Masihkah terdengar geliat Bank Siantury yang karenanya 6 trilyunan rupiah raib tak ada bekasnya hanya tinggal gemeretak dan geliat kampanye politik lagi dengan kontes eyel-eyelan tombo ati kemarahan rakyat saat dieksposenya rapat-rapat dan diskusi mengenai raibnya lakon 6 trilyun tersebut. Sebuah ajang kampanye dan branding nama gratis dan dibayar lagi, memang ajang kontes lintas budaya dan tehnologi tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik, dengan hasil yang juga hanya segitu tanpa pengaruh apapun pada kehidupan yang nyata apalagi memberikan obat mujarab ataupun shock terapi yang nyata di Negeri Begajul.
Entah berbagai macam pengalihan isu ataupun obat semu bagi sakit hatinya nurani kebangsaan hanya sejarah nantinya yang bisa menorehkannya, meski juga sejarah yang sakit dan penuh dengan rekayasa dan nuansa kekuasaan. Sudah pasti bagaimanapun akan menambah beban dan kebingungan, atau semakin apatisnya pemikiran ke arah sana, dan tentunya hal inilah yang menjadi goal atas segala permasalahan yang ada, yaitu diselesaikan dengan permasalahn lain yang sama sekali tidak ada hubungannya.
Negeri Begajul, yang semakin menggelikan patutlah berbesar hati dengan kearifan masyarakatnya yang lebih cenderung ramai dan ringan tangan dalam mempertahankan nama lokalnya terutama dalam bermain bola sepak. Sebuah bisnis eksplorasi kekerasan di lapangan yang nantinya bisa mengakselerasi berdirinya negara kota, ataupun hanya untuk pengalihan isu dan sarana branding aparat keamanan agar kelihatan bekerja keras, menjaga segala sesuatunya, betapa hebatnya memang sudah sangat dipahami bahkan mungkin nomer wahid di seantero dunia.
Begitu hebatnyakah kezaliman itu akan selalu berada di atas bahkan ketika seorang jenderal pun tidak mempunyai kawan ketika akan atau mencoba mengungkap apa yang terjadi dalam korupsi di negeri Begajul. Ataukah dia memang tidak gaul, atau juga begitu miskinnya pendapatan yang tidak imbang dengan pengeluaran setiap hari sehingga nantinya cepat atau lambat semuanya akan menjadi halal, karena semakin kaburnya halal haram dengan fatwa-fatwa yang juga menggelikan.
Semuanya beradu dan menjadi satu silih berganti diulang-ulang yang makin memuakkan saja menjadikan padangan-pandangan yang luas akan segera menemui jalan buntu terhalang tembok besar yang tercipta karena proses sistematis dan simultan demi kepentingan yang sangat merugikan banyak pihak. Karena pembodohan dan penipuan massal, yang halus namun tak terperikan.