Mungkin keliru yang merasakan hal ini, menjadi seorang yang tolol dengan politik. Politik yang seharusnya adalah cara untuk mengambil keputusan, menjadi cara untuk mengambil kekuasaan. Menjadi sangat aneh ketika ada jutaan caleg yang ingin memiliki hak untuk pengambilan keputusan. Sebenarnya mereka itu menganggap apa sih ruang legislatif itu. Bukankah dengan ditelorkannya sebuah Undang-Undang tidak serta merta akan membawa perubahan yang diinginkan, lebih-lebih jika UU yang berpihak pada keadilan dan akses bagi rakyat.
Lebih konyol adalah dua orang penggede republik ini yang meluangkan kerjanya untuk cuti kampanye, berarti dengan begitu kan ada seperberapa detik negeri ini tanpa pemimpin, bahkan dua atau tiga hari malahan. Berat di ongkos memang untuk kampanye dan membantu partai mereka yang mungkin kurang greget bila tidak menurunkan orang-orang tersebut. Mungkinkah partai juga sudah kehilangan kemandirian berpikir dan menentukan. Sehingga harus membawa motivator kesana dan kesini (doh) hanya untuk membela sesuat yang seharusnya hanya dilakukan saja, sangat muram masa depan ini.
Salah satu bagian anarkhisme semprul adalah cuti untuk berkampanye, mengapa hal itu bisa terjadi. Bukankah pemilihan untuk eksekutif bukan saat ini. Mungkin lebih afdol memang jika menang mutlak, namun meskipun begitu toh tidak berani juga berdiri sendiri karena masih ada unsur TNI, dan partai lain juga yang kalah tipis akan selalu menjadi kerikil dalam sepatu. Belum lagi jasa-jasa partai kecil yang mau membantu di awal kampanyenya, entah sekedar untuk cari duit atau eksistensi, jelas meskipun menang tentu nanti akan berkoalisi.
So, mengapa harus ada puluhan partai yang nantinya juga hanya akan berkoalisi. Tentunya hal ini harus menjadi pemikiran tersendiri. Mungkinkah kita tidak bisa menjadi satu haluan dalam berorganisasi hanya karena si A membela Petani, si B membela Koperasi, Si C membela BLT. Amat naif sekali dan biaya tinggi untuk menjadi solid di negeri ini. Apakah bisa juga dikatakan bahwa pengaruh nilai keluarga tertentu akan membawa ketidak rukunan dalam berorganisasi, karena memang bisa mendirikan partai atau organisasi sendiri. Mungkinkah gengsi saja yang membuat banyaknya perpecahan di kedamaian pertiwi ini. Memaafkan sesuatu hal sangat sulit dan berat sekali.
Masih adakah sisa-sisa dendam pasca kemerdekaan, atau sebelum kemerdekaan, yang menjadikan lapisan-lapisan pemikiran berbeda. Bukan dilandasi logika kecerdasan berbangsa namun kesejerahan kelompok yang subyektif. Menganggap benar sendiri tanpa mau mengeksplorasi dan beradaptasi dengan kondisi saat ini. Hanya berpikir negatif tentang apa maksud eksekutif saat ini, sah saja tapi jangan dong di turunkan ke anak cucu. Memang benar arsitektur keindonesiaan ini belum pernah selesai dan ramah dalam penggunaannya. Kesalahan masa lampau tidak pernah diingat namun direproduksi untuk mencapai sesuatu.