Selamat tinggal RSBI - SBI

 

Selamat tinggal RSBI - SBI

Akhirnya, 8 Januari 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Judisial Review atas Pasal 50 Ayat 3, Undang-Undang No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penggugat permasalahan SBI RSBI ini adalah Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan.

"Istilah berstandar internasional dalam pasal 50 ayat 3 dalam UU Sisdiknas dengan pemahaman dan praktek yang menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam tiap jenjang dan satuan pendidikan sangat berpotensi mengikis kebanggan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman yang turut membacakan putusan Mahkamah pada Selasa (08/01).

Mahkamah juga mempersoalkan biaya RSBI yang jauh diatas rata-rata biaya sekolah standar nasional sehingga hampir mustahil dijangkau siswa dari keluarga miskin.
Meski ada skema beasiswa, menurut Mahkamah, biaya tetap menjadi persoalan mendasar dalam model SBI/RSBI sehingga muncul kesan sistem ini diterapkan untuk mendapat keuntungan.

"Pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu... Disamping menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap akses pendidikan juga mengakibatkan komersialisasi pendidikan, " tambah Hakim Anwar.

Persoalan utama dalam gugatan uji materiil ini, kata anggota koalisis Retno Listyarti, adalah faktor keadilan.

"Dengan biaya tinggi, mana mungkin siswa miskin bisa mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di RSBI?" kata Retno yang juga guru di sebuah SMA Negeri di Jakarta.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,". Dikatakan Ketua MK, Mahfud MD, saat membaca putusan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa 8 Januari 2013, Pasal 50 ayat (3) UU No 20/2003 itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," katanya.

Sumber:

Dikabulkannya permohonan judicial review tersebut tentu membawa dampak langsung, artinya sekitar 1300 RSBI yang ada di seluruh Indonesia dibubarkan. Tidak ada lagi, sekolah di Indonesia dengan label internasional.

Hakim MK, Anwar Usman dalam sidang mengatakan, Mahkamah dapat memahami maksud baik pembentuk Undang-Undang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, agar peserta didik memiliki daya saing tinggi dan kemampuan global.

Walaupun demikian, menurut Mahkamah maksud mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju.

"Tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," ujarnya.

Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI dan SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Fungsi bahasa Indonesia dalam konteks tersebut diatur pula dalam Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

"Ayat (3) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara yang salah satunya berfungsi sebagai bahasa pengantar pendidikan," tegas Anwar.

Mahkamah, kata dia, tidak menafikan pentingnya penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris bagi peserta didik agar memiliki daya saing dan kemampuan global.

Tetapi, istilah "berstandar Internasional" dalam pasal tersebut, menurut Mahkamah menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan.

Sumber:

Pasal 50 ayat 3, UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah dasar yuridis pelaksanaan jenjang pendidikan Sekolah Bertaraf Internasional dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Adapun landasannya secara urut adalah:

  1. UU No. 20 Tahun 2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat (3), yaitu: "Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan untuk menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
  2. UU No 32 Tahun 2004 (Pemerintahan Daerah).
  3. PP No 19 Tahun 2005 (Standar Nasional Pendidikan).
  4. PP No 38 Tahun 2007 (Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupate/Kota).
  5. PP No 48 Tahun 2008 (Pendanaan Pendidikan).
  6. PP No 17 Tahun (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
  7. Permendiknas N0 63 Tahun 2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan).
  8. Permendiknas No 78 Tahun 2009 (Penyelenggaraan SBI Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah).

Begitu hebatnya Peraturan Menteri di Negeri ini. Sebenarnya masih lebih hebat lagi ketika menteri mengeluarkan Surat Edaran. Surat edaran dari Menteri di Indonesia memiliki kekuatan yang sangat hebat dan bisa memiliki daya dorong eksekusi mengagumkan. Tak peduli itu kepentingan umum ataupun nyawa orang, Surat edaran maupun Peraturan menteri sanggup menembusnya. Kapasitas dan kemampuan seorang menteri dapat terlihat ketika ada kejadian Judicial Review UU SPN tahun 2003 ini yang bisa mengubah peta pendidikan nasional.

Meskipun ada satu hakim Mahkamah Konstitusi yang memiliki pandangan lain, Hakim Ahmad Sodiki memiliki pandangan lain, dimana Mahkamah Konstitusi harusnya menolak gugatan ini karena menggugat masalah kasus pelaksanaan bukan pada inti permasalahan. Dan permasalahan bahasa asing tidak bisa dihubungkan dengan jati diri bangsa atau kecintaan pada negeri, karena pada masa lalu pesantren menggunakan bahasa Arab pun tidak mengikis kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Sodiki, Mahkamah seharusnya menangani gugatan terkait norma pendidikan, bukan kasus kongkrit mengenai keberadaan RSBI. Dengan kata lain jika yang dipersoalkan adalah bahasa Inggris sebagai pengantar dan diskriminasi karena biaya RSBI, maka kebijakan tentang RSBI sendiri mestinya tetap sah berlaku, bukan dihilangkan.

"Jika ada upaya lebih serius mengajarkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, itu tidak lepas dari praktek pengajaran bahasa Inggris yang selama ini kurang berhasil. Berapa ribu mahasiswa perguruan tinggi yang walaupun telah belajar bahasa Inggris kurang lebih enam tahun sejak SMP-SMA tetap saja tidak menguasai bahasa tersebut dengan baik," tegas Sodiki.

"Ketakutan mempelajari bahasa asing dengan dalih kehilangan jati diri bangsa adalah berlebihan," tandas Sodiki.

Hakim Konstitusi ini juga menegaskan praktek penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di berbagai sekolah dan pesantren selama bertahun-tahun di Indonesia tak pernah menunjukkan adanya pengikisan kebanggaan berbahasa Indonesia dan terkikisnya jati diri murid selaku warga Indonesia.

Sumber:

Dharmaningtyas, seorang pengamat pendidikan nasional membantah anggapan atau pendapat Hakim Ahmad Sodikin, dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan hakim tersebut hanyalah telaah teks semata, dan tidak melihat pada kondisi kenyataan di lapangan.

"Hakim hanya melihat RSBI dari sudut teks, bukan konteks. Di lapangan sangat berbeda," ujarnya.

Dalam realitas menurut Dramaningtyas, kewajiban menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar setidaknya untuk pelajaran bidang sains dan matematika, justru menyesatkan murid dan berpotensi malah menurunkan kualitas ajar.

"Yang diajarin enggak ngerti, yang mengajar juga enggak ngerti. Malah turun kualitasnya," tegas Darmaningtyas.

Sumber:

Bagaimanapun sekarang boleh berbangga diri dengan dihapusnya Rintisan Sekolah Bobrok Indonesia dan Sekolah Bobrok Indonesia. Komersialisasi Pendidikan di Indonesia memang harus dihapuskan dan dikembalikan pada arti pendidikan nasional yang sebenarnya. Silahkan buat sekolah mahal untuk memperkaya lembaga anda namun jangan menggunakan aturan nasional yang untuk orang banyak, namun dirikanlah sekolah swasta seperti Amien Rais di Jogja, atau sekolah swasta berbasis komunitas ataupun agama di manapun seperti biasanya. Tentu dengan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan pada para pengguna atau konsumen pendidikan tersebut.

Jalan menuju kebaikan dalam perspektif orang pintar memang bermacam-macam, banyak cara dan metode. Sah-sah saja namun jangan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak dan memanipulasi negara hingga keluarnya Permendiknas seperti ini:

Selamat tinggal RSBI - SBI, semoga komersialisasi pendidikan tidak membunuh pendidikan Indonesia

Atas