membangun kejelian bernegara

 

membangun kejelian bernegara

Perhelatan panjang membangun rasa nasionalisme, membentuk jati diri bangsa, sebagai wujud nation building. Berlangsung waktu demi waktu, dengan model rekayasa tidak alamiah maupun yang alamiah natural seiring dengan gerak sanubari kebangsaan. Entah nantinya akan seperti apa pertarungan antara kepentingan satu dengan kepentingan lain selalu dengan pola yang berkembang dan berkelanjutan, belum ada permufakatan, bahkan hingga saat ini khianat demi khianat yang menjadikan bangsa ini semakin terpuruk menjadi warna dominan kekecewaan anak bangsa dalam melihat negaranya sendiri, salah siapa, mungkin kapan akan terungkap adalah titik berat para pejuang nasionalis demi bangsanya.

Tulisan ini tidak disarikan dari pertemuan seminar nation building dan gerakan pemuda dengan tema memperkokoh pondasi ideologis dan reposisi gerakan mahasiswa dalam menghadapi tantangan global, yang diselenggarakan di gedung UC UGM pada 11 Maret 2011, oleh DPC GMNI Jogjakarta dan Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, dengan pembicara Sudaryanto, Sindhung Cahyadi dan lain-lain. Cukup berat dan waktu yang hanya beberapa jam terasa kurang untuk mengenyam dan mencerna materi yang sangat berat dan belum pernah terselesaikan.

Keindonesiaan, dan kesejarahannya menjadi satu pokok topik yang menarik dan dibuka diawal dengan gambaran bahwa apa yang terjadi saat ini adalah tercipta by design, diciptakan dengan membuat dan memfilter catatan-catatan sejarah yang sudah ada sesuai keinginan penguasa, meski menimbulkan riak, namun kerugian akan hal itu sangat tidak ternilai. Rangkaian dan capaian kepemudaan disaat yang lalu memiliki grade yang lebih tinggi dalam diskusi-diskusi mengenai kenegaraan, sehingga sangat disayangkan ketika reformasi 1998 tidak memberikan makna yang berarti pada kemajuan nasional. Terbukti dengan ketidakerdayaan dan kecolongan ketika Presiden BJ Habibie memberikan waktu yang cukup singkat untuk melaksanakan pemilu kembali, dimana hal ini adalah jebakan berat bagi para pemuda dan pemikir saat itu untuk menyiapkan satu pondasi yang berbeda dan murni demi kebaikan bangsa Indonesia.

Pada tulisan selanjutnya hal ini akan teruskan dengan lebih mendetail. Bahwa gerakan kepemudaan dan kemahasiswaan saat ini masih berada pada ruang yang sangat sempit dimana demokrasi hanya bisa diartikan, dari, oleh dan untuk mahasiswa, tanpa berusaha memiliki pandangan pada ketakterbatasan area, semisal untuk masyarakat ataupun negara dan bangsanya. Semakin dipersempitnya ruang gerak mahasiswa dan para generasi muda akan memberikan ruang dan jalan bebas hambatan bagi kekuatan dan kepentingan lain untuk melibas semua sendi kekuatan bangsa.

Begitu terlenanya hingga tidak sempat berfikir ada sesuatu yang sangat aneh menurut pandangan saya saat ini ketika banyak perusahaan negara besar hingga perusahaan milik negara yang mengampu banyak kepentingan dan pemenuhan hak dasar rakyat dijadikan badan usaha swasta, namun disisi lain kekuatan-kekuatan yang mengatur perilaku sosial seperti pengekspresian jurnalisme warga, ekspresi untuk melakukan ibadah keagamaan, ekspresi kebutuhan untuk melakukan apa yang diyakini malah didukung untuk dilakukan oleh negara. Dengan kata lain fungsi pemenuhan hak rakyat diswastakan, dibebaskan dari tanggungjawab negara, dan negara justru diberi tugas untuk mengatur kehidupan sosial yang seharusnya bebas dan dinamis. Dengan istilah lain bahwa kanan seluler bertemu bersalaman dengan kanan keagamaan, hal sangat aneh yang sangat tidak pernah dibaca sebagai sebuah bom waktu penghancuran Bhinneka Tunggal Ika dan kehidupan bernegara yang sebenarnya.

Atas