Setengah bulan yang lalu, tepatnya 14 Desember 2012 terjadi demo besar, dengan sekitar kekuatan 4000an orang perangkat dari desa negeri begajul di ibukotanya bahkan di depan gedung sarang begajulnya menuntut hal yang sangat aneh, bersifat individualistik. egois, penuh keluhan, pisuhan dan cilakanya lupa akan pekerjaan dan tanggungjawabnya sendiri. Mereka mengatakan hal-hal yang biasa diungkapkan layaknya orang hidup putus asa. Tentang bagaimana beratnya pekerjaannya, bagaimana mereka harus mengatur masyarakat yang semakin cerdas dan tidak mau begajulan. Rombongan orang putus asa ini jelas dimanfaatkan oleh politikus-politikus putus asa yang pekerjaannya menjual tanah ke negeri tetangga, hingga yang menginginkan sedikit cara menggalang suara untuk pemilihan umum di tahun 2014 dengan modal yang sekiranya dapat kembali jika mesin partainya dapat mencengkeram desa.
Para oportunis dan pegiat keputusasaan yang rakus memang seperti terlayani dengan nikmat ketika sudah hampir pemilu. Uang-uang dari pundi-pundi yang tidak jelas akan mengalir. Namun tidak sedikit uang-uang itu dari kebocoran kas negara yang dialirkan untuk kepentingan pragmatis pemenangan pemilu. Bayangkan ketika para aparat gerakan desa begajul berhasil berjuang ke Jakarta menuntut dirinya jadi PNS. Tahun depan ada salah satu mesin partai yang bagai buldozer akan memenangkan pemilu, menguasai negara dengan menggunakan uang negara pula. Dan tak terbayangkan akan ada berapa moratorium lagi sebagaimana dahulu ketika para guru honorer diangkat menjadi PNS, tanpa malu memang keuangan negara harus kembali kembang kempis belum lagi untuk membayar utang negara hasil jerihpayah kebohongan orde baru.
Mengapa demo perangkat negeri begajul itu harus anarkis?
Sudah barang tentu para perangkat desa yang salah satunya adalah Kades - Kepala Desa adalah orang yang berdaya, mereka mampu memenangkan pemilihan langsung secara lokal. Sudah barangtentu mereka memiliki modal atau bekal untuk hidup. Bahkan jika dirunut keinginan untuk menjadi kepala desa yang baik seharusnya adalah untuk menjadi pemimpin untuk membangun dan memajukan desa. Ini adalah pekerjaan besar, jika tanpa diiming-imingi uang, hal ini sangat mulia sekali. Lantas mengapa mereka berani melakukan demo yang anarkis bahkan bersatu dan terkoordinir di depan gedung lembaga tinggi negara? ini pertanyaan yang jawabannya pasti tidak ada kemuliaan dan kebaikan.
Sudah barang tentu dibelakang demo perangkat desa 14 Desember 2012 ada aktor politik yang cerdas dan memiliki strategi jitu untuk pemenangan pemilu tahun depan. Mereka menghimpun hingga masyarakat paling jauh dari pusat pemerintahan dan politik yaitu di desa. Jika permintaan mereka menjadikan PNS ini gol kemenangan akan ada di tangan dan sudah barang tentu tanpa platform dan kecerdasan strategi pemajuan negara yang jitu, namun secara suara mereka akan menang, wow.
Memupuk angkara murka
Berapa banyak proses pemilihan langsung yang berlangsung ricuh. Tak ada yang jujur dan dengan jalan yang benar rupanya, itu pasti, maka ricuh. Selain sistem data penduduk dan jumlah para pemilih yang berada di KPU tak pernah fix. Hal ini tentu dimanfaatkan banyak pihak untuk mendapatkan hasil pemenangan yang berjarak dengan objektif. Draft RUU Desa saat inipun lebih berat untuk mengatur kepentingan dan kesejahteraan perangkat desa. Bantuan-bantuan langsung dengan kontrol yang tidak jelas. Banyak kesempatan menjadi tuan tanah, penguasa dan tentu saja kaya dengan kontrol dari masyarakat yang hampir tidak ada sama sekali.
Kadang mereka tidak kreatif untuk memajukan dan membangun, hanya menerima perintah dan petunjuk dari atas, untuk dilaksanakan di warga. Menjadi pengatur dan manajer tingkat madya yang bebas dan semaunya. Memang masih jadi wacana yang debatable tentang hal ini, satu sisi mereka mengajukan diri sebagai karyawan untuk berbakti pada desa, namun di sisi lain adalah pekerjaan. Ada desa makmur yang bisa membuat kepala desanya mendapatkan penghasilan puluhan juta sebulan, namun ada juga yang sekedarnya, tidak ada standar dalam hal ini. Apakah hal ini akan distandarisasikan dengan menghitung semua aset yang ada kemudian di bagi rata ke seluruh penjuru negeri, tentu banyak yang tidak mau. Bahkan ketika di data berapa kekayaan seseorang pun jarang yang mau melakukannya dengan penuh keikhlasan.
