Penyebaran Ketidaktahuan, Agnotologi

penyebaran ketidaktahuan
 

Penyebaran Ketidaktahuan, Agnotologi

BBC memilih kata Pembodohan, Penyebaran Ketidaktahuan dan Pengaburan Fakta dalam salah satu tulisannya tentang pengungkapan informasi dan studi yang dilakukan oleh Robert Proctor, seorang sejarawan ilmu pengetahuan Universitas Stanford yang menggali praktik-praktik pabrik tembakau atau lebih tepatnya marketing untuk meyebarkan kekalutan apakah rokok menyebabkan kanker di .

Ilmu pengetahuan tersebut kemudian dikenal dengan istilah agnotologi. Dimana agnotologi adalah studi mengenai tindakan yang disengaja untuk menyebarkan kebingungan dan penipuan, yang biasanya dipakai untuk menjual sebuah produk atau untuk mendapatkan keuntungan. Asal kata agnotologi adalah dari bahasa Yunani neoklasikal untuk 'ketidaktahuan' dan ontologi yaitu sebuah cabang metafisika yang berurusan dengan sifat-sifat keberadaan. Demikian ditulis oleh BBC.

“Saya mempelajari bagaimana perusahaan-perusahaan yang berkuasa dapat mempromosikan ketidaktahuan untuk menjual produk mereka. Ketidaktahuan merupakan kekuatan … dan agnotologi adalah penciptaan ketidaktahuan ini dengan sengaja. “Dengan mempelajari agnotologi, saya menemukan dunia rahasia ilmu periklanan, dan rasanya para sejarawan harus memberi hal ini lebih banyak perhatian.” Memo tahun 1969 itu berserta taktik-taktik yang dipakai industri tembakau menjadi contoh paling tepat agnotologi. “Ketidaktahuan bukan saja artinya belum mengetahui, tetapi juga permainan politik, yang dengan sengaja dibuat oleh para agen yang berkuasa yang menginginkan agar kita tidak tahu.” Untuk membantunya dalam riset ini, Proctor meminta bantuan pakar linguistik dari UC Berkeley Iain Boal, dan bersama-sama mereka menciptakan istilah agnotologi. Kata baru ini diciptakan tahun 1995, meskipun sebagian besar analisis Proctor tentang fenomena ini sudah dilakukan dalam beberapa dasawarsa sebelumnya. Sumber :

Kita hidup di dunia ketidaktahuan radikal. Robert Proctor

Penyebaran Ketidaktahuan di Indonesia

Di Indonesia kebanyakan yang masih dilakukan adalah Politik Ingatan, yaitu memanipulasi ingatan atau sejarah. Semua ingatan difokuskan pada satu produk milik kekuasaan atau kelompok yang berkuasa. Sementara kelompok yang lainnya tidak diakomodasi bahkan dihilangkan ceritanya. Perlu dimaklumi karena kebanyakan sejarah tersebut berhubungan dengan perebutan kekuasaan dan pengaruhnya untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Tentu saja ini berbeda dengan penyebaran ketidaktahuan, meskipun memiliki pangkal muara yang hampir sama yaitu pengkaburan kebenaran dan memanfaatkan kebodohan yang dibantu dengan kekerasan untuk memahami satu kebenaran tunggal yang diciptakan.

Sementara untuk penyebaran ketidaktahuan selalu dipraktikan oleh para politikus ketika melakukan kampanye saat pemilu. Sangat ramai bahkan sampai sekarang tentang penyebaran ketidaktahuan ini pada saat Pemilihan Presiden antara Joko Widodo dan kubu Prabowo. Dan penyebaran ketidaktahuan selain dilakukan di media sosial internet, pund dilakukan di jalan-jalan, warung-warung, desa-desa, hingga tempat ibadah.

Penyebaran ketidaktahuan bahkan dilakukan kelompok-kelompok agama atau sekte. Misalnya saja orang Jawa sudah mengenal Tahlilan, Kenduren, Peringatan 3 hari, 40 hari, seratus hari, sethaun hingga 1000 hari meninggalnya seseorang. Dan agama Islam juga sudah dianut selama berabad-abad namun sekte-sekte atau aliran-aliran baru mengannggap hal tersebut tidak cocok dengan agama Islam baru yang diusungnya dengan latar belakang konteks dan konsep bahkan kewilayahan yang berbeda.

Efek dari penyebaran ketidaktahuan ini adalah masyarakat yang mudah terbakar emosinya dan pekerjaan yang lama untuk mengetahui apakah informasi yang diterima itu benar atau tidak. perlu melakukan konfirmasi ke banyak pihak, karena kecepatan penyebaran ketidaktahuan dan pembodohan yang cepat (didukung sistem informasi). Sementara tempat untuk konfirmasi informasi sangat terbatas.

Belum lagi tentang Pilgub DKI yang melakonkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat ini. Ajang berita bohong dan fitnah pastinya akan bermunculan dari metropolitan Jakarta yang adalah miniatur informasi Indonesia. Mari kita saksikan bagaimana antar pendukung, antar calon, dan antar partai politik menggunakan informasi untuk memberikan solusi bagi Jakarta.

Atas