Sri Panggung bertebaran di mana-mana, mereka membuat panggung-panggung kecil hingga yang besar dalam beberapa saat lagi. Sri Panggung membangun panggungnya sendiri untuk kemudian dari panggung panggung itu dia menciptakan kekuasaan dan ketenarannya sendiri. Ketenaran yang dibangunnya dari pangung-panggung yang dibiayainya sendiri (mungkin) mencari pendengar dan orang-orang yang bisa bergelayut dari mimpi-mimpi yang diuatarakannya di panggung. Namun apakah benar itu adalah mimpinya sendiri?, tentu saja bukan, mimpi itu dibangun dari riset-riset bagaimana agar si pemimpi bisa mendapat perhatian dan hati dari orang banyak, yang kemudian memilihnya untuk dapat mewujudkan mimpi tersebut yang sebenarnya adalah mimpinya tentang 'ngapusi'.
Mengapa mimpi harus disesuaikan dan dicari agar seperti mimpi-mimpi orang yang kesusahan dan mendambakan hidup yang sejahtera. Orang-orang di panggung itu hidupnya barangkali sudah sejahtera dan membutuhkan orang-orang lain yang memiliki pengetahuan tentang mimpi yang seharusnya, mimpi yang berbeda dari mimpi orang yang punya duit, punya jabatan dan mimpi yang paling mustahil dari seorang jenderal misalnya.
Sri Panggung memiliki kemampuan dasar untuk memberi empati, menarik perhatian dengan kata-kata, menarik perhatian dengan sedikit sandiwara, namun tidak pernah menarik perhatian dalam memberikan solusi, dia hanya menarik perhatian ketika bisa memberikan solusi seperti yang dimiliki orang-orang kebanyakan, itupun ketika tidak lupa bahwa dia sedang berkuasa, tidak sedang mencari duit atau mempertahankan kekuasaannya untuk orang-orang sekelompoknya yang masih menderita karena antri untuk sejahtera dengan mudah.
Sri Pangung pandai mengungkapkan dengan kata-kata sesuai skenario yang dibuat oleh atasannya, oleh kelompoknya agar bisa memikat orang banyak dan dari skenario dirinya sendiri demi ketenaran pribadinya yang akan melambungkannya ke hal-hal yang tidak dipahaminya, untuk kemudian bingung, tercenung dan akhirnya merusak mimpi-mimpi yang ditawarkannya kepada khalayak, karena memang bukan itulah mimpinya.
Mimpi orang-orang yang sakit hati adalah mimpi termudah yang bisa diceritakan, dan dengan fasih sri panggung dapat memerankannya di panggung yang diciptakannya, namun dibalik itu tidak ada kebanggaan apa-apa dari tawarannya itu karena tak pernah dialaminya sendiri. Sungguh kehidupan yang aneh darinya bahwa dari balik meja dan krusi empuk dengan cepat dapat saja diperankannya sebagai orang yang mengalami fitnah dan kesusahan luar biasa, namun mengapa dia tidak berontak dalam kenyataan. Memberontak untuk bekerja keras dan tidak menjalani kehidupan nikmat yang menjadi apa yang difasirkannya sebagai 'musuh'.
'Munafikin' nabiku menyebutnya, dan kemampuan seperti ini ada dalam setiap insan, tergantung bagaimana cara mengolahnya agar tidak menjadi 'munafikin'.
Sebelum sandiwara dimulai, sri panggung akan menebarkan poster-poster yang ditempelkan di mana saja agar pentasnya bisa sukses dan menghasilkan laba. Sri Panggung tak pernah baerfikir bahwa pernbuatannya itu sudah merusak tatanan seni dan kabudayan. 'The Show must Go On' begitu judul sebuah lagu yang bisa dikatakan mewakilinya, bahwa apapun yang terjadi saat panggung pementasan pesta demokrasi harus menang dan mendapatkan suara, entah mimpi macam apa yang bisa ditawarkan. Dan dalam benaknya berkata bahwa dia hanya bermodalkan sebuah mimpi yang akan dilupakan ketika sudah bangun dan siang hari setelah sarapan.