Bulan Agustus 2009 memiliki arti luar biasa bagi keluarga Bengkel Teater, setelah Mbah Surip kemudian menyusul mas Willy menghadap ke haribaan sang maha kuasa, semoda kedamaian selalu bersama keduanya. Mas Willy sangat mendalam artinya bagi kehidupan sastra di negeri begajul, terlebih ketika dahulu masih berakrab-akrab ria ketika jayanya kelompok Swami kemudian Kantata Takwa, masa-masa bohemian bersama teman dan sahabat yang tidak akan pernah terlupakan dan selalu menjadi bahagian sejarah kehidupan banyak kawula muda saat itu. Kekerasan dan ancaman pada masa orde baru tidak hanya seperti teroris yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari seperti sekarang namun teror yang resmi dilegalkan oleh otoritas maupun teror yang dikembangkan oleh otoritas dengan mencatut pemuda-pemudi kurang gawean yang lapar sehingga menjadi boneka tanpa surat resmi keberadaannya. Begitulah ancaman yang super keras selalu mengancam dan meneror para pegiat demokrasi yang selalu dan saling dukung dengan para seniman sekaligus sebaliknya dalam memperjuangkan kesaksian-kesaksian akan kebejatan otoritas bersama antek-anteknya harus dikemas sedemikian rupa sehingga bersih tidak masuk kategori subversif.
Mirip dengan hari ini juga sepertinya ancaman akan terbongkarnya rahasia negara yang seharusnya transparan itu dengan kemasan pencemaran nama baik hingga pasal-pasal perbuatan tidak menyenangkan, entah yang senang siapa dan siapa yang tidak senang semakin kabur. Mirip kontes SEO siapa yang memiliki kuasa dan bakclink-backlink kekuatan akan menang dan survive dalam pertarungan, maka berhati-hatilah dan lahirkanlah mas Willy-Willy yang baru dengan kemasan yang cerdas dalam mengolah kata sehingga memiliki konten yang cerdas, menghibur, melegakan sehingga akan selamat dari amukan sekaligus memberikan pingback lacak balik indah dengan anchor teks yang valid sehingga mudah dihandle dan di validasi oleh sesama pegiat kebenaran, tanpa harus terluka dalam kebodohan macam para teroris kacangan bukan utusan tuhan penguasa alam yang akan selalu diburu densus 88 anti teror dengan senjatanya yang lebih canggih dan mesti membawa korban ketika beraksi, waspadalah...
Dalam keheningan kesejahteraan dan keringnya perdamaian hati akan melahirkan seniman-seniman dan pengolah kata-kata cerdas sekelas mas Willybrodus Surendra Broto Rendra maupun senyentrik mbah Surip, terlebih dengan adanya arus dalam lubang hitam dunia maya yang bisa mencakup dan melintasi batas ruang dan waktu. Bukankah negeri begajul adalah negeri yang paling siap untuk menerima dan mengadopsi segala macam globalisasi baik globalisasi religi ala terorisme yang digaung-gaungkan menjadi lawan dari globalisasi ala Amerika Serikat, hingga globalisasi komunisme Stalin maupun Mao yang dengan mudah ditangkap dan ditempelkan menjadi jati diri bangsa, entah jati diri siapa yang jelas semuanya bisa langsung menempel dalam kehidupan sehari-hari masyarakat warga negeri begajul yang adaptif, cerdas sejak jaman animisme, hindu, budha sampai sesuatu yang tidak jelas pada hari ini, waspadalah hanya orang yang eling lan waspodolah yang akan selamat dari cengkeraman kesemuanya itu, kembalilah pada agama lurus nenek moyang yang sudah diakui kuat menjadi jati diri bangsa meski hanya bisa dihitung dengan tanpa perlu pusing kepala. --- Tradisi pesta yang dibawa oleh bangsa Portugis Spanyol beberapa abad yang lalu pun menjadi sebuah ikon yang bisa digunakan untuk menarik para penggemarnya bahkan sejawat sendiri, sebuah budaya gado-gado, yah...
