Negeri Begajul semakin saja terpuruk, negeri yang pernah berjejuluk gemah ripah loh jinawi tersebut, semakin saja menangis sedih, sedih dan seterusnya selalu saja sedih. Bukan lantaran salah pilih, namun memang semuanya sudah dikondisikan, diarahkan dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuatu yang sangat penting dapat digantikan dengan lembaran-lembaran rupiah, yang meskipun tidak bisa untuk menggauli kehidupan namun untuk menuju kegelapan yang semakin saja pintu gerbangnya terbuka dengan hingar bingar kekerasan, bencana, penat dan sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Bahkan sangat sulit untuk memahami 'sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pecahing dada luntaking ludira tekaning pati' secara diplomatis, bukan dengan perang.
Negeri Begajul yang dahulunya sangat berdaulat seakan dipermainkan dengan banyak hal, dimana harus mematuhi peraturan-peraturan internasional yang bukan tidak mungkin secara jangka panjang akan menisbikan amanat penderitaan rakyat, sebagai misal pelarangan merokok yang sangat tidak masuk akal, berapa juta rakyat yang harus gigit jari karena perang dagang tersebut, yang pada akhirnya sangat bisa ditebak bahwa tembakau akan di monopoli oleh pihak asing, tentu dengan jurus dan rahasia tertentu, karena sebegitu banyaknya perokok masa lalu toh juga berumur panjang dan tidak mengalami masalah dengan paru-parunya, bukan saja karena udara yang bersih karena polusi namun tentunya akan menciptakan pertanyaan baru bagi yang bisa melihat dengan netral. Musim dan alam yang memang sudah sangat sulit diprediksi toh belum dapat menggugah hati para pemimpin yang entah rasa kenegaraannya. Karena lebih kepincut dengan pendidikan asing atau apapun yang berbau bule dan kulit putih, seakan sudah dibutakan hatinya sendiri tentang kelokalannya sendiri, mereka menuju go internasional, namun lupa... internasional itu apa.
Seperti tulisan seorang kolonel yang sebenarnya tidak pedas-pedas amat, hanya menginginkan pemimpin yang bernyali, tidak hanya cerdas, namun kolonel itupun lupa tentang sifat negarawan yang harusnya dikedepankan pada orang nomor satu di sini. Betapa cerdasnya mereka di atas kertas namun ketika kehilangan bagian dari negara dengan mudah, sudah barang tentu patut dipertanyakan rasa patriotismenya. Orang dahulu dengan santun berkata 'sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pecahing dodo luntaking ludiro tumekan pati', betapa sebuah pulau adalah berjuta-juta lebar nyari (jari), dan daerah perbatasan adalah simbol terdepan kedaulatan sebuah negeri, negeri yang berwibawa tentunya dengan negarawan yang waras.
Bahkan alam pun sudah tak percaya, ketika diramalkan oleh sebuah lembaga berisi para cendekia tentang gunung, mengatakan bahwa gunung tersebut tak akan meletus pada malam tersebut, namun apa yang terjadi. Alam sudah muak, sudah tak bisa diramalkan, bukan karena 'sadumuk bathuk sanyari bumi', namun bukan hanya karena fenomena-fenomena insidentil, sangat mengherankan ketika hal tersebut terjadi berulangkali. Bahkan tanpa solusi atau karena sudah sulitnya mencari solusi, sebab mending sebuah gedung baru senilai 1,7 T harus berdiri agar sebuah kasus senilah 6,3 T tak diungkit lagi. Siapa yang untung siapa yang rugi, sudah tidak jelas lagi. Menggorok leher rakyat sendiri tega, namun ketakutan, silau dan menyembah kekuatan luar yang mendatangkan segelintir uang namun bencana bentuk lain dikemudian hari. Dan tinggal menunggu setan-setan komunisme berpestapora karena kemiskinan dan sulitnya ekonomi, atau ada hukum alam yang lain lagi. (haha)