Banyak bijak bestari yang mengatakan bahwa negeri begajul baru akan mendapatkan pemimpin yang ideal serta dapat memerintah dengan baik membawa rakyatnya menuju kesejahteraan yang benar-benar sejahtera adanya sekitar 10 kali pemilihan presiden lagi. Lama memang meskipun saat ini juga sebenarnya semua orang berhak mengatakan siapa pemimpin terbaiknya. Semua memang memiliki hak yang sama baik untuk memilih maupun untuk tidak memilih, tak ada keharusan dan kewajiban untuk kesusu atau berimajinasi tentang siapa pimpinan yang mumpuni atau barangkali semuanya yang baik dan ideal sudah terlalu jauh lepas, copot dari nurani hati kita yang paling dalam, atau dengan sengaja kita pernah menghapusnya sendiri, dengan ideal dan topografi otak yang sudah demikian absurdnya menghadapi kenyataan, bahkan yang sudah dijanjikan sekalipun.
Janji seperti sebuah nama dan idea yang tak kan pernah habis untuk diucapkan, semuanya bisa berjanji bahkan bersumpah, seideal-idealnya, barangkali hanya orang yang tulus dan taat beragama saja yang takut untuk mengucapkannya, meskipun sang Albert Einstein yang katanya jenius itu pernah memberitahu bahwa energi adalah kekal, sangat erat kaitannya dengan apa yang dikeluarkan dinyatakan oleh sebuah janji, janji adalah energi sesuatu yang terlepas dari mulut pengucapnya, dia akan berputar-putar terus menerus tanpa akhir mengitari alam raya sehingga sampai kapanpun akan terdengar dan membekas, dan janji akan mengikuti setiap kematian para pengucapnya. Meski janji itu keluar dari nyonyor para artis ahli beladiri kawin cerai yang mengatakan selalu tentang cinta yang tidak lebih dari lima tahun sudah dikhianatinya sendiri.
Janji tulus yang moncrot dari mulut kotor itupun akan mengikutinya hingga keluar dari liang kuburannya nanti. Apalagi yang bisa dilakukan untuk membuat negeri begajul kembali gemah ripah loh jinawi, tidak ada yang harus diperbuat selain menutup kuping dari teror janji yang selalu terucap dari para pengobralnya. Akankah berangkat menuju bilik pencontrengan dengan bekal janji demi pemangsa lobang kenikmatan yang nikmatnya hanya untuk dirinya sendiri, apakah yang bisa dilakukan ketika hasil contrengan kita sudah masuk ke kotak suara, sampai kemana contrengan satu anak manusia itu nantinya ketika sampai ke pusat akan membuahkan apa, akankah contrengan itu tidak berubah warna, dan tentunya harus degdegan pula ketika menunggu hasilnya. Meski dalam hati yang lain tidak akan percaya terhadap apa kasiat dari contrengan itu kepada keberlanjutan masa depan yang dibiayai dengan uang pinjaman. Apa daya ketika banyak pemikiran waras yang berterbangan laksana angin harus mentok dan masuk ke tong sampah dengan alasan macam-macam.
Akankah konflik menjadi komoditi yang masih laris dimasa yang akan datang. Gelap rasanya melihat kehidupan sosial yang ternyata hanya merupakan angan-angan semata sebagaimana halnya ekonomi kerakyatan yang cukup berhasil membuat ontran-ontran character assasination. Menjadi sebuah lakon baru dalam aras kebangsaan saat ini adalah dimana baru muncul orde pencitraan, tidak lain tidak bukan hanyalah kepanjangan dari strategi perusahaan dalam membranding dirinya, begitu kentalnya pengaruh itu hingga di dasawarsa yang akan datang sepertinya pencitraan akan selalu menjadi sebuah permasalahan seksi yang tidak akan pernah habis dikupas dan ditelanjangi.
Perjuangan harga diri yang dibranding tidak akan pernah habi, bahkan ketika sudah berkuasa rasa citra diri yang dibangun dengan pondasi kebenaran semu menurutnya akan menjadi sebuah nyawa satu-satunya untuk dipertahankan meski harus membunuh orang sekalipun. Mungkin sudah saatnya ketika rasa kebersamaan yang dibentuk dalam perjuangan merajut akar-akar kebangsaan Indonesia sudah menemukan titik kebosanan karena ketakutan akan hilangnya citra diri, citra kesukuan, citra lokasi yang sudah dibangun berlandaskan kepentingan pribadi, usaha dan perjuangan darah pribadi, bukan salah pribadi itu tentunya karena memang tidak seharusnya sebuah negara beserta aparatusnya membiarkan dan melakukan penganaktirian pada anak bangsanya sendiri. Masihkah ada dan terpatri rasa kebangsaan tanpa trauma orde baru, pendarahan etnis, maupun politis yang seharusnya sudah sembuh untuk mencipta citra diri dan bangsa yang lebih waras?.