memang begitulah negeri indah begajul selalu dibuai dengan kenikmatan meski dibalik layar ada pesan terselubung untuk menyembunyikan maling yang berteriak calo atau atas nama kebangsaan untuk menandatangani hutang negara agar bisa dibayar bersama-sama rakyat kecil disana hingga telaga Ngebel yang indah harus dibebani dengan pajak dan lain sebagainya disamping dari drakula monster rentenir, hingga para jutawan pemasok pupuk demi kenikmatan sesaat dan hasil panen sesaat banyak untuk kemudian hingga pada waktunya harus menelan pil pahit ketika semakin keras tanah ini dicangkul, atau habisnya pohon yang ditebang lantaran untuk memasok kertas untuk mencerdaskan bangsa dalam globalisasi sebagai konsumen bukan sebagai pemasok budaya adiluhung yang tak lekang dimakan jaman, laksana ketiadaan sumberdaya alam hanyalah sebuah takhayul. Mereka tidak paham bahwa Tuhan dalam kesendirianNya memiliki rencana sangat sistematis dalam hukum-hukumnya yang selalu saja dikaji oleh para pencetus globalis didahului dan diantisipasi hingga mirip hukum tuhan dalam jebakan-jebakan globalisasi dimana sangat tidak kelihatan mana atasan mana bawahan, bahkan top manajemenpun, hingga kepala negeri harus menyembah kepada semesta globalisasi yaitu pasar yang dikendalikan oleh invisible hand, bukankah itu tuhan kata mereka, setan kata saya.
Semakin cerdas untuk menganalisa dan berkaca hingga mengembangkan permasalahan hingga tujuh atau delapan tingkat memang diperlukan sekali untuk dapat disebar luaskan agar para jelata tidak menjadi bodoh bagaikan rakyat jelita yang sepertinya berkuasa atas media dan informasi namun tidak memiliki kuasa atas apapun kepada dirinya sendiri. Kenyataan harus dibangkitkan kata mas Willy, benar kenyataan ini harus dikhabarkan dan digendong kemana-mana alun Mbah Surip, bukanya isu terorisme yang dikembangkan dan didramatisir untuk mendapatkan pengakuan dan pencitraan atas kehebatan teroris, bukankah kenyataan bahwa di bawah sebuah telaga yang indah dan damai bisa jadi adalah api yang berkobar-kobar. Seperti pendidikan gratis dengan segala implikasinya malah akan semakin mencekik mata rantai pendidikan ketika tidak bisa diaplikasikan lahir bathin merunut SOP yang berliku-liku dan menanjak seperti jalan menuju keindahan dan tenang seperti di telaga Ngebel, banyak jebakan dan simpangan yang harus dihapal dan dikenali.
Akankah akal dan pikiran harus selalu damai dan asri laksana telaga Ngebel yang ada di Ponorogo Jawatimur Indonesia, membuai menyimpan sejuta perasaan yang tersimpan di balik teduk dan tenangnya permukaan air. Meski bagaimanakah dalam mengelola kesaksian-kesaksian akan penderitaan Paman Doblang seperti yang selalu dikabarkan dari mulut ke mulut, tanpa pernah ditindaklanjuti, akan menjadi sebuah api dalam sekam dan bom waktu bagi negeri baegajul apabila tidak ada manajemen yang bisa mengaturnya, ataukah semuanya memang sudah diatur sedemikian rupa sehingga banyak para paman doblang selalu menelan pil pahit demi gula-gula kekuasaan sebagai puncak dengan mengabaikan peran penting penting tumbal kekuasaan. Haruskah tumbal selalu menjadi saksi, mengapa juga mereka harus menjadi tumbal, dan memerlukan karya-karya besar agar dapat dikenali sebagai mosaik jatidiri bangsa, sebuah keindahan dalam bingkai kesengsaraan, menyedihkan...
Paman Doblang
Kantata Takwa
Paman Doblang paman Doblang
Mereka masukkan kamu kedalam sel yang gelap
Tanpa lampu tanpa lubang cahaya
Oh pengap
Ada hawa tak ada angkasa ( terkucil )
Temanmu beratus ratus nyamuk semata ( terkunci )
Tak tahu kapan pintu akan terbuka
Kamu tak tahu dimana berada
Paman Doblang paman Doblang
Apa katamu?
( ...Ketika haus aku minum air dari kaleng karatan
Sambil bersila aku mengarungi waktu
Lepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa... )
Tidak berbentuk, tidak berupa, tidak bernama
Aku istirahat disini
Tenaga gaib memupuk jiwaku
Paman Doblang paman Doblang
Di setiap jalan menghadang mastodon dan srigala
Kamu terkurung dalam lingkaran
Para pangeran meludahi kamu dari kereta kencana
Kaki kamu dirantai kebatang karang
Kamu dikutuk dan disalahkan tanpa pengadilan
Paman Doblang paman Doblang
Bubur di piring timah didorong dengan kaki kedepanmu
Paman Doblang paman Doblang
Apa katamu?
Kesadaran adalah matahari
Adalah matahari adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Adalah bumi adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Menjadi cakrawala menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata kata
Adalah pelaksanaan kata kata
Kesadaran adalah matahari
Adalah matahari adalah matahari
Paman Doblang paman Doblang
Apa katamu?