Pernah terdengar dalam sebuah perhelatan pertemuan agak besar di sebuah kota antara Jogja dan Solo, beberapa tahun yang lalu, dimana seorang bapak korban tragedi 1965 mengungkapkan harta bendanya yang telah dirampas, sangat hafal dan dengan santun dia mengungkapkannya, sangat detil hingga harga kambing, sapi miliknya saat itu, piring, gelas, bahkan tikar. Meski terdengar tegar, namun rasa perih dan tanda tanya besar yang tak akan pernah terjawab dan terpuaskan, sebab tanpa ada alasan jelas mengapa perampasan harta benda itu bisa terjadi. Kemudian tiba-tiba dimasukkan dalam sebuah kerangka besar pengkhianatan negara yang sama sekali tak pernah terbersit dalam benak kewarasan bermasyarakat.
- Reparasi kepada korban kejahatan hak asasi manusia kategori berat diwajibkan berdasarkan hukum internasional. Reparasi didalamnya mencakup: memberi kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia atas rasa sakit dan deritanya,
- Melakukan restitusi yaitu semaksimal mungkin mengembalikan korban pada kondisinya sebelum terjadi pelanggaran (misalnya, mengembalikan hak korban untuk berpartisipasi dalam proses politik, mengembalikan hak milik yang telah diambil atau dirusakkan, mengembalikan atau memulihkan hak-hak korban sebagai warganegara), memberikan rehabilitasi terhadap luka dan kesakitan yang diderita salah satu contoh adalah menjamin akses korban pada pelayanan seperti akses pelayanan kesehatan atau pendidikan,
- Pemenuhan hak untuk kepuasaan korban secara emosi dan eksistensinya sebagai manusia antara lain yang bisa dlakukan adalah dengan memberi penghargaan baik simbolis maupun nyata terhadap korban, pengakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang nyata pernah dialami dan terjadi, pengungkapan kebenaran jalannya peristiwa, membuat hari-hari peringatan untuk memelihara dan menghormati ingatan tentang pelanggaran yang sudah terjadi masa lalu, atau pernyataan maaf yang resmi dilakukan oleh negara, dan upaya-upaya pencarian juga setelah itu mengakui orang-orang yang hilang.
- Tersebut dengan jelas dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 26/2000, Pasal 35 ayat (1), “Semua korban pelanggaran hak asasi manusia dan ahli warisnya harus menerima kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.” Sebuah rangkaian kata yang memabukkan dan sangat indah namun dengan berbagai hambatan didalamnya, seperti harus diputuskan dalam Pengadilan mengenai hal tersebut. Juga berbagai standar operasional prosedur seperti pengajuan-pengajuan oleh jaksa untuk mengajukan tuntutannya. Dukungan Presiden dan DPR agar membentuk pengadilan ad hoc dan lain sebagainya, bahkan hukum acara belum bisa dibedakan mana yang urusan Hak Asasi Manusia ataupun delik-delik yang bersifat Pidana biasa. Sebuah hal yang berat bagi para korban pemerkosaan yang akan sangat sulit dibuktikan namun dengan efek pengaruh kehidupan individu yang sangat mengerikan. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No.3 Thn. 2002 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban-korban Pelanggaran HAM Berat yang disahkan negara pada 13 Maret 2002 yang esensinya sangat jauh dengan keinginan universal kemanusiaan maupun standar internasional tentang restitusi dan rehabilitasi itu sendiri.
Juga Undang-undang Perlindungan Saksi Korban yang sudah lama telah disahkan oleh DPR dimana segera akan dibentuk sebuah lembaga perlindungan korban, yang melapor langsung pada Presiden. Disebutkan disana bahwa lembaga ini akan menjamin segala kepentingan perlindungan saksi dan korban kejahatan misalnya dalam pendampingan hukum, keamanan, informasi dan lain sebagainya, namun belum terdengar ada lembaga seperti itu yang berdiri sebagaimana amanat Undang-Undang tersebut. Tidak menutup mata dengan kualitas pemikiran ataupun strategi untuk mempertahankan diri dan keyakinannya tersebut, bahwa hukum di negara kita sangatlah lemah dan itu dibuktikan dengan semakin sedikitnya warga yang merasa bisa hidup dengan nyaman dan terlindungi karena aturan-aturan yang dibuat. Apalagi untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia kategori berat seperti pada tragedi 1965, dimana survivor semakin bertambah sepuh dan rentan kesehatannya. Semakin sedikitnya bukti hidup yang bisa mengatakannya dengan jelas. Bahkan sebuah laporan atas kejahatan masa lalu berbasis gender yang dirangkum oleh sebuah lembaga negara bernama Komnas Perempuan pun taksanggup untuk mengetuk hati para punggawa dan pengambil keputusan untuk terbuka mata hatinya demi kebaikan berbangsa dan bernegara untuk menyembuhkan luka-luka lama perjalanan kemerdekaan, demi sesuatu yang sangat diperlukan di masa depan.
Perjuangan kaum aborigin atas diskriminasi dan perlakuan buruk orang kulit putih disana mulai tahun 1770 dan baru sukses pada 13 Februari 2008, meskipun pada tahun 1998 sudah ada laporan dari Komisi hak asasi dan persamaan kesempatan yang bertitel "Bringing them home", yang mencatat kisah-kisah oral history dari para korban. Betapa kata "maaf' menjadi suatu penyembuh meskipun secara simbolik bagi para indigenous people bangsa Aborigin pemilik tanah Australia yang hak, beserta implikasi-implikasi tindak lanjut setelahnya. Dimana mereka menjadi the stolen generation karena dicerabut dari tanah dan keluarganya untuk dimasukkan ke lembaga-lembaga maupun rumah-rumah tangga untuk dididik menjadi seorang kulit putih, sempat difilmkan dalam Rabbit-proof fence sebuah kisah dari buku Follow the Rabbit-Proof Fence oleh Doris Pilkington Garimara.
Bahwa adanya sistem reparasi atau berdirinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukanlah sebuah akhir dari perjuangan membangun bangsa namun adalah awal untuk menjadi sebuah bangsa yang bisa meyakini dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik bagi warga negaranya tanpa pilih kasih sebagaimana menghargai diri sendiri sebagai insan yang selalu membutuhkan dan menjaga lingkungan sosial bersama dengan nilai-nilai keterbukan untuk belajar menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.