Klithih Minum

hasil klithih
 

Klithih Minum

Sudah beberapa tahun di Yogyakarta muncul istilah serem yaitu 'Klithih'. Klithih adalah istilah yang dahulunya adalah berarti orang yang berkeliaran untuk mencari sesuatu, dalam arti kata yang netral misalnya mencari udara segara, mencari barang di pasar untuk dibeli. Namun istilah 'Klithih' saat ini cenderung kepada hal-hal yang urakan, anti hukum dan kriminal. Jadi istilah Klithih untuk menyebut remaja-remaja yang berkeliaran malam hari berombongan dengan membawa senjata tajam tersebut sebenarnya tidak relevan lagi karena perilaku anak-anak klithih tersebut tidak ada aturan, melanggar hukum, dan betul-betul sudah dapat dikatakan sebagai kriminal atau penjahat.

Klithih jadi Kriminal atau Penganiayaan Berat

Memalukan sekali memang, Kota Yogyakarta yang pernah disebut-sebut sebagai Kota Pelajar, memiliki potensi kriminal yang dilakukan oleh remaja-remaja dan berkeliaran setiap malam tanpa diketahui ujung pangkalnya. Tidak mengetahui ujung pangkal karena penulis memang tidak tahu mengapa ada fenomena kriminalitas remaja yang disebut dengan perumpamaan halus menjadi 'klithih'.

Agung Supriyono, Kepala Kantor Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) DI Yogyakarta menyatakan ada 10 kawasan rawan aksi kejahatan jalanan. Kawasan itu Jalan Magelang, Ring Road Barat dan Selatan, kawasan Jogja Expo Center, Jalan Timoho, Jalan Parangtritis, Jalan Ipta Tut Harsono, Jalan Tukad sampai Pojok Benteng Kulon, Wirobrajan, dan Jembatan Lempuyangan. Kesbangpol juga akan menggerakkan kembali gerakan Jogowargo yang sudah ada 113 kelompok di Yogyakarta, selain akan berusaha membuat peraturan tentang kenakalan remaja. Hal ini ditulis di Gatra.

Fenomena Kekerasan dan Sistem Masyarakat Kampungan

Kekerasan dan tindak kejahatan seperti hal yang lumrah karena biasa terjadi baik dilaporkan maupun tidak dilaporkan ke Polisi. Hal ini tidak lepas dari bagaimana negara dan birokrasi membangun sistem masyarakat yang berbudaya. Jika kita lihat secara jujur memang tidak ada yang mendukung bagaimana mengedukasi budaya dan ketertiban dlam masyarakat secara benar. Kadangkala memang Polisi menjadi korbannya karena sebagai pengemban keamanan, Polisi tiba-tiba harus menghadapi fenomena kekerasan yang viral. Ketika Polisi berusaha secara murni melakukan 'law enforcement' pada suatu titik Polisi harus behadapan dengan masyarakat dengan backing orang-orang kuat baik birokrasi, politisi atau apapun. Meskipun disadari atau tidak pada akhirnya 'law enforcement' akhirnya berhadapan dengan sistem masyarakat kampungan yang khas dan merugikan perkembangan zaman. Dan akhirnya polisi pun berlindung atau menggunakan kekuatan horizontal, yaitu warga dihadapkan dengan warga, dengan pola siskamling, jogowargo seperti di atas, dsb, agar polisi tidak mendapatkan beban kesalahan 100 persen, karena memang kerja polisi yang sudah banyak.

Sistem Masyarakat Kampungan sendiri tidak bisa dipermasalahkan dan dipersalahkan demikian saja. Karena adanya keterlambatan para pemangku kepentingan seperti birokrasi maupun pemerintah sendiri. Kota-kota yang tumbuh subur menjadi ramai pada awalnya adalah kampung, pemukiman yang tidak memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah perkotaan yang memadai. Apalagi tata ruang, tata pola keamanan bahkan penyiapan infrastruktur pun telat dan sulapan, bahkan tidak terencana matang untuk kurun waktu tertentu. Jadi memang wajar jika pada suatu waktu muncul pola kekerasaan viral dari suatu bagian masyarakat kampungan yang merasa terganggu ketenteramannya. Karena kurangnya komunikasi, kesepahaman bersama maupun kepercayaan karena banyaknya proyek yang muncul tiba-tiba tanpa ada sosialisasi maupun ajakan untuk memahami bagaimana sebuah kota akan disusun dengan perencanaan bersama sehingga menemukan rencana terbaik yang bisa dipahami dan selaras dengan kepentingan berbagai pihak.

