“...dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.”
(Bung Karno, dikutip dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, 1959, hal. 75, ejaan disesuaikan)
Hak asasi manusia dalam pusaran politik transaksional : Penilaian terhadap kebijakan HAM dalam produk legislasi dan pengawasan DPR RI periode 2004-2009
Bagaimana bisa menganggap bahwa HAM adalah kepentingan asing?
Siapa yang berkuasa dan memegang kekuasaan secara informal dan formal di negeri begajul? Semua orang tahu, meski sudah dilakukan upaya-upaya yang nyata oleh Gus Dur kala itu namun, kekuatan para pemilik dan pemegang senjata tetap saja masih bisa bangkit. Terlepas dari upaya kemerdekaan para pahlawan dahulu yang juga dengan senjata api. Namun yang jadi aneh adalah para pemegang senjata dahulu akhirnya tumbang juga sebagaimana malah dikatakan pemberontakan yang melawan negara dalam sejarah dan buku putih yang diedarkan dan menjadi bacaan wajib para siswa di sekolah agar tidak melenceng dari kesalahan yang dipermak menjadi kebenaran sejarah negara.
Bagaimana laskar rakyat bisa musnah dan banyak pemberontakan, atau konflik bersenjata dengan militer berkuasa yang sekolah di West Point,.. ah itu terlalu jauh.. dan mungkin tak berguna di tuliskan di sini.
Tentang buku terbitan ELSAM "Hak asasi manusia dalam pusaran politik transaksional : Penilaian terhadap kebijakan HAM dalam produk legislasi dan pengawasan DPR RI periode 2004-2009" :
- Judul: Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR RI Periode 2004-2009
- Penulis: Indriaswati Dyah Saptaningrum, Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyudi Djafar, Widiyanto, Sueb bin Idi Zakaria
- Pembaca Ahli: Amiruddin Al Rahab
- Kolasi: xxx, 344 hal.; 21cm.; Lampiran
- Penerbit: ELSAM
Sejalan dengan agenda demokratisasi di Indonesia pasca-1998, kesadaran bahwa hak asasi manusia merupakan elemen yang tak terpisahkan dari demokrasi semakin meluas. Penghormatan hak asasi merupakan prasyarat mutlak terbentuknya tata kelola pemerintahan yang demokratis. Jaminan penghormatan dan perlindungan hak asasi tiap warga negara memungkinkan warga memperolah perlindungan atas kebebasan sipilnya. Dengan demikian, warga dapat berkontribusi sepenuhnya dalam mewujudkan demokrasi, baik melalui partisipasi politik secara bebas, keluasan berorganisasi, berpikir dan berpendapat, serta menempatkannya setara di hadapan hukum.Paska bergulirnya transisi politik tahun 1998, institusionalisasi Hak Asasi Manusia berlangsung dengan cepat baik melalui adopsi langsung norma hak asasi manusia ke dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti tampak pada perubahan kedua UUD 1945 dan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, maupun melalui proses ratifikasi. Sejauh ini, Indonesia telah menjadi negara pihak dari 7 konvensi utama HAM, termasuk yang terakhir diratifikasi adalah Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas di tahun 2011.Pengadopsian standar hak asasi manusia tersebut secara inherenmenempatkan negara sebagai pengampu kewajiban yang mencakup penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak. Realisasi kewajiban negara atas HAM setidaknya membutuhkan tiga pilar utama, pertama, kebijakan sebagai kerangka normatif, penganggaran yang terkait dengan alokasi sumber daya negara, dan justiciabilitas hak, yang ditopang melalui fungsi peradilan. Dengan demikian terlihat bahwa dua pilar utama berada di cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kemajuan progresif pemenuhan hak asasi, dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari kemampuan lembaga legislatif untuk menempatkan HAM sebagai pilar utama pelaksanaan fungsi dan kewenangannya.Dengan bergesernya pendulum keseimbangan kekuasaan pemerintah kearah heavy legislativebody semenjak reformasi 1998, tak dapat dipungkiri DPR memegang perang yang semakin penting dalam upaya promosi, proteksi, dan realisasi pelaksanaan hak asasi manusia (HAM). Keberhasilan amandemen UUD 1945, yang menjadi bagian penting konsolidasi demokrasi Indonesia pasca-rezim otoritarian, makin memperkukuh posisi dan kewenangan DPR. UUD 1945 sebagai highest-norm dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, memberikan kewenangan kepada DPR dalam pembentukan undang-undang (legislation), penganggaran (budgeting), dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang sekaligus kinerja eksekutif (monitoring). Selain itu kewenangan untuk mengusulkan pemakzulan (impeachment) presiden menguatkan posisi lembaga legislatif.Memperhatikan hal tersebut, nyata bahwa ada hubungan antara hak asasi manusia, demokrasi dan institusi politik, khususnya DPR, sebagai pihak yang memiliki peranan penting bagi perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia hanya akan berjalan baik, bilamana perangkat-perangkat demokrasi