Satrio Piningit vs Satrio Wirang

 

Satrio Piningit vs Satrio Wirang

Konstelasi politik untuk memilih Pimpinan Negeri Begajul di tahun postingan ini ternyata menghasilkan dua kandidat yang akan berseteru sepanjang masa hidupnya. Dua kandidat tersebut bernama Satrio Piningit dan Satrio Wirang, dan akhirnya Satrio Piningit memenangi kancah lomba berkonstelasi politik tingkat tinggi tersebut. Meskipun dua orang satria ini yaitu Satrio Piningit dan Satrio Wirang keduanya bukan kelas satrio yang sebenarnya, atau sejati, keduanya adalah satrio abal-abal yang menggambarkan kehadiran Satrio Piningit dan Satrio Wirang yang sesungguhnya karena jenis 2 satrio yang ada saat ini belum bisa menggambarkan secara global bagaimana menjadi satria yang sebenarnya. Sebab keduanya masih menggunakan Partai Politik sebagai 'back end'-nya.

Satrio Wirang yang belum pernah sekalipun menang perang, meski mendapatkan berbagai lapangan peperangan dan menjadi senopati tinggi dengan angkatan perang militer sakti dibelakangnya tidak dikaruniai kemenangan, bahkan kejadian-kejadian memalukan menimpanya hingga jabatan senopati dan keanggotaannya sebagai satria dicopot karena memiliki niatan dan hasrat pribadi demi kepentingan pribadinya. Sudah mafhum orang banyak yang berpikir bahwa satria satu ini tidak memiliki niat ikhlas untuk menjadikan negeri begajul menjadi negeri adil makmur, ditambah dengan sikap kerasnya yang dilandasi dengan hasrat menggebu-nggebu dan kekerasan hati.

Sebagaimana nenek moyangnya pun, ketika di tarik ke atas hingga 7 turunan, diketemukan salah satu sifat dasar simbanya sebagai pengkhianat, dia mengkhianati seorang ksatria mataram dan merencanakan strategi penangkapannya hingga satria mataram tersebut harus menghentikan peperangan yang dimenangkannya dan merugikan pihak penjajah. Bakat terpendam bahwa harta akan memimpin otaknya sudah turun temurun berada dalam keluarganya. Namun bagaimanapun hal ini hanyalah dongeng semata yang sulit untuk dijelaskan dan dicari buktinya.

Aksi penjegalan kepada Satrio Piningit abal-abal yang dilakukan oleh Satrio Wirang abal-abal bersama teman-temannya, acapkali membuat publik mengernyitkan dahi, mengapa bisa melakukan hal yang sudah menjadi pakem yang baru sesuai semangat reformasi yang diagung-agungkan dan pernah menjadi landasan pencitraan setiap orang, seperti akan mengganti pemilihan pemimpin daerah melalui mekanisme pemilihan gaya lama melalui keputusan wakil rakyat. Bukan dengan cara pemilihan langsung yang demokratis dan melalui proses panjang dan setiap kepala rakyat bisa ikut memikirkannya. Meskipun pendidikan poltik belum berhasil, sebab masih banyak anggota masyarakat yang memilih berdasarkan siapa yang memberinya uang, meskipun hanya paling banyak sekitar 350 ribu rupiah, per kepala, itupun di ibukota.

Kebodohan masyarakat yang di ketahui memang direncanakan dalam bidang politik, sehingga banyak yang tidak paham bahkan apatis terhadap politik menjadikan kebutaan politik dan ketidakberanian menyuarakan kebenaran. Banyak orang pintar namun karena elite kekuasaan dengan mudahnya melakukan intimidasi dan tak kurang ada ratusan aktivis yang pada akhirnya memilih diam ketika berhadapan dengan kekerasan politik lokal. Munir misalnya, harus menghadapi kematian dan tak ada kejelasan siapa dalang pembunuhnya, dan hingga saat ini menjadi misteri, seperti kasus Wartawan udin di Bantul, DIY.

Reformasi yang sesungguhnya baru akan lahir di tahun ketika Satrio Piningit abal-abal ini akan memimpin negeri begajul. Oleh karena itu perlawanan pihak Koalisi Wirang pun seakan tidak terkendali sebab menghadapi jalur-jalur atau jalan kematiannya yang mau tidak mau akan segera hadir. Perlawanan Koalisi Wirang ini seperti mahluk yang tidak mau mati ketika sedang berada dalam kondisi sakaratul maut. Jalan apapun akan ditempuh, siapapun sebisanya akan ditendang untuk mempertahankan hidupnya yang dilihatnya sudah semakin dekat dengan muram dan sengsara yang belum pernah dihadapinya sejak mereka dilahirkan ke dunia.

Atas