Mungkin berbeda-beda ketika mendengar atau berhadapan dengan sebuah istilah 'standar', terbersit dalam kenakalan atau bunga-bunga di benak, sebuah standar artinya batas atau ukuran, bisa maksimal atau bisa minimal. Namun itu hanyalah sebersit yang ada dalam pertanyaan dalam benak, karena sebenarnya toh semua dari kita mafhum bahwa standar adalah sesuatu yang mau tidak mau harus ada, dan harus dilakukan dan sudah barang tentu itulah hal yang harus dicukupi, tidak boleh kurang namun apabila lebih mungkin saja itu lebih baik dalam tanda kutip, karena memiliki kelebihan, dan tentunya standar tidak boleh mentolerir adanya kekurangan, karena sekali lagi hal itu sudah ditetapkan, sebagai sesuatu yang harus ada dan menjadi pelanggaran atau masalah ketika hal tersebut tidak ada.
Bukan semudah membalik telapak tangan atau semudah membuat peraturan ini untuk mencapai harapan yang sangat idealis sebagaimana termaktub dalam cita-cita Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 bahwa "Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah
dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan".
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, Standar Proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Lebih sulit lagi ketika cita-cita untuk mengajak partisipasi masyarakat agar tercapai sistem yang transparan dan akuntabel dalam setiap satuan pendidikan, yang harus berdiri mandiri dengan keyakinan dan kesamaan persepsi tentang aturan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah. Implikasi dari hal ini tentunya memang sudah dipikirkan dan sewajarnya untuk secepatnya dijalankan dengan sepenuh hati bagi seluruh pegiat dan pendidik maupun manajemen persekolahan yang sedikit demi sedikit seharusnya memiliki persepsi dan perspektif yang mengedepankan output dengan memenuhi standar-standar yang ada dahulu, dan membimbing masyarakat untuk bisa menemukan bagaimanakah standar sekolah nasional yang seharusnya ada, sehingga bisa memilih sekolah dimanapun tanpa harus membeda-bedakan kualitas, terkecuali memang ada tawaran lain yang lebih menguntungkan bagi masyarakat dan anak.
Betapa sebenarnya kran informasi yang sudah terbuka, harus bisa diakses dan diketahui oleh semua orang, hanya saja gerakan seperti ini nampak sangat mahal dalam koordinasi, ditambah transparansi persekolahan yang seakan memang kurang termotivasi untuk mewujudkannya, pun pihak yang lain ditambah dengan budaya rikuh yang sepertinya makin dimanfaatkan saja. Jadi memang ketika blunder mengenai banyak hal kadang semua pihak memang harus bisa terbuka untuk merefleksikannya, terutama negara yang entah lepas tangan atau memang karena gajinya kurang.