Agama dan Politik

 

Agama dan Politik

Agama dan politik sangat berdekatan, jika tak bisa dibilang tidak terpsahkan baik secara strategi, pemikiran, anggapan atau apapun. Mengapa begitu, cara berpikir sederhananya adalah kekuasaan. Tuhan memberikan kuasa kepada Nabi untuk mengajar, nabi mengajar pada umat, umat menghormati nabi laksana raja. Maka dimanapun kekuasaan akan selalu berperang dengan agama atau nabi. Nabi menghadapi kekuasaan karena ketidakadilan, biasanya nabi menang dan para pengikutnya setelah nabi mereka wafat akan menjadi raja, baik raja besar maupun raja-raja kecil yang memiliki kuasa. Perpecahan akan dimulai dan sangat kentara setelah para nabi mereka wafat.

Masih untung ketika nantinya akan ada nabi lagi, hal ini ketika sebelum nabi terakhir yaitu Muhammad SAWW. Nah bagaimana setelah nabi terakhir wafat, hingga sekarang perpecahan itu bukannya menjadi rekat dan rukun namun akan selalu di utak-utik untuk kemudian terjadi saling sikut dan perang. Tergantung masa dan kontek namun bisa jadi, terminologi sesat menyesatkan akan selalu saja terpakai dan digunakan. Untuk apa? tentu saja kekuasaan dan penguasaan sumberdaya, apapun alasannya muaranya akan berada di situ, jika tidak boleh di sebutkan uang, sebagaimana terminologi di sosial media dimana twitwar atau perang kata-kata di , tidak mungkin terjadi jika tak ada kepentingan di baliknya, entah itu brand atau kelompok tertentu, orang munafik ada dimana-mana.

Tahun 2010, terjadi pembantaian terhadap kaum Ahmadiyah. Terkenal dan mengerikan terjadi di Cikeusik, Banten. Dan saat ini akhir 2011 terjadi lagi di Madura, beda kaumnya saat ini yang menjadi sasaran adalah Syiah. Setelah Cikeusik dahulu juga terjadi penyerbuan pesantren Syiah di Bangil. Sama polanya, diagamanisir dan dipolitisir. Setelah proyek ini selesai kemudian Sunni memenangkannya lantas siapa lagi yang akan dihancurkan?

Pola Konflik

Ketika terjadi perang agama antar agama yang berlainan muaranya seperti Islam melawan Nasrani yang juga pernah terjadi. Diskusi yang dilakukan lain yaitu untuk keutuhan NKRI mungkin atau saling menghormati antar pemeluk agama. Namun ketika itu antar sekte seperti Sunni melawan Ahmadiyah, atau Sunni melawan Syiah, apa yang bisa di ketengahkan? Kerukunan ukhuwah islamiyah? Entah dengan Islam pembaharu yang juga Sunni yaitu Wahabi. Wahabi kelihatannya akan sulit masuk ke dunia Islam Syiah yang demikian pekat dan cerdas. Memasuki alam aliran Sunni pun juga ada resistansi khususnya Sunni Tradisional seperti aliran atau kelompok Nahdlatul Ulama. Atau mengadu domba antar kelompok yang tak bisa dipengaruhi?

Semangat berkonflik mungkin akan menerjang apapun, hanya dengan pemicu kecil seperti pandangan mata nanar di jalan, atau kasus keluarga bahkan mungkin kasus percintaan akan dapat menyulut konflik yang besar dan tak terselesaikan karena memang akar konflik berada pada ranah pribadi, nah jika pribadi-pribadi yang berkonflik tersebut menjadi korban semua, siapa yang bisa menjelaskan atau menjernihkan. Semua sudah terluka dan terkoyak, hanya dendam membara yang menghidupi semangat berkonflik dengan atau tanpa alasan jelas yang masuk akal sehat.

Sudah menjadi hukum alam ketika pemenang dan penguasa akan membawa aturan dan menorehkan sejarah. Sangat jelas dalam konflik agama di sini pemenang dan mayoritas akan selalu dibenarkan. Apapun alasannya segalanya bisa di buat, entah dengan mengkafirkan, menganggapnya , bahkan mungkin . Pola massif dengan menggunakan grassroot dan menebarkan isu-isu yang mencemaskan sudah biasa dilakukan dan sangat manusiawi. Sangat manusiawi karena setiap manusia biasa akan takut berhadapan dengan kekerasan dengan baju dan alasan apapun. Sebelum nantinya jika diperlukan barisan militer yang akan turun tangan dan meramaikan kompetisi konflik yang sudah ditandatangani sebagai proyek.

Menteri Agama Suryadharma Ali

JAKARTA--MICOM: Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa aliran Syiah bertentangan dengan ajaran Islam. Pernyataan tersebut berdasarkan keputusan Kementerian Agama dan MUI yang menyatakan bahwa Syiah bukanlah Islam. 

