisis Kritis Diskriminasi terhadap Kaum Difabel
Pembedaan antara 'manusia normal' dengan mereka yang mendapat julukan kaum 'penyandang cacat' ternyata melahirkan berbagai diskriminasi yakni 'ketidakadilan' yang ditimbulkan oleh julukan tersebut. Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi terhadap kaum difabel adalah sebagai berikut:
Pertama, terjadi diskriminasi ekonomi sehingga melahirkan pemiskinan ekonomi terhadap kaum difabel. Meskipun tidak setiap marginalisasi difabel disebabkan oelh julukan ini, namun yang dipersoalkan dalam analisis terhadap kaum difabel adalah marginalisasi yang disebabkan oleh diskriminasi pembedaan karena anggapan 'tidak normal' terhadap kaum difabel.
Kedua, terjadinya subordinasi terhadap mereka yang dicacatkan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa sama sekali menganggap ada penyandang cacat, misalnya anggapan karena difabel atau yang dicacatkan. 'Toh minoritas sedikit ditolong, mengapa harus dipikirkan bagaimana akses mereka pada universitas,' misalnya, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk dan mekanisme subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat berbeda. Misalnya, karena anggapan bahwa cacat, tidak sempurna, dan disable, maka mereka tidak tepat posisi memimpin. Ini adalah proses subordinasi dan diskriminasi terhadap difabel. Bahkan, masih banyak peraturan yang menyebutkan syarat tidak cacat jasmani untuk jenis pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kecacatan jasmani. Kebijakan publik yang mengakibatkan subordinasi dan marginalisasi kaum difabel itulah yang perlu dipersoalkan.
Ketiga, adalah pelabelan negatif (stereotype) terhadap kaum difabel dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabekan pada kaum difabel yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan kaum difabel. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa 'manusia normal' adalah produktif, misalnya maka semua kemudahan bagi yang produktif diberikan oleh negara, masyarakat, bahkan di rumah tangga mereka, sementara bangunan difabel dinilai 'tidak produktif' karenanya boleh dibayar lebih rendah atau tidak perlu melakukan investasi yang memungkinkan mereka berdaya dan menyumbangkan.
Keempat, kekerasan (violence) terhadap difabel. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan, menganggap tidak mampu, penciptaan ketergantugan, dan sebagainya. Banyak sekali kekeraasan terjadi pada difabel yang ditimbulkan oleh karena adanya stereotype terhadap kaum difabel. Salah satu kekerasan ada difabel yang dilakukan oleh negara karena bias dari kaum cendekia adalah tidak dibukanya akses sarana publik kaum difabel. Yang dimaksud akses publik tersebut termasuk di dalamnya prasarana fisik. Akan tetapi, yang lebih besar namun tidak secara mudah dilihat adalah dalam bentuk kebijakan sosial, kebijakan politik, dan kebijakan ekonomi. Untuk mengidentifikasikannya memerlukan kajian yang mendalam.
Kelima, sempitnya akses sosial dan budaya serta fisik bagi kaum difabel ini telah menyulitkan ruang gerak kaum difabel dan telah mengakibatkan beban kerja yang luar biasa bagi kaum difabel baik di lingkungan domestik maupun publik.
Analisis terhadap kaum difabel di atas memberi perangkat teroretik untuk memahami sistem ketidakadilan terhadap kaum difabel. Kedua jenis manusia yang normal dan yang dicacatkan sesungguhnya bisa menjadi korban dari sistem ketidakadilan tersebut. Namun, kelihatannya yang menjadi korban ketidakadilan hanya kaum difabel dan analisis ini hanya menjadi alat perjuangan kaum difabel. Alat analisis terhadap kaum difabel ini seharusnya juga berguna bagi setiap gerakaan sosial untuk menjelaskan sistem ketidakadilan sosial secara tuntas.
Tanpa memasukkan analisis terhadap kaum difabel, setiap gerakan menegakkan keadilan sosial dan hak-hak asasi manusia akan menjadi reduksionistik, karena lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi semua selain penyandang cacat. Analisis terhadap kaum difabel membantu memahami bahwa pokok persoalannya yakni sistem dan struktur yang tidak adil dari ideologi 'normalisme' bekerja dan membawa korban. Ideoogi ini telah mengorbankan jutaan orang, baik yang dicacatkan maupun yang merasa normal. Kedua jenis manusia ini mengalami proses dehumanisasi karena sistem ketidakadilan terhadap mereka, sementara 'manusia normal' menjadi dehumanisasi kerena melanggengkan penindasan terhadap kaum difabel.