Jadi mungkin apabila ada pertanyaan seperti ini:
Siapa yg akan nggaji perangkat desa jika pmrth sj tdk mengakui? @danangarudhiant @budhihermanto @kabartersiar @suryaden
— Dwi Giatno Alkissy (@dwialkissy) December 30, 2012
Maka yang perlu dipikirkan adalah kontrak dengan masyarakat desanya ketika mau pemilihan kepala desa. Pertanyaan yang penting adalah sejauhmana saya wajar digaji dengan pekerjaan saya. Karena pemerintah dan negara belum mengatur apakah Kades mendapatkan status sebagai pegawai yang digaji atau bukan. Dan seperti selayaknya dalam sejarah bangsa ini bahwa biasanya mereka para Kades mendapatkan tanah atau lahan garapan untuk menghidupinya selama beliau bekerja sebagai kepala desa.
Dan jika hal ini sudah tidak ada maka kewajiban kecamatan atau kabupaten untuk memikirkan, apakah desa tersebut akan dipimpin seseorang secara voluntary ataukah dihandle langsung oleh Tripika Kecamatan, dengan pegawai sosial kecamatannya. Sebab kepala desa biasanya juga kebanyakan hanya melakukan tugas secara administratif belaka atau hanya sebagai ikon simbol budaya, selama ini. Negara dan aparatusnya digaji dengan uang rakyat, maka selayaknyalah apabila bertanggungjawab kepada rakyat, kepala desa di bayar dengan uang warga masyarakat juga bisa dilakukan untuk membangun demokratisasi yang jelas dari bawah. Dari sini akan muncul orang-orang piawai yang akan medistribusikan tenaga dan pengetahuannya untuk desa menjadi desa yang benar-benar berbeda dengan tatanan dari atas ke bawah yang kita ketahui bersama rasanya sudah gagal dilakukan. Sudah terlalu banyak pangreh praja yang pengangguran, ada baiknya bisa diefektifkan pekerjaannya untuk turun langsung ke bawah.
Namun jika kacamatanya adalah politik kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan dan semakin jauh semangatnya dengan Gerakan Desa Membangun. Karena Desa Membangun mementingkan kepentingan masyarakat desa, bukan semata perangkatnya, apabila desa akan menjadi makmur sejahtera maka secara otomatis kesejahteraan para perangkatnya akan terangkat setimpal dengan apa yang dikerjakannya. Terkecuali memang ada hal-hal yang disembunyikan jauh dari transparansi publik, proses yang tidak benar dan perangkat tidak seirama dengan kemauan masyarakat desa untuk membangun dirinya sendiri.
Lempar batu sembunyi tangan
Demo perangkat desa korban janji politikJAKARTA - Aksi unjuk rasa para perangkat desa di depan gedung DPR Jumat lalu terjadi karena mereka pernah mendapat janji-janji dari elite politik. Aksi itu merupakan buah dari perjanjian terselebung."Ini sarat dengan nuansa politik, dan ini merupakan bagian dari perjanjian-perjanjian politik yang terselubung pada event politik seperti Pilkada," ujar Wakil Ketua MPR Hadjriyanto Y Thohari, di Jakarta, tadi malam.Dia melihat, perilaku politik seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia. Para elite tersebut sering menjanjikan sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan. "Mereka yang demo itu kemarin itu rata-rata orang-orang yang dijanjikan oleh para pejabat politik ketika Pemilu maupun Pemilukada," kata Hadjri.Seperti diketahui, pada Jumat (14/12), ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara dan PPDI melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR. Tuntutan mereka di antaranya adalah disahkannya UU Desa sekarang juga dan diangkatnya perangkat desa menjadi PNS. Aksi demo tersebut berakhir dengan kerusuhan antara polisi dan pengunjuk rasa.Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta pemerintah segera mengabulkan permintaan kepala desa serta para perangkat desa agar diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).Menurut Priyo, bila pemerintah tidak segera mengabulkan tuntutan ini, maka Priyo yakin perangkat desa akan terus melakukan aksi untuk memenuhi tuntutan itu."Kalau pemerintah ikut dengan DPR, untuk membahas masalah ini, maka tidak akan sampai berpuluh-puluh ribu kepala desa kepung seperti ini," kata Priyo di Gedung DPR, Jakarta.Bahkan untuk hal ini, Priyo meminta agar para perangkat desa tak hanya melakukan aksi di depan Gedung DPR saja. Namun, dia menyarankan melakukan aksi di depan Kementerian Dalam Negeri atau Istana Presiden."Jangan hanya kepung DPR, tapi juga datangi mendagri dan Istana Presiden. Karena kan yang bermasalah bukan di gedung ini," katanya.
Foto Via : http://politik.news.viva.co.id/news/read/375235-menko-polhukam--demo-perangkat-desa-tak-pantas