Seminar-seminar tentang perencanaan kota maupun hingga aspek keamanannya dilakukan di hotel-hotel berbintang dan tempat tertutup. Hasilnya pun tidak pernah diketahui publik yang haus akan informasi dan pemahaman. Sementara tingkat kecerdasan dan kepentingan masyarakat tidak sebanding dengan hasil dari impian akademis yang muncul di perbincangan-perbincangan tertutup tersebut. Belum lagi kepentingan kekuasaan, partai dan politik para penguasa untuk kelompok maupun dirinya sendiri. So, bermunculannlah keputusan-keputusan pemerintah daerah yang mengagetkan dan membuat masyarakat panik. Bukan hanya karena masih kampungan, namun memang dihadapkan dengan keputusan-keputusan yang membuat mereka dianggap tidak boleh ikut campur bahkan menerima informasi yang gamblang pun tidak ada tempatnya. Pembodohan dan pengkampungan sistem masyarakat ini masih berlangsung, dan diabaikan begitu saja, sebab memang tidak ada perencanaan yang matang dan dilakukan secara profesional.

Masyarakat cenderung dibuat menjadi apatis, karena tidak adanya kesempatan untuk ikut andil dalam berbagai kebijakan kota. Kebijakan dan rembugan yang ada pun seperti sudah didikte dan top down. Budaya dan kebiasaan seperti inilah yang memunculkan berbagai virus ketidakpercayaan kepada berbagai aturan, efek paling dahsyat memang ketika ada momen Pilkada, warga akhirnya memilih hanya untuk kepentingan sesaat dan uang. Terbukti dengan tingginya angka ketidakikutan dalam Pilkada, karena memang Pilkada tidak ada sangkut pautnya dengan bagaimana menyelesaikan dan memperbaiki kehidupannya.

Hal-hal yang tidak dirasakan orang-orang mapan ini pasti dirasakan banyak keluarga yang merasa kehidupannya tidak baik dan dipecundangi oleh kebijakan kota. Muncul menjadi omongan dan tidak sengaja didengarkan oleh anak-anak remaja. Menjadi obrolan di tingkat remaja bahwa ada banyak contoh pembangkangan dan kekerasan yang tidak dipedulikan oleh pemerintah dan aparat keamanan, seperti kekerasan di jalan, menjadi anak jalanan maupun kekekerasan-kekerasan lainnya yang tidak pernah ketahuan oleh pihak berwajib.

Patronase dan Kekerasan

Sebaik-baik kualitas yang ada di sebuah kota, dapat dipastikan tidak merata dan ada juga sekelompok orang yang tidak ikut-ikutan dengan kualitas pendidikan, maupun menikmatinya. Kekerasan tentu saja memiliki sejarah, kemudian sejarah peristiwa tersebut meskipun tadinya adalah diciptakan dan berasal dari sebuah kesalahan, akan diturunkan dari waktu ke waktu melalui sejarah oral, atau perbincangan tanpa mengenal standar kebenaran akademis. Kepentingan pribadi, kelompok dan kebenaran dari sudut pandang tertentu yang berbeda akan menyertainya beserta banyak kepalsuan yang menjadi bumbu penyedapnya.

Bibit kekerasan yang munculpun menjadi operasional ketika ada patron yang muncul. Sehingga tidak heran adanya banyak laskar-laskar maupun kelompok masyarakat yang memiliki infrastruktur lengkap dari aturan hingga skill kekerasannya. Memiliki taktik dan pandangan yang berbeda satu dengan lainnya. Tidak mengagetkan apabila suatu saat terjadi bentrokan dan adu kekerasan, bagi yang memiliki kemampuan bertempur tentu bukan hal yang mengagetkan, namun bagi yang tidak pernah mendengar dan bersinggungan dengan kelompok-kelompok yang memiliki DNA kekerasan seperti ini tentu saja akan kaget dan tiba-tiba berhadapan dengan hal-hal yang berbau kuno dan kampungan. Sebab memang tidak ada lagi alasan logis yang bisa diterima nalar, selain senjata yang dibawanya yang berbicara.

Patronase ini turut andil dalam berlanjutnya berbagai aksi kekerasan, baik yang dapat didata maupun yang tidak. Seakan permusuhan tidak dapat dihilangkan dan dihindari. Mereka entah mendapatkan logistik dan energi dari siapa, permusuhan lama dan preferensi lama masih diturunkan ke anak-anak muda, baik melalui pertemanan maupun melalui keluarga dan kelompok. Banyak sekali rekayasa yang bisa dikenali dalam hal ini, seperti mengapa kelompok hijau tidak pernah dapat akur dengan kelompok merah. Sebuah misteri, apakah sejak peristiwa 65 ataukah 48 ataukah sejak kapan?. Dan sampai kapan akan dapat terselesaikan karena banyak sekali peristiwa kekerasan dan persaingan yang tumbuh lagi kemudian seperti aksi-aksi kekerasan dalam supporter sepak bola, kekerasan jalanan yang sepertinya hanya kebetulan, hingga idoelogi dan politik yang melatarbelakanginya. Tentu saja faktor perkembangan ekonomi dan zaman menjadi hal lain yang patut dipertimbangkan.

Meski dalam salah satu pikiran nakal pastilah ada yang mengatakan dan bertanya, siapa sih yang diuntungkan dari peristiwa kekerasan antar kelompok masyarakat ini?. Klithih bisa jadi adalah fenomena yang dimunculkan dan direlakan hingga diadili di media maupun sosial media. Namun yang tidak kelihatan lainnya? entah.

[ Gambar dari hasil pencarian Google ]

Atas