Lebih lanjut, dengan analisis ini memungkinkan suatu program atau proyek memfokuskan pada relasi antara yang normal dan yang dicacatkan, ketimbang memfokuskan pada difabel saja. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama perubahan sosial – perubahan perspektif – ini tidaklah sekedar menjawab 'kebutuhan praktis' untuk mengubah kondisi kaum difabel, seperti menyediakan akses pada kaum difabel agar mereka dapat dengan mudah bergerak kemana saja, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum difabel, yakni memperjuangkan posisi kaum difabel, termasuk konter hegemoni dan counter discourse terhadap ideologi 'kecacatan', 'kenormalan', dan pandangan negatif terhadap kaum difabel yang dicacatkan maupun mereka yang merasa menjadi 'manusia normal'.
Usaha pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur terhadap kaum difabel inilah yang dikenal dengan pendekatan pemberdayaan terhadap kaum difabel. Perubahan sosial menggunakan analisis terhadap kaum difabel tidak hanya menghilangkan diskriminasi pembangunan akibat ideologi terhadap kaum difabel saja, tetapi juga memperhitugkan diskriminasi kelas, kasta dan suku, diskriminasi gender atau kesemuanya.
Bagaimana praktik perubahan sosial melahirkan dampak yang berbeda terhadap 'manusia normal' dan difabel yang dicacatkan, berakar tidak hanya karena adanya bias terhadap kaum difabel bagi perencana pembangunan dan hasil rancangan mereka, tetapi juga berakar pada teori sosial dan metodologi gerakan yang bias terhadap kaum difabel. Analisis terhadap kaum difabel membantu kita untuk mengarahkan perhatian gerakan tidak saja pada penyandang cacat belaka, melainkan pada sistem dan struktur sosial yang dikonstruksi oleh keyakinan atau ideologi sosial yang bias terhadap kaum difabel. Kalau kaum difabel dikorbankan oleh suatu sistem sosial, dalam analisis terhadap kaum difabel, maka seyogianya bukanlah kaum difabel yang menjadi obyek dan pangkal masalah, melainkan sistem sosial yang diperjuangkan oleh gagasan pembangunan sosial. Dengan demikian, perubahan sosial terhadap kaum difabel menjadi sangat strategis, bukan saja bagi kaum yang memperjuangkan nasib kaum difabel, melainkan juga sangat diperlukan bagi setiap Pembangunan Sosial.
-
Hak Asasi Difabel sebagai Agenda Gerakan Mendatang
Jika agenda gerakan sosial yang diuraikan di atas – usaha pembedaaan kaum difabel – menekankan pada transformasi relasi terhadap kaum difabel dan implikasinya terhadap praktik dan proyek pembangunan sosial, maka pemberdayaan difabel melalui gerakan sosial di masa mendatang perlu mencari fokus yang lebih strategis. Hal tersebut berarti, tidak saja memberi dimensi struktural dan mengaitkan dengan usaha perubahan posisi kau difabel di masyarakat, melainkan juga mengaitkan dengan dimensi advokasi terhadap kebijakan negara mengenai posisi kaum difabel. Dengan kata lain, setiap agenda gerakan selain melihat dan menganalisis kebutuhan praktis maupun strategis difabel yang dicacatkan dalam masyarakat, gerakan juga harus memiliki agaenda politis untuk mempengaruhi kebijakan yang menyangkut nasib kaum difabel (dalam masyarakat). Oleh karena itu, agenda memperjuangkan hak asasi difabel sebagai hak asasi manusia merupakan agenda semua cendekia yang peduli pada keadilan sosial. Beberapa usaha sosial perlu dipikirkan.