Suryadharma menjadikan beberapa keputusan dalam mengambil keputusan tersebut. Salah satunya adalah hasil Rakernas MUI pada 7 Maret 1984 di Jakarta yang merekomendasikan umat Islam Indonesia agar waspada terhadap menyusupnya paham syiah dengan perbedaan pokok dari ajaran Ahli Sunna Waljamaah. 

Kementerian Agama RI juga pernah mengeluarkan surat edaran no D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang golongan syiah dan menyatakan bahwa syiah tidak sesuai dan bahkan  bertentang dengan ajaran islam. 

"Atas dasar itu, Majelis Mujahidin Indonesia menyatakan bahwa syiah bukan dari golongan islam. Siapa saja yang menganggap syiah tidak sesat berarti dia sesat," kata Menag dalam siaran persnya, Rabu (25/1). 

Suryadharma mengatakan setelah membuka dokumen-dokumen tersebut dirinya menemukan bahwa Syiah bukan Islam dan itulah yang menjadikan landasan pemerintah terkait kehadiran Syiah di Indonesia. 

Sementara itu, langkah yang akan ditempuh untuk menyelesaikan masalah Syiah tersebut menurut Menag adalah dengan cara duduk bersama dan membicarakan secara musyawarah. 

"Ya harus duduk bersama-sama. karena masing-masing punya alasan. Mungkin saya harus menimbang-nimbang dahulu dari ulama, baru saya memutuskan. Sejauh ini, saya masih berpegang kepada keputusan menag yang lalu," tuturnya. (*/OL-12)

Sumber:  

Masihkah mereka pantas disebut sebagai pewaris nabi?

Para ulama dan ahli agama kebanyakan menyebut mereka meski dalam hati dan kadang malu-malu sebagai para pewaris nabi. Darimana mereka dapat mengatakan itu? Mungkin dari garis keturunan arab, dari ketekunannya beribadah, atau dari ge-ernya saja? Sangat jauh dari kenyataan ketika para pengaku pewaris nabi ini akan dengan mudah mengatakan sesat dan kafir. Bisa jadi benar bisa jadi tidak, kita berada diluar pola pemikiran seperti ini. Hanyalah nabi Khaidir, tokoh dan figur yang bisa melakukannya dengan benar, dan ketokohannya sangat dihormati di Jawa meski orang tersebut tidak tekun belajar agama, karena budaya dan tutur lisan yang berkesinambungan. Sementara kecerdasan semakin berkembang, orang tidak mudah mengikuti agama tertentu karena kadang bukti yang ada adalah kebalikan dari kata-kata suci yang ditebarkan sebagai pesona marketing agama.

Jika agama masih memerlukan mentor, hanya agama Katholik yang memiliki seorang Paus di Roma, sementara lainnya adalah rimba belantara. Bagaimana ketika adat budaya Jawa Jogja yang juga mungkin sudah dijadwal untuk diserang karena dekat dengan kemenyan dan memiliki doa-doa berbahasa Jawa yang tetap dilestarikan. Sementara Raja Mataram Jogja sendiri adalah Sayidin Panetep Panotogomo, yang sekali lagi tidak akan diakui oleh para pakar agama yang belajar jauh dan membaca buku kitab yang demikian banyak, sehingga pintar, cerdas, hilang akal dan menolak 'bathiniah'.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dosen Sosiologi Peneliti Syiah di Indonesia dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr. Zulkifli mengatakan sulit memberikan fatwa haram Syiah di Indonesia.

"Paham Syiah tidak bisa dibuat fatwa haram karena tidak menyentuh sisi fundamental keislaman di indonesia," ujarnya kepada Republika, Rabu, (25/1), dalam seminar 'Membincang Syiah di Indonesia'.

Karenanya ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat harus berhati-hati dalam memutuskan fatwa syiah. Karena kecenderungan paham syiah terus dipolitisasi untuk memenangkan dominasi sunni. 

"Padahal Syiah sangat jauh berbeda dengan paham Ahmadiyah yang mempertentangkan prinsip kenabian yang fundamental dalam Islam," jelas doktor lulusan Leiden University ini.

Beberapa hari yang lalu MUI Jawa Timur telah memfatwakan haram bagi paham Syiah di Jawa Timur. Lanjut, menurut Dr. Zulkifli, MUI sebenarnya telah mengeluarkan keputusan tentang paham Syiah di Indonesia. Bahwa masyarakat perlu memposisikan kehati-hatian akan paham Syiah di Indonesia, bukan mengharamkan.

Sumber:

Bagaimana tidak mungkin? 

