Film paling mengerikan, The Act of Killing yang bahasa Indonesianya adalah Jagal, saat ini sudah memiliki situsnya di Internet dalam bahasa Indonesia yang dapat di akses di halaman http://jagalfilm.com. Menarik memang fenomena ini, satu sisi kekerasan dan cara membunuh di eksplorasi habis-habisan hingga orang yang tak paham cara membunuh pun dapat mengetahui bagaimana cara membunuh, di sisi lain mengetengahkan betapa hukum di negeri begajul memang demikian rumitnya. Kebohongan sejarah dan pemutar balikan fakta sudah tak perlu dipikirkan lagi karena mungkin kejadian pembunuhan massal 1965-66 sudah seperti dongeng, sebagaimana peristiwa PDI Pro Mega dan PDI Pro Suryadi beberapa tahun silam yang tak ketahuan juntrungnya.
Film Jagal juga memberikan bukti dan pembelaan secara tidak sadar bahwa preman dan manusia biasa selain tentara yang dilatih membunuh pun bisa membunuh banyak orang pada kejadian Pembunuhan Massal 1965-66. Otak yang waras akan sangat tercekam ketika melihat film ini dan logika orang yang logis pun akan terperangah bahwa orang biasa atau preman bisa melakukan perilaku membunuh dengan darah dingin, namun entah berapa orang sebenarnya yang dibunuh oleh Anwar Congo dibandingkan dengan jumlah korban orang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia yang angkanya hingga mencapai jutaan orang.
Hari Jumat tanggal 5 Oktober hingga dinihari tanggal 6 Oktober terjadi kejadian ramai di gedung KPK di mana seorang penyidik KPK Novel Baswedan akan ditangkap polisi karena pernah melakukan pembunuhan pada tahun 2004 di Bengkulu. Kejadian ini sangat ramai hingga kantor KPK dikepung Komite Penyelamat KPK yang di media sosial [un mereka bergerak dengan hashtag #SaveKPK dan membuat petisi penyelamatan KPK di http://change.org.
Polisi datang dengan membawa surat penangkapan dan bukti-bukti, namun karena yang akan ditangkap adalah bukan orang biasa maka ketika surat yang tak bernomor pun ditanyakan dan menjadi masalah besar, karena memang apakah penugasan polisi tersebut benar-benar beralasan dan berdasarkan surat perintah dari atasannya.
Trik memuakkan dari Polisi untuk menutupi dan memenangkan kasus dugaan berbagai korupsi di tubuhnya rupanya menghadapi tembok yang keras. Kasus markup pembelian mesin simulasi SIM tersebut tentu akan melibatkan banyak orang, entah petinggi polri maupun tukang sapu di sana. Belum jelas memang, dan memang begitu adanya, KPK pun harus didukung oleh orang banyak untuk bisa bekerja menangkap beberapa koruptor, apalagi polisi di negeri ini yang sudah establish posisinya, seakan tak bisa berbuat salah.
Masih ingat kasus lama, para petinggi KPK seperti Nazarudin yang juga terkena kasus pembunuhan seseorang. Rupanya kasus paling mengerikan yaitu pembunuhan masih menjadi alat efektif yang sering digunakan untuk menghancurkan mimpi orang banyak, dalam manifesto untuk memotong niat keberanian seseorang untuk protes dan melawan.
Jagal, KPK dan Ranah Hukum
Entah ada hubungannya atau tidak yang jelas pada akhir-akhir ini memang sedang ada film Jagal - The Act of Killing dan peristiwa KPK melawan Polri. Semua berada di ranah hukum. Hukum yang membela pemenang.Tidak ada contoh baik dalam kasus ini, semua buruk, keras dan tak tahu malu.
Ada baiknya daripada berkepanjangan, baca saja kutipan pernyataan dari ko-sutradara film Jagal tentang Negeri Begajul yang ... begitulah #mdrcct:
PERNYATAAN KO-SUTRADARAOleh AnonimSaya adalah satu dari ribuan mahasiswa yang berdiri berhadap-hadapan dengan polisi anti-huru-hara pada 1998, mendesak diktator militer Orde Baru untuk segera lengser. Saya bukan pemimpin mahasiswa yang berorasi di depan dengan berapi-api; saya hanyalah seorang pendukung yang ikut urun badan karena merasa bahwa momen itu mungkin akan sangat berarti dalam sejarah.Setelah lebih dari tiga dasawarsa berkuasa, Jenderal Suharto akhirnya tumbang. Sejak saat itu banyak terjadi perubahan. Undang-Undang Dasar diamendemen empat kali. Pemerintah tidak lagi bisa membreidel media dan juga tak lagi dibolehkan menarik buku dari peredaran. Presiden, Gubernur, dan Bupati dipilih langsung. Tidak ada pembatasan jumlah partai politik, walaupun masih ada larangan untuk mengusung ideologi Marxisme dan komunisme. Walaupun begitu, pengalaman saya bekerja bersama masyarakat akar rumput, berupaya menciptakan distribusi penguasaan sumber daya alam yang lebih adil, sebagai contoh, masih terus menemui jalan buntu. Jual beli suara dalam pemilu menjelmakan 'demokrasi' sehebat-hebatnya hanya sebagai sebuah prosedur 'pentas' formal. Di mana-mana korupsi masih merajalela. Munir dibunuh dalam penerbangannya ke Belanda ketika hendak bersekolah, dan tidak ada upaya serius untuk menghukum siapa pun yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Pelanggar HAM