Urusan sandang pangan memang kebutuhan setiap orang. Mencari sandang pangan menjadi banyak dasar untuk beralasan dan bergabung dengan bermacam-macam kegiatan dan kebijakan yang membela hal tersebut. Tidak ada yang bisa dipuaskan seratus persen dari hal tersebut, apalagi ketika didukung oleh banyak orang yang lapar dan arogan karena berkuasa, dan dilegitimasi dengan undang-undang. Kota Jogja dan warganya saat ini harus berhadapan dengan perubahan keadaan yang satu sisi membuatnya bingung dan satu sisi membuatnya mungkin mendapatkan rejeki, dan di sisi lainnya bingung untuk melawan keadaan dan pembuat keadaan.
Sebagaimana biasa Jogja dalam melawan kebijakan kerapkali hanya dilakukan dengan menggunakan media-media seperti lukisan, seni maupun demo yang terlihat bukan perlawanan serius. Meski pernah terjadi sesuatu yang serius terhadap pembuat mural 'Jogja Ora di Dol', atau 'Jogja tidak dijual' dalam bahasa. Hal serius seperti pelarangan kata-kata tersebut pun tidak dilandasi dengan hal serius, mengapa? ya hal itu memang aneh, karena daerah istimewa ini memang dikuasai oleh keluarga atau perorangan. Cukup ironis dengan sebutan bahwa Jogja adalah kota Demokratis, Pelajar dan banyak lagi yang menyebut sebagai daerah yang pro rakyat.
Rakyat memang perlu hidup dengan rejeki atau kapital. Namun bukan berarti harus disediakan sarana dan prasarana untuk penghidupannya seperti di dikte, namun warga sebagai manusia yang memiliki otak dan kemauan pastilah dapat menemukan jalannya sendiri untuk mencari kapital hidupnya tanpa harus dikapitalisasi oleh orang-orang yang berkuasa. Warga dijebak untuk menjadi buruh-buruh pekerja di hotel-hotel milik asing yang dikonversi dalam pemiliknya dengan melibatkan beberapa orang petinggi atau keluarga tertentu. Cukup miris dengan hal ini karena kecerdasan mengkapitalisasi keistimewaan yang bisa jadi akan merugikan orang banyak karena monopoli dan tidak ada niatan pro rakyat kecil untuk dapat ikut mengkapitalisasinya.
Seperti misalnya membenturkan UU ini dan UU itu tentang tanah bengkok yang akan disertifikasi oleh desa. Ada rasa keberatan bahkan penolakan oleh penguasa keistimewaan karena bisa jadi keistimewaanya nanti bisa hilang, namun dengan cara yang sangat boros dan lama. Butuh lebih sepuluh tahun untuk mensertifikasi tanah kepemilikan istimewa ground, yang nantinya akan dihibahkan ke desa dalam pengelolaannya. Jika dihitung sertifikasi yang memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun dengan biaya APBN, dan butuh waktu lagi untuk melakukan proses pelimpahan kewenangan pengelolaan tanah, yang mungkin prosesnya akan memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun juga. Boros dan diluar nalar jika dianalisa secara anggaran, namun bisa sangat irit dan hemat waktu jika bisa diputuskan dengan kebijaksanaan.
Saat ini di musim liburan tahun baru menjelang 2015 masyarakat kota Istimewa ini harus berhadapan dengan luapan kemacetan yang siapapun tidak menginginkannya terjadi di gang-gang ketika harus keluar untuk beraktivitas. Banyaknya jumlah hotel yang tidak memiliki parkiran tamu yang layak menghiasi jalan-jalan kecil di Jogjakarta. Lama-kelamaan memang menjadi hal yang biasa dan akan menjadi kewajaran. Tanpa ada yang berani melawan terhadap pemilik keistimewaan, karena para warga adalah orang biasa yang hanya bisa 'manut' dan terikat karena semuanya sudah diijinkan oleh pihak berwenang yang mengeluarkan izin sekaligus pasukan untuk membela izin tersebut.
Juga tindak asusila para pengguna jalan raya yang saling tidak mau mengalah dengan memanfaatkan celah-celah sempit untuk selalu berada di depan ketika arus macet maupun mengantri di lampu merah atau bangjo. Pating blasur inipun sepertinya sudah diijinkan untuk dilakukan di pestakan di jalan-jalan raya daerah istimewa. Ada baiknya memang ini didokumentasikan dalam banyak tulisan atau apapun untuk menggambarkan keistimewaan yang memang istimewa dan biasanya tidak ada yang salah karena memang hal ini adalah hal-hal yang istimewa atau luar biasa.