Aliran Islam garis keras yang menyerbu melalui kampus-kampus dan berhasil membentuk aliran logika dalam pembaharuan islam. Jelas memiliki maksud-maksud tertentu, entah baik atau tidak, bukan urusan saya, mereka sangat berbeda dengan islam tradisional yang tumbuh sejak lama. Pemiskinan ekonomi yang dilakukan oleh negara sendiri dan negara lain via globalisasi akan menumbuh suburkan aliran-aliran kecerdasan ini, bahkan mungkin akan di makan mentah-mentah, karena dengan kemiskinan ekonomi yang merembet ke kemiskinan budaya maka hati dan nurani membutuhkan siraman. Siraman yang berbau ketuhanan atau dunia indah, atau dunia utopia lainnya yang mendekati dengan ideal.

Tanah, sawah, hutan dan sungai sudah tak bisa lagi menghasilkan makanan untuk mencukupi kebutuhan makan. Kerusakan sumberdaya alam bagaimanapun akan memicu dan berimplikasi meskipun tidak harus linear dengan kebudayaan dan kerusakannya, yang seharusnya menjadi siraman bathin alamiah tanpa harus memfotokopi dan percaya pada orang-orang yang mengaku wali atau pewaris nabi namun tanpa surat tanda lulus yang jelas. Orang dipaksa untuk hidup praktis, bekerja dan secara instan mendapatkan pelajaran bathin yang direkayasa dan dipersingkat, jauh dengan alam yang memberikan gambaran tentang tuhan yang sesungguhnya. Masih untung ada pesantren-pesantren besar, namun pesantren tersebut adalah kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki ego, kebanggaan dan harga diri, jika berhadapan dengan aliran lain, bukan tidak mungkin segala cara digunakan untuk membela diri atau menyerang karena merasa terganggu.

Tidak ada cerita pembelaaan tentang Syeh Siti Jenar, yang diakui juga sebagai wali dalam kisah Jawa. Bagaimana mungkin secara logika bahwa waliyulloh dengan tataran kewaliannya bisa berselisih paham. Bagaimana bisa ada cerita perpecahan diantara para wali, sebagaimana mungkin 'jika tidak terlalu rendah', perpecahan dewan jenderal menjelang peristiwa pembunuhan massal 1965, dengan pola cerita pemberontakan kepada kekuasaan negara, yang pada akhirnya juga sang penguasa saat itu, Presiden Soekarno, di jebloskan juga ke penjara. Jadi siapa penguasanya dan siapa yang diberontak? (misalnya). Dan ini kisah pertarungan antar desa yang memiliki pimpinan kyai, dan kyai yang berada pada lokasi geografis yang jauh dari ibukota. Bagaimana kemudian bisa menjadi penghakiman yang menyesatkan antar sektarian agama?. Lucu, ada cerita apalagi di balik ini?

Akhir Zaman sudah jauh dari Nabi

Rasullullah SAWW hidup pada abad ke 5, sementara sekarang sudah abad 21. Sudah seribu lima ratus tahun jauh dari kabar yang benar. Perpecahan sunni dan syiah terjadi sejak seribu lima ratus tahun tersebut. Bagaimana mencari pembenaran dan kabar yang benar secara nyata dengan jauhnya jarak waktu yang ada, selain fanatisme. Perpecahan tentang awal bulan ramadhan dan awal bulan syawal masih selalu menghiasi tahun-tahun yang selalu dipanasi dengan perbedaan. Sementara dengan perkembangan zaman seperti ini, sudah tidak asing lagi ketika ada seseorang intelektual yang mengaku lebih pintar dari nabi, bahkan dengan olokan bahwa nabi buta huruf dan sebagainya. Entah nanti ada apalagi lainnya, seperti pertanyaan orang-orang eropa yang dengan bebasnya mengatakan pedofilia dan sebagainya. Orang sekarang lebih memiliki moral dan kecerdasan tentunya di banding ketika para nabi hidup di jaman dahulu.

Sesat menyesatkan antar para pemeluk agama adalah sasaran yang empuk bagi para cerdas cendekia seperti itu. Memang ada pengikut atheis 'gagal paham' yang ditangkap polisi di Padang beberapa waktu yang lalu. Namun apakah kehidupan dengan landasan nalar yang kurang dalam seperti fanatisme buta akan bertahan dengan gempuran logika, asah otak dan otak-atik teori yang selalu berkembang?. Hanya kehancuran, kehancuran karena kebingungan, kehancuran karena ketidaktahuan dan kehancuran karena ombang-ambing informasi. Jadi kapan akan sadar dan saling melindungi untuk menuju sesuatu yang indah ketika tak bisa berpikir jernih karena terbatas hanya bisa menentukan masih seminggu lagi kita bisa makan. Memang benar yang dikatakan komunis ini dalam tulisannya sehari sebelum mati yang berjudul .

Atas