Mengapa manusia mudah bertindak jahat?

manusia jadi setan
 

Mengapa manusia mudah bertindak jahat?

Pembunuhan massal, adalah hal paling mengerikan yang terjadi dan mengapa itu terjadi di dunia bahkan di negeri kita? Pengusiran massal kepada kelompok yang diisukan sesat memicu kebrutalan manusia untuk berbuat semaunya. Semaunya? mungkin tidak juga karena sepertinya itu ada yang memerintahkan. ISIS misalnya kelompok yang pernah ngehits dan didukung oleh banyak orang berjubah itu sampai pernah demonstrasi segala, adalah contoh mengapa manusia bisa sangat mudah menjadi iblis atau setan. Sangat kejam dan tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan.

Jelas sekali mengapa orang menjadi seperti kesetanan, setan atau bahkan seperti iblis yang paling kejam menurut referensi resmi dikatakan mahluk-mahluk itu sangat kejam, dan bukan manusia. Namun kenapa manusia bisa melakukan hal sekejam itu seperti misalnya saja Pembunuhan Massal terhadap orang-orang terduga PKI di Indonesia, pembunuhnya jelas tak memiliki rasa kemanusiaan.

Pembunuhan massal atau pembakaran atau kerusuhan massal pada tahun 1996 di kantor PDI, atau tahun 1998 di Solo dan Jakarta, mengapa orang bisa sekejam itu, apakah itu karena pilihan atau keputusannya untuk melakukan kekejaman?.

Ternyata TIDAK...

Penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh University College London yang dipimpin oleh ahli ilmu otak Patrick Haggard untuk mengukur apa yang terjadi pada otak manusia saat diperintah untuk melakukan sesuatu, atau sebaliknya memilih untuk melakukan sesuatu. Hasilnya dapat diterbitkan oleh Current Biology bahwa para peneliti melaporkan bagaimana mereka mengulang kembali eksperimen terkenal pada abad 20 mendapatkan hasilnya.

Pada tahun 60an Stanley Milgram, seorang psikolog dari Universitas Yale melakukan eksperimen tentang bagaimana seseorang akan mengikuti perintah. Dia menyuruh seorang relawan untuk menyetrum seseorang yang tidak dikenalnya, dan dengan mudahnya relawan itu menyetrum orang tersebut bahkan sampai keadaan yang tak terduga. Relawan tersebut akan selalu melakukan perintah oleh seseorang dari laboratorium meskipun relawan-relawan tersebut mengetahui apa akibatnya karena kejutan listrik yang diberikannya kepada orang lain. Hanya beberapa orang relawan saja yang menolak untuk melakukan perintah dari laboratorium.

Haggard pun melakukan kembali eksperimen Milgram tersebut beberapa waktu yang lalu, dan hasilnya sama.

Coercion increased the perceived interval between action and outcome, relative to a situation where participants freely chose to inflict the same harms. Interestingly, coercion also reduced the neural processing of the outcomes of one’s own action. Thus, people who obey orders may subjectively experience their actions as closer to passive movements than fully voluntary actions.

Hal ini menunjukkan dan dapat menjelaskan mengapa sangat mudah membuat manusia melakukan hal-hal keji atau jahat, atau tidak baik. Karena ketika melakukan sesuatu karena diperintah ada semacam rasa tidak peduli atau persetan dengan hasilnya. Merasa kurang memiliki tanggung jawab. Eksperimen menemukan perbedaan bahwa otak kita melakukan proses yang berbeda-beda.

Tentu saja eksperimen ini meninggalkan pertanyaan penting bagi kita semua tentang etika bahwa mengapa tidak banyak orang yang menentang untuk melakukan perintah dan membuat keputusannya sendiri, namun bagaimanapun juga sains baru menemukan jawaban seperti ini, tentang mengapa manusia sangat mudah untuk diperintah melakukan kejahatan atau bahkan menjadi setan. Atau mungkin berbuat kebaikan lebih memerlukan upaya dan pemikiran yang lebih?.

Selengkapnya untuk lebih memahami, silakan kunjungi halaman Current Biology, 2016. DOI: 

 

Atas