Jadi UU Nomor 4 tahun 1997 gara-gara ada CRPD dan semangat baru para difabel untuk mengubah pandangan umum tentang orang cacat dari charity based menjadi ke humanright based. Membawa semangat ini ke perubahan UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjadi sebuah undang-undang tentang Penyandang Disabilitas yang saat ini amsih menjadi rancangan.
Meski mereka masih tidak mau menggunakan kata difabel, entah karena sentimen atau politik pendanaan internasional, dengan serta merta saja mereka mengganti kata cacat dengan sebuah kata yang sebenarnya artinya sama, atau malah lebih mencelakakan yaitu Disable menjadi Disabilitas... yang kalau dinalar-nalar malah artinya Pencacatan, Kecacatan, Cacatitasi, Cacatitas... #mdrcct. Belum ada pencerahan yang jelas dalam eyel-eyelan istilah dan menjauhi dari semangat hak asasi manusia yang lebih jelas ... opo tumon.
Ada lebih banyak perubahan memang, seperti perlawanan kaum tuli untuk tidak menggunakan bahasa isyarat produk akademis dan pemerintah yang orang-orang tidak tuli, dengan Bisindo yaitu Bahasa Isyarat Indonesia yang tumbuh berkembang di orang-orang bisu tuli secara natural dan dirasa lebih enak digunakan oleh tuli.
Banyak sekali tuntutan-tuntutan yang sebenarnya akan membuat dunia ini lebih baik seperti bagaimana membuat pusat layanan publik atau fasilitas-fasilitas umum yang aksesibel terhadap difabel, terlepas dari itu hal ini akan membuat kenyamanan banyak orang dan jaminan keselamatan jika ada sesuatu. Hanya saja otak buruk pemerintah yang bebal tidak pernah dapat memahami hal ini, karena masalah penganggaran yang lebih mahal atau karena laba yang tidak banyak. Kenyamanan sebagaimana aksesibilitas dan keselamatan layanan publik maupun perumahan seperti di Hongkong pun akan sangat sullit diharapkan di Indonesia.
Apa ini tergantung Presidennya?
Mungkin iya mungkin tidak, namun ketika presiden memiliki inisitaif seperti yang dilakukan Gus Dur untuk membuat stasiun kereta Gambir menjadi aksesibel, adalah sebuah contoh seberapa jauh sebenarnya kekuatan dan wewenang presiden. Pun seperti adanya sebuah komando untuk menguasai Timor Timur dengan kekuatan dan kekerasan dengan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit, presiden saat itu dapat dengan mudah mengkomandoi kekerasan dan bahkan dengan senjata yang mahal harganya.
Untuk saat ini mungkin hanya bisa menjadi wacana ketika tidak bisa dilakukan dengan benar ataupun dengan salah. Karena intinya adalah ... dilakukan.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
![]() | 0 byte |
![]() | 0 byte |