Pertama, perlu mendidik kesadaran manusia 'normal' akan hak asasi difabel kepada setiap individu di setiap rumah tangga, samai pada kebijakan pembangunan negara melalui badan-badan pemerintah. Secara lebih kongkret misalnya implikasi dari ratifikasi Undang-Undang Penyandang Cacat dalam perencanaan pembangunan. Tidak hanya pengorganisasian kaum difabel (penyandang cacat), melainkan juga bangkitnya gerakan terhadap kaum difabel (terhadap kaum difabel movement) bagi gerakan NGOs yang sudah ada. Hal ini karena tegaknya hak asasi difabel tidaklah merupakan hadiah dari negara, melainkan harus diperjuangkan oleh mereka yang berorganisasi.
Kedua, gerakan untuk menciptakan kota yang ramah terhadap kaum difabel terutama pada seluruh fasilitas publik. Ini berarti membalik cara berpikir dominan bahwa jika seseorang yang duduk di atas kursi roda dan tidak bisa beribadah di tempat ibadah karena tidak ada tangga dan akses terhadap difabel, maka yang dipersalahkan janganlah kaum difabel, melainkan perlu introspeksi akan adanya diskriminasi dalam arsitektur bangunan tersebut. Demikian halnya jika kaum difabel tidak mampu memasuki arena politik, ekonoi, dan budaya, yang perlu dipersalahkan bukanlah kaum difabel yang menjadi “victim” dari sistem yang diskriminatif tersebut. Oleh karena itu, kesadaran kritis terhadap kaum difabel perlu ditekankan mengingat banyaknya fenomena dimana tidak serta-merta kaum difabel menduduki posisi politik dan usaha akan memperjuangkan posisi dan hak asasi kaum difabel.
Ketiga, gerakan mengenai bagaimana proses diseminasi ideologi kritis tentang kaum difabel pada setiap program dan kebijakan kelembagaan dan keorganisasian, baik lembaga pemerintah, pendidikan, program kemasyarakatan , maupun keagamaan, bahkan kalangan NGOs. Usaha ini untuk melihat model lembaga yang sensitif bangunan kaum difabel (the difabled – fair institution). Masuk dalam agenda ini kajian bagaimana melakukan pendidikan sensitivitas difabel pada para pengambil keputusan, melakukan pengawasan dan kritik terhadap kebijakan dan praktik organisasi pemerintah maupun NGOs yang bias terhadap kaum difabel maupun hanya berupa 'lips service' serta berbagai kooptasi dan strategi penghindaran.
Untuk itu, dikemudian hari memang perlu usaha yang lebih bersifat 'law enforcement'. Usaha iini termasuk melakukan audit diskriminasi terhadap difabel, monitoring dan evaluasi terhadap proses, ataupun projek dan istitusi pembangunan sosial yang masih melanggengkan diskriminasi terselubung terhadap kaum difabel, serta usaha-usaha advokasi terhadap perubahan kebijakan yang lebih ramah terhadap difabel lainnya.
Akhirnya, memahami segenap persoalan dan uraian di atas memberikan gambaran bagaimana usaha pemberdayaan kaum difabel dilakukan melalui usaha penelitian. Ini berarti memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk partisipasi kaum difabel dalam proses tersebut. Dari uraian diatas, kita dapat belajar bahwa perubahan sosial yang berperspektif difabel memiliki dimensi yang luas, baik dari segi metodologi, agenda, maupun motivasi dan fokus gerakannya. Demikian halnya, dengan cakupan yang menjadi lapangan studi, mulai dari studi terhadap ideologi dan pikiran individual, relasi dan ideologi terhadap kaum difabel di masyarakat, kelembagaan bahkan dimensi terhadap kaum difabel di tingkat negara. Gerakan yang berperspektif difabel juga berdimensi hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis kau difabel dan juga menggarap pemenuhan kebutuhan strategis kaum difabel. Hanya dengan cara itulah gerakan sosial dapat menyumbangkan transformasi dan perubahan sosial yang lebih adil termasuk bagi kaum difabel.
#sdfootnote1anc">1Lihat : Ritzer, J. “Sociology:AMultiple Paradigm Science” dalam jurnal The American Sociologist No. 10, 1975. Halaman 156 – 157.
#sdfootnote2anc">2“Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker yang membahas tentang pilihan-pilihan dalam paradigma dan teori gerakan. Lihat tulisan Becker, H. “Whose side are we on?” Dalam buku yang diedit oleh W.J. Fisttead (Ed) Qualitative Methodology. Chicago: Markham, 1970.