Pendidikan Karakter di Negeri Koruptor

 

Pendidikan Karakter di Negeri Koruptor

Pendidikan adalah hal urgen dalam kehidupan, entah mau berbangsa, bermasyarakat ataupun tidak, namun semua manusia memerlukan pendidikan, bahkan diakui sebagai sebuah hak, dimana setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Bagaimana ketika hal ini berjalan di sebuah negeri dengan komimen pekerjanya tentang korupsi yang sangat tinggi?, ada kesempatan sedikit saja pasti korupsi dilakukan. Maraknya korupsi pun tidak hanya di kalangan atas, namun kalangan akar pun sepertinya begitu, dan cilakanya lembaga pengayom dan garda terdepan yang memerangi korupsi-pun tak luput dari percikan isu korupsi. Apakah korupsi adalah sebuah karakter?

Korupsi sebagai Karakter negeri Begajul

Mungkin hal ini pasti sangat nyleneh, tdak mungkin dan tak ada yang akan mengakuinya sekalipun itu koruptornya sendiri. Betul,... sebagaimana pernah di pikirkan bahwa merampok negara sebagai ideologi. Tidak terlalu dalam seperti itu, namun mengapa hal tersebut bisa terjadi, apakah karena pembagian kemakmuran yang tak merata dan pilih-pilih, tentu ini juga sebuah permasalahan yang pelik dengan luasnya negeri kita dan persaingan yang semakin tajam.

Jumlah para koruptor yang sangat banyak sungguh menjemukan dan tiada harapan lagi bagi bangsa ini untuk bangkit. Namun siapa yang peduli dengan hal tersebut ketika semua mengalami lapar dan dahaga serta kesulitan untuk mencukupi kehidupannya. Akankah ada tokoh bersih yang mungkin dikirimkan para dewa untuk memimpin pemberantasan korupsi yang mungkin sudah ada sejak proklamasi negeri begajul. 

Apakah ada yang salah dalam pendidikan di negeri begajul, mengapa pendidikan tidak mencetak kader-kader terbaik bangsa? Siapa lagi yang bisa diharapkan jika bukan zona pendidikan? Zona hukum pun ada karena pendidikan dan sekolah, ada apa dengan pabrik pencetak kader bangsa ini? Entah...

UU Sistem Pendidikan Nasional akan direvisi

Sebuah kabar yang bisa jadi baik atau malah semakin buruk ada dalam berita di kompas, skeptis memang harus di kedepankan, bukan hanya pemikiran positif, namun banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Dalam berita tersebut di kemukakan seperti:

#333333; font-family: arial; font-size: 14px;">JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi X DPR RI berencana merevisi Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Revisi tersebut diharapkan dapat membawa pendidikan nasional ke arah yang lebih baik.

Anggota Komisi X asal Fraksi PKS, Raihan Iskandar mengungkapkan, UU Sisdiknas memiliki masalah yang cukup serius sehingga perlu direvisi. Selain itu, revisi juga perlu dilakukan mengingat UU tersebut lahir pada saat euforia pendidikan di Indonesia masih kaget-kagetan.

"Sekarang ini kondisi sudah lebih stabil, kita lebih siap menata Indonesia ke depan. Kita ingin merancang Indonesia lebih baik dalam dunia pendidikan. Dan saya pikir masyarakat dunia pendidikan juga lebih serius melihat itu," Kata Raihan, Selasa (6/12/2011), di Jakarta.

Ia menjelaskan, revisi UU Sisdiknas perlu dilakukan mulai dari hal-hal yang sangat mendasar, seperti tujuan pendidikan, definisi pendidikan, dan format pendidikan nasional.

Namun, usulan tersebut baru akan diajukan pada tahun 2012, melalui Sidang Paripurna. Saat ini, Komisi X masih terus menyusun dan merumuskan poin, beserta format dalam UU Sisdiknas yang sensitif di masyarakat dan nantinya penting untuk direvisi.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat pendidikan, Arief Rachman juga menegaskan perlunya dilakukan revisi terhadap UU Sisdiknas. Menurutnya,  semua pihak tidak boleh cepat berpuas diri dengan apa yang ada saat ini.

Sampai saat ini, kata dia, sistem evaluasi pendidikan terhadap tujuan UU pendidikan itu sendiri masih tidak konsisten. Meski UU Pendidikan dan Pancasila sudah memiliki tujuan jelas, dan meliputi semuanya.

"Revisi itu perlu, karena dalam evaluasi pendidikan yang muncul hanya kekuatan otak, kekuatan budi pekerti tidak muncul. Padahal budi pekerti itu seharusnya menjadi faktor penentu," ungkap Arief.

#333333; font-family: arial; font-size: 14px;">Sumber :  

 Banyak pertentangan memang dalam memandang UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut, selain terlalu liberal dan sebagainya:

Jakarta, Kompas - Bukan sesuatu yang aneh jika pendidikan Pancasila tidak lagi diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Ini disebabkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme.

Paham kapitalisme dan privatisasi sangat terlihat jelas dalam pasal-pasal UU Sisdiknas, seperti adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan pasal Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Dalam paham kapitalisme, tidak ada tempat bagi keadilan sosial karena kesempatan terbuka lebar bagi pemilik modal atau kelompok kaya.

Demikian pendapat Guru Besar (emeritus) Pancasila Universitas Nusa Cendana Kupang Mesakh Taopan (74), Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Bahtiar Effendy, dan sejumlah praktisi pendidikan lainnya, Rabu (11/5).

Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, landasan pendidikan kita memang sangat kacau. ”Perlu reformasi gradual dan fundamental,” katanya.

Sumber : 

Entah yang aneh itu UU-nya atau pelaku di tingkat bawah? atau memang kedua-duanya?:

Dalam kesempatan yang sama, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Ayat mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengadakan reorientasi pada sistem pendidikan nasional. Pemberlakuan dua kurikulum berbeda dengan status nasional dan internasional, menurut Ayat, bisa mengaburkan orientasi pendidikan.

"Disebut pendidikan karakter tapi ada orientasi profit," kata pegiat LBH Pendidikan ini.

Sementara itu, pengajar Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, pemberlakuan RSBI/SBI merupakan upaya untuk melegalkan pungutan-pungutan yang lebih besar dari peserta didik atau orangtua/wali. Pendidikan, menurut dia, seharusnya diarahkan pada pemenuhan hak dasar untuk mencapai kesejahteraan.

"Instrumen penting untuk keluar dari kemiskinan adalah pendidikan dan kesehatan," ujar Faisal.

Sumber : 

Jelas memang banyak kepentingan ketika membuat Undang-Undang, untuk siapa, membela siapa, dan kepentingan siapa, atau... siapa yang akan dihancurkan?

.......... ,#333333; font-family: arial; font-size: 14px;"> frasa "dapat" dalam Pasal 55 Ayat 4 tersebut telah menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah yang sekaligus menjadi hak Pemohon dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dasar. Selain itu, frase "dapat" juga menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, jaminan untuk mendapatkan kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.

#333333; font-family: arial; font-size: 14px;">Sumber : 

#333333; font-family: arial; font-size: 14px;">Belum lagi tentang pendidikan inklusif, karena masih ada pendidikan luar biasa dan sebagainya. Terlepas dari itu memang sudah banyak aturan dan standar nasional pendidikan yang sudah dikeluarkan, namun ketika hal tersebut berada diatas pondasi yang salah, mau bisa apa pendidikan di , apalagi berbicara tentang karakter, jelas ketika pondasinya saja nggak benar, karakter macam apa yang akan dihasilkan dari pabrik-pabrik RSBI tersebut?

Atas