Bagaimana mungkin sebuah Kementrian katakanlah Kementrian Desa akan mengkhianati Undang-Undang yang membuatnya ada, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang sangat sulit dipahami itu. Undang-Undang Desa memang sangat sulit dipahami contohnya adalah mungkin saat ini banyak pemerintah daerah yang kelabakan, maupun pemerintah desa sendiri yang kelabakan untuk mengimplementasikan UU Desa. Meski jauh dari harapan UU Desa sendiri bahwa hal paling krusial dan paling penting di tangkap adalah Dana Desa. Dan dikatakan oleh Menteri Desa sendiri, Marwan Ja'far bahwa untuk mengakses Dana Desa yang akan diturunkan pada April 2015 adalah Desa harus memiliki RPJMDes dan RKPDes, maksimal RKPDes dan RPJMDes tersebut sudah harus jadi sebulan sebelum bulan April agar Dana Desa bisa digunakan untuk melaksanakan perencanaan pembangunan Desa dengan pendanaan dari Dana Desa. Sungguh ironis.
Belum lagi ketidakpahaman akan maksud adanya UU Desa yang memberikan kewenangan kepada Desa untuk melaksanakan pembangunan dan pemerintahan secara lokal yang diakui oleh Undang-Undang. Namun yang lebih ramai ditanggapi adalah bagaimana kesejahteraan perangkat desa yang sudah mendapatkan jatah tanah bengkok untuk kesejahteraannya sebagai penguasa desa yang entah memikirkan warganya atau tidak. Banyak desas-desus yang mengatakan bahwa adanya UU Desa akan mengurangi jatah kebahagiaan dan kesejahteraan para perangkat desa tersebut, hingga bagaimana Kejaksaan Tinggi Kabupaten Temangungg mengeluarkan pernyataan tentang prosentase penggunaan dana desa yang jika salah, para perangkat desa nantinya harus indekos di penjara. Sepertinya memang terlalu banyak yang negatif dan menyengsarakan adanya UU Desa ini, meski banyak pihak juga yang mengartikan UU Desa adalah Uang-Uang Desa. Apakah dengan uang milyaran tersebut secara otomatis desa akan makmur dan bergelimang kekayaan?, tentu saja bisa jadi mungkin malah sebaliknya karena uang adalah pemicu konflik yang efektif.
Apalagi dengan adanya surat dari kemendagri bahwa fasilitator pedesaan yang paling banyak jasanya sekaligus paling banyak uangnya, yaitu PNPM dibubarkan sehingga pada akhir tahun kemarin, ada berita besar tentang mengangurnya puluhan ribu fasilitator pembangunan desa yang diputus kontraknya oleh negara. Aneh memang fasilitator pembangunan namun berdasarkan kontrak kerja, dan yang lebih memperuncing permasalahan lagi adalah sebenarnya para fasilitator tersebut sudah memiliki biaya belanja dari organisasi PNPM sendiri yang jumlahnya trilyunan, sudah dikeluarkan post pendanaannya oleh yang punya duit dan bagaimanapun sebagaimana manajemen yang baik, uang tersebut harus habis digunakan. Namun pertanyaannya karena para fasilitator tersebut sudah habis masa kerjanya, maka uang tersebut menjadi tanggung jawab siapa untuk menghabiskannya. Sementara penggunaan dana tersebut juga dimungkinkan untuk pengawalan implementasi UU Desa, sebagai salah satu bagian UU Desa dan Godaannya karena nafas mengawal Dana Desa memang begitu menggoda.
Tabel Kewenangan Desa menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014
UU No. 32/2004 |
UU No. 6/2014 |
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa |
Kewenangan berdasarkan hak asal usul |
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa |
Kewenangan lokal berskala Desa |
Tugas pembantuan dari Peme- rintah, Pemerintah Provinsi, dan/ atau Pemerintah Kabupaten/ Kota |
Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota |
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- undangan diserahkan kepada Desa |
Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan |
Menjadi salah satu Godaan UU Desa mungkin, yang juga aneh sebenarnya adalah program kerja menteri desa yang meluncurkan program kerja Nawakerja Prioritas untuk membangun 3500 desa hebat, membangun pasar tradisional, yang sebenarnya menurut Yando Zakaria, seorang pekerja dan pejuang lahirnya UU Desa, bahwa Nawa Kerja Prioritas tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap UU Desa secara gamblang, karena menghancurkan dan tidak memahami kewenangan lokal berskala desa, yang dapat dibaca di PP Desa. Cukup menggelikan memang program kementrian-kementrian negara jika dicermati. Apalagi kementrian dan lembaga (K/L) yang memiliki uang berjibun, seakan dana tersebut adalah dana sendiri sehingga dibikinlah proyek-proyek yang maksudnya hanya satu, menghabiskan uang. Dari kacamata manapun sebagai rakyat harus memahami, dan terima kasih karena memang tidak sepadan dengan pajak yang dibayarkan sebagai kewajiban warganegara yang harus mendahulukan kepentingan umum atau orang lain daripada kepentingannya dan kebutuhannya sendiri yang sudah diproyekkan oleh orang-orang pintar di atas sana, atau di Jakarta lebih tepatnya. Sementara warga desa, harus menghadapi kadesnya yang ndolim dan pura-pura bertahan hidup untuk membangun desanya sendiri.
UU Nomor 6 Tahun 2014 memang eksotis dan banyak godaannya.