maju sebagai calon presiden atau wakil presiden dalam pemilu, dan tak sedikit pula yang mencoblosnya. Kekerasan masih sering digunakan sebagai bahasa politik. Dalam pelajaran sejarah dari SD sampai SMA tidak disebutkan bahwa pada 1965-66 jutaan rakyat Indonesia dibunuh, dipenjara, disiksa, dijadikan budak, diperkosa, dirampas dan dirusak harta bendanya, didiskriminasi dan dilanggar hak-hak azasinya selama puluhan tahun. Kejaksaan membakar buku pelajaran sejarah yang tak menulis "/PKI" di belakang G30S. Sebuah penerbit besar membakar sendiri bukunya karena tekanan kelompok masyarakat. Lembaga sensor film masih ada....Dengan kata lain, sebetulnya tak ada yang betul-betul berubah sejak saat Jenderal Suharto merebut kekuasaan sampai sekarang, 14 tahun sesudah ia tumbang. Wajah bangunan politik Indonesia boleh jadi berubah sejak reformasi politik 1998, tetapi di dalam bangunan itu, mesin-mesin lamanya masih bekerja dengan cara yang persis sama.Pada tahun 2004, saya bertemu Joshua dan Christine untuk membantu mereka memulai eksplorasi filmis tentang genosida 1965-1966 di Sumatera Utara. Pada awalnya, saya bekerja bersama mereka selama sebulan. Saya tidak menyadari bahwa saat itu hanyalah bulan pertama dari perjalanan kerjasama selama delapan tahun. Membuat film ini juga menjadi sebuah perjalanan pribadi bagi saya untuk mencari jawaban kenapa kebekuan sosial dan politik ini terus berlangsung.Melalui imajinasi dan ingatan yang dipertunjukkan oleh para pembunuh massal—mereka yang mendukung dan bahkan menciptakan struktur koruptif ini—saya melihat, dengan cukup jelas, bagaimana salah satu mesin tua dari rezim yang lalu masih bekerja dengan sangat efisien. Mesin itu adalah sebuah 'proyektor' yang terus-menerus menyorotkan sebuah film fiksi secara berulang-ulang ke kepala setiap orang Indonesia. Orang seperti Anwar dan kawan-kawan adalah 'proyeksionisnya'; mereka memastikan filmnya berisi propaganda subtil yang tak terelakkan dan menciptakan jenis fantasi sebagai satu-satunya dunia yang boleh dihuni oleh orang Indonesia, jenis fantasi yang memberi penjelasan mengenai dunia di sekelilingnya; sebuah fantasi yang membuat orang Indonesia tidak peka terhadap kekerasan dan impunitas yang membentuk masyarakat kita. Ini adalah warisan sesungguhnya dari tirani masa lalu: penghapusan kemampuan kita untuk membayangkan yang selain itu.Saya bekerja bersama Joshua membuat Jagal/The Act of Killing dalam rangka membantu diri saya sendiri, mudah-mudahan juga orang Indonesia lainnya, dan semua orang di seluruh dunia yang hidup dalam situasi yang sama, untuk memahami pentingnya selalu mempertanyakan apa yang kita lihat dan bagaimana kita membayangkan. Bagaimana lagi kita membayangkan dunia kita dengan cara yang lain?Saya terpaksa memperkenalkan diri sebagai Anonim, sementara waktu, karena kondisi politik di Indonesia masih terlalu berbahaya bagi saya untuk membuka identitas. Film ini mungkin membuat penonton Indonesia merenungkan kemungkinan adanya para pembunuh disekitar mereka, mungkin sangat dekat, bisa tetangga, rekan kerja, atau keluarga. Tapi dengan anonimitas ini saya berharap agar penonton, juga Anda, dapat pula membayangkan bahwa mungkin saja saya sangat dekat dengan Anda. Bahwa mungkin di sekitar Anda ada banyak sekali Anonim: orang-orang seperti saya, perempuan atau laki-laki, yang diam-diam melawan.Oleh Christine CynnManusia mencintai fantasi. Kita teramat mencintainya sehingga kita bisa membuat diri kita mempercayai apa yang jelas-jelas palsu, bahkan merusak. Kita mencintai fantasi begitu besar sehingga kita menciptakan fantasi untuk orang-orang yang tidak mencintai kita sama sekali.Banyak dari kita pada suatu titik menyadari bahwa kita bertindak dengan cara yang terpisah dengan apa yang (kita yakini) kita yakini. Dengan kata lain, kita jarang sekali menjadi sosok sebagaimana bayangan kita tentang diri sendiri. Hal ini bisa terjadi pada seorang bankir dan sutradara film sebagaimana hal itu juga terjadi pada pemimpin pasukan pembunuh. Jagal/The Act of Killing diharapkan dapat mengungkap lebih dari sekadar contoh mengerikan tentang kekejaman manusia dan ketidakadilan. Harapan saya adalah bahwa film ini dapat menuntun kita mempertanyakan peran imajinasi kita dalam mengekalkan siklus sosial delusional. Imajinasi manusia adalah kunci pembuka empati, yang menuntun kita pada perbuatan sayang. Imajinasi juga adalah fondasi keingintahuan, yang menuntun kita pada penemuan. Hal ini, pada gilirannya, mengubah segala yang mungkin. Imajinasi manusia bisa juga menuntun kita untuk memutus siklus penipuan diri dan konsekuensinya yang merusak jika, dan hanya jika, kita menemukan kerendahan hati untuk mengakui tanggung jawab atas siklus dan konsekuensinya itu.
Masihkah kita akan terjebak ...