Konteks saat ini, tentang RUU Ormas - Rancangan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan adalah banyaknya penolakan disebabkan pencideraan makna kebebasan berekspresi dan berserikat oleh negara. Masyarakat rela dan mencoba berkumpul untuk kepentingannya adalah ide kreatif karena bolongnya kehadiran negara dalam berbagai aspek kehidupan. Sudah ada UU No. 28 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan telah masuk dalam daftar Prolegnas 2010 dan Rancangan UU Perkumpulan yang telah masuk dalam daftar Prolegnas 2009-2014 dengan nomor 228 dianggap sudah sesuai dengan pengelompokan dan pengkategorian formulasi organisasi masyarakat sipil. UU No 8 tahun 1985 yang adalah Paket UU Politik keberingasan orde baru, sudah tidak sesuai lagi dan tidak perlu direvisi karena tidak sesuai dengan Konstitusi dan semangat demokrasi.
Kontrol dan kooptasi yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat sipil hanya akan mencipta kondisi kontra produktif dan stagnan. Pada saat ini penentu perkembangan kualitas bernegara sudah berubah dan harus diakui, bahwa komponen negara yang terbagi menjadi tiga, eksekutif, yudikatif dan legislatif adalah satu ruang yang harus bekerjasama dan tergantung pada pasar dan masyarakat sipil yang memiliki kekuatan setara.
Negara sudah disibukan dengan urusannya sendiri untuk mengatur regulasi, pasar berusaha mencipta keseimbangan untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat sipil adalah konsumen sekaligus kontrol terhadap keduanya. Kadang masyarakat sipil harus bertindak sendiri mengingatkan negara yang terlalu sibuk dengan urusan tidak penting, dan pasar yang hanya mengambil keuntungan semata.
Salah satu contoh adalah presiden negeri begajul saat ini yang dulunya adalah pembina partai dan untuk menyelamatkan harga dirinya maka sekarang dia menjadi ketua umum partai yang sudah sempoyongan karena kasus korupsi dan tingkah lakunya sendiri yang sama sekali tidak selaras dengan kepentingan masyarakat. Soeharto sendiri pada masa Orde Baru tidak bertingkah menjadi ketua umum Golkar meskipun kewenangannya melebihi siapapun di partai Golkar tersebut.
Salah satu lembaga yang bisa diharapkan dahulu adalah Mahkamah Konstitusi yang agak logis dalam memandang dan menentukan kekuatan konstitusi. Namun sepertinya hal itu adalah akrobat politik juga untuk pencitraan mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang sekiranya punya kesempatan akan mencalonkan diri sebagai presiden negeri begajul.
Memang apa yang selalu dilakukan pemerintah tidak pernah jelas dan selesai dengan nilai bagus, kecuali mereka yang menilanya sendiri. Alkisah kasus pendataan dan kepesertaan Jamkesmas yang bermasalah, dan mungkin itu adalah pemanasan karena tahun depan Jamkesmas sudah akan ditiadakan diganti dengan asuransi iuran, atau jamkes dengan metode membayar iuran 10 ribu perkepala bagi rakyat negeri begajul, baik yang kaya ataupun miskin. Jadi negara akan sedikit demi sedikit berlepas tangan akan tanggungjawabnya mendirikan negara yang bertujuan untuk menciptkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mungkin juga keadilan sosial adalah barang yang bisa diperjualbelikan, atau dimonetize, sehingga siapa yang akan mendapatkan jaminan dari negara, atau keadilan maka diwajibkan bagi mereka untuk membayarnya.
Juga dalam RUU Ormas ini, lebih membingungkan lagi karena ormas dapat berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum, bagi yang tidak berbadan hukum maka harus memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh bawahan mendagri yaitu ditjen kesbangpol, jadi seluruh pergerakan masyarakat yang berekspresi dan berkomunitas baik itu untuk kemanusiaan, hobi ataupun profesi dan lain sebagainya akan dimasukkan dalam kategori politik.
Ormas akan didata dan dilarang mendapatkan bantuan finansial dari sumber yang tak dapat dibuktikan keberadaannya atau anonim. Jadi anda tak bisa menyumbang kembali ke misalnya filantropi media yang kebablasen juga, seperti dompet SCTV atau lainnya dengan nama 'hamba allah'. Meski satu sisi hal ini adalah untuk menghindari pencucian uang, namun negeri begajul sendiri sudah memiliki Undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang.
Juga negara tidak bercermin pada buruk mukanya dalam penggunakan donasi maupun donor dari luar negeri, utang negara sudah tak terhitung lagi banyaknya, dan tidak pernah menjadi sesuatu yang membahagiakan masyarakat karena kebanyakan salah sasaran. Tentang ormas yang mendapatkan bantuan atau donor asing biasanya hal tersebut adalah bukan masuk dalam kategori pendapatan namun pembiayaan untuk melakukan program yang akan habis dalam kerja-kerja kemasyarakatan tersebut, pun jumlahnya tidak sebanding dengan nilai bantuan donor asing kepada negara, dan penjualan kekayaan negara yang penggunaannya tak tentu arah apalagi alasannya. Meski kita tahu juga berbagai ormas yang hanya adalah anjing peliharaan para pejabat dan oknum militer.
Begitulah apabila sudah salah urus dan salah penglihatan, betapa kepentingan negara tidak mencerminkan kepentingan masyarakat sebagai pondasi dan cikal bakal keberadaannya. Rakyat sudah ditinggalkan dan harus berjuang sendiri mencipta definisi sendiri tentang kesejahteraan dan keadilan sosial bagi dirinya sendiri. Politik yang seharusnya menawarkan sistem perubahan yang lebih baik sudah terjerumus menjadi perang kekuasaan yang sama sekali tidak bermanfaat. Terlalu pintar sehingga lupa jika perubahan menuju kebaikan terjadi dari bawah dan asimetris.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
![]() | 31.57 KB |
![]() | 135.67 KB |