membangun kota membangun negara

 

membangun kota membangun negara

Apakah membangun kota itu juga sekaligus membangun negara? Bisa jadi iya bisa jadi pula tidak. Masih senewen dengan cara pembuatan batas wilayah di Negeri Begajul yang sangat kreatif dan nyeni, namun tidak inovatif karena tidak mengubah peninggalan Belanda atau masa lalu untuk menjadi sebuah negara yang memiliki kebebasan dan akses publik yang memudahkan. Batas kabupaten kota dan wilayah yang tidak lurus dan cenderung seperti batik adalah gambaran pekerjaan intelijen untuk mengadu domba masyarakat warga.

Lebih celaka lagi dengan penggunaan otonomi daerah yang keblinger dimana daerah kabupaten kota menjadi chauvinis, fixed dan sulit berubah karena perkembangan kreasi warganya yang kebanyakan tanpa keikutsertaan pemerintah menyumbang penghasilan daerah namun diklaim begitu saja dan menjadi daerah cantik yang tidak boleh berpindah secara administratf karena menyumbangkan penghasilan daerah. Belum lagi faktor pendulangan kekayaan daerah melalui pajak bumi bangunