Tidak habis pikir memang dengan segala penyalahgunaan fasilitas dan berbagai kemudahan yang ada. Semisal wahana internet yang memang pada awalnya penuh dengan kebebasan, dengan segala niat baiknya tentunya. Kemudian dalam perkembangannya setiap orang bisa untuk mengakses dengan mudah untuk kemudian terjadilah hal-hal yang seprti biasa dilakukan di dunia nyata. Kadang perbedaan itu memang tipis dan lama kelamaan terasa menyatu dengan kehidupan sehari-hari, hingga status-status online kadang mencerminkan perasaan sehari-hari yang otomatis menjadi konten multimedia.
Bahwa "nila setitik akan merusak susu sebelahnyangga", mungkin masih menjadi senjata andalan untuk menggeneralisasikan sesuatu kesalahan dengan ditambahi kaitan-kaitan yang sangat filosofis dan kadang kepala orang biasa tak bisa memahaminya. Banyaknya bug-bug yang ada selalu saja bisa untuk permainan baik yang berniat baik maupun berniat jahat. Meski kejadian yang terjadi adalah kesalahan yang bisa saja terjadi di dunia nyata, namun satu kesalahan kecil itu bisa menjadi sebuah tools untuk memberangus ratusan aktifitas positif yang justru malah tidak pernah dianggap ada.
Begitulah mata dalam mengamati sebuah peristiwa haruslah lebih jujur dan tajam, bahwa banyak pihak masih memerlukan penerangan yang jelas juga pendidikan yang benar. Apa lacur ketika pemberangusan selalu saja terjadi tanpa ada implikasi untuk memperbaiki dan menoleh ke akar permasalahan, seperti perbaikan pendidikan, perbaikan sarana informasi, dan percontohan perilaku yang baik. Seperti kalo sudah nggak bisa lagi mengelak mengenai kasus korupsi di Century ya mending turun dengan ksatria, tidak usah bikin ini itu yang kadang malah lucu, apalagi dengan pernyataan-pernyataan yang sama sekali jauh dari kenyataan, atau bahkan sangat reaktif dengan kejadian-kejadian kecil yang sama sekali tanpa makna, memalukan.
Sudah jelas dan tak perlu lagilah diulang-ulang mengenai pasal-pasalnya berikut dukungan internasional dengan ratusan deklarasinya. Atau mungkin karena tren saja, bahwa Konten sebuah situs yang saat ini sudah menjadi web 3.0 dari web 2.0 yang sudah interaktif sehingga konten adalah milik para pengirimnya. Bahwa tanggung jawab memang pada pemilik konten sendiri, bukan provider konten yang jelas sudah terlatih dan memiliki politik redaksi dan politik konten ala kotbah jumat yang sudah direncanakan sebagai tools perubahan masyarakat untuk menjadi seperti yang diinginkan pembuatnya.
Meskipun hanya sebuah Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia (RPM-Konten) yang diluarnya kelihatan sangat manis namun akan terasa sangat pahit ketika dikunyah serta implikasi selanjutnya. Secara normatif memang baguslah ajakan seperti itu, tapi sebelumnya tengok dululah apa yang sudah ada dalam konten-konten yang resmi dan kadang malah beradu pukul dengan kenyataan yang sudah ada, sehingga masyarakat secara swasta harus memiliki modal, model dan pemikiran sendiri untuk mengajarkan kepada lingkungan dengan konten yang membumi, bisa dipahami dan tentunya mengakar, meski kadang kritik pedas tetap dilontarkan namun bukankah itu demi perubahan yang lebih baik. Jika memang memiliki political will yang excelent sih ya...
Bukan berarti makar atau apa tapi 'tolak RPM-Konten' adalah sarana untuk saling mengingatkan bahwa semua pihak haruslah berkompeten dan bertanggungjawab, bukan asal menolak memang, sebab semuanya memiliki efek, akibat dan akar permasalahan yang jika akan diselesaikan akan menjadi lebih baik. Lagi pula pemilik konten seharusnya sudah bisa membaca dan meyetujui Term Penggunaannya, semua memang harus bisa bersikap wajar dan biasa, tidak terpengaruh tren pemblokiran akses dan apalagi jika pada multimedia jejaring pertemanan, semuanya bisa terjadi, apalagi dengan kondisi yang penuh ketidak adilan disini. Kebijaksanaan dan contoh-contoh tindak tanduklah yang sebenarnya sangat dibutuhkan, bukan cara-cara kekerasan semisal pemblokiran akses, sebab apapun yang dilakukan para pengguna tentunya sudah menyelesaikan kewajibannya.
Jika begini terus-terusan yang diatas, mungkin kekuatan petisi-petisi itu nanti juga tidak dianggap, selain cultural lag yang sedang kita hadapi, namun juga lag-lag dalam tehnologi haruslah diakui, dan berapa persen sih yang bisa mengakses konten-konten bagus yang ada. Seharusnyalah konten multimedia dilawan
dengan konten reaksi sebagai respon dalam bentuk multimedia juga, bukan dengan tangan besi, meski semuanya membutuhkan biaya yang lebih, namun toh masyarakat dan media disini yang bijaksana tidak kurang-kurang, sekalipun kadang kepepet harus manut dan tunduk pada konten pesanan tertentu dengan filter rahasia perusahaan tentunya.
Dukung polling dan petisi penolakan rapermen komunikasi dan informatika (rpm-konten) di sini
gambar via [ @pamantyo ]