yang terealisasi dalam institusi-institusi politik, mampu berjalan secara baik dan memiliki keberpihakan terhadap hak asasi manusia. Begitupun sebaliknya, demokrasi akan berjalan sebagaimana mestinya, dalam pengertian demokrasi substansial, jikalau hak asasi manusia keseluruhan warga negara dijamin, dilindungi dan dipenuhi, sehingga instrumen-instrumen demokrasi bekerja sesuai dengan yang dikehendaki warga.Dalam hubungan itu, peranan aktor-aktor di parlemen menjadi sangat signifikan. Keberpihakan aktor-aktor politik di parlemen sangat diperlukan, khususnya dalam hal pembentukan hukum yang sejalan dengan penguatan hak asasi manusia. Diperlukan keseimbangan antara hak asasi manusia dan demokrasi, keduanya tergantung dan berhubungan satu sama lain, sehingga perlu diciptakan satu sistem (norma) hukum yang melindungi hak asasi manusia. Aktor politik di parlemen akan sangat memberi warna dalam menciptakan guratan politik beragam produk hukum yang dihasilkannya. Apakah produk hukum tersebut sejalan terhadap upaya perlindungan hak asasi manusia, atau justru sebaliknya, mengingkari atau membatasi perlindungan hak asasi.DPR akan sangat menentukan dalam menentukan pilihan kebijakan yang memiliki relasi dengan hak asasi manusia. Apakah kebijakan tersebut mampu memberdayakan (enabling) semangat pemajuan hak asasi manusia, atau malah menghambat (constraining) upaya penegakan hak asasi manusia. Sejauhmana keberpihakan DPR terhadap pemajuan hak asasi manusia dapat diukur dari seberapa besar perspektif dan paradigma hak asasi manusia tersirat dan tersurat dalam produk kebijakannya. Kemudian, sebagai manifestasi dari perwakilan rakyat, DPR seharusnya juga berperan penting dalam menciptakan kesadaran publik (public awareness) tentang arti penting pemajuan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia.Pada titik inilah DPR sebagai pembentuk hukum dan undang-undang bersama Presiden, dituntut untuk memunculkan peran aktifnya. Sudah seharusnya, DPR yang merupakan representasi rakyat Indonesia, yang menginginkan dijamin dan dipenuhinya hak-hak asasinya sebagai warganegara, menjadi inisiator dalam setiap langkah upaya pemajuan dan penegakan hak asasi manusia. Pembentukan hukum nasional maupun ratifikasi kovenan internasional hak asasi manusia menjadi hukum nasional, membutuhkan peran aktif DPR. Tidak sekedar menunggu usulan pembahasan dari pemerintah. Produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR sudah waktunya diarahkan tidak lagi sekedar membebani warganegara dengan kewajiban, melainkan memperkuat upaya pemenuhan hak-hak warganegara. Relasi negara dengan warganya yang selama ini dibangun dengan perspektif kewajiban, sudah seharusnya direkonstruksi dengan menggunakan perspektif hak.Kerja DPR tentunya tidak berhenti pada titik pembentukan hukum saja. Kewenangan DPR untuk memonitor kinerja pemerintah dalam pelaksanaan undang-undang, menjadikannya penting dalam mengawasi sejauhmana tanggung jawab negara dalam memenuhi hak warganya. Pemenuhan hak asasi manusia musti ditempatkan sebagai kewajiban negara (state obligation), yang tak boleh disimpangi sekecil apapun. Karenanya peran aktif DPR dalam aksi ini penting untuk segera diwujudkan.Memerhatikan posisi penting DPR dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia, melalui seperangkat fungsi yang dimiliki itulah, kemudian diperlukan suatu mekanisme pemantauan dan penilaian atas kinerja DPR dalam kaitannya dengan hak asasi manusia. Pemantauan ini penting, selain untuk memastikan sejauh mana produk DPR sejalan dengan hak asasi manusia, juga sekaligus menjadi upaya untuk memperkuat kapasitas hak asasi manusia parlemen.Terbitnya buku ini, merupakan awalan dari pekerjaan panjang untuk memantau sejauhmana DPR menggunakan hak asasi manusia sebagai pendekatan utama dalam melaksanakan seluruh fungsi dan kewenangannya. Pekerjaan ini diharapkan akan dapat dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga pada saatnya dapat dipastikan DPR akan menjadikan hak asasi manusia sebagai pondasi dan paradigma dalam setiap pelaksanaan fungsi dan kewenangan DPR. Sebagai awalan, buku yang bersumber dari penelitian yang dilakukan ELSAM pada periode 2008-2009 ini, tentu tak lepas dari kekurangan di beragam sisi. Untuk itu, seiring dengan berjalannya proses dan waktu, catatan dari berbagai pihak dan khalayak, diharapkan akan terus melengkapi upaya ELSAM, dalam melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja HAM dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan DPR ini. Akhirnya, selamat membaca...Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)--Triana DyahLibrarianThe Institute for Policy Research and Advocacy [ELSAM]Jl. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar MingguJakarta Selatan 12510tel. 6221-7972662t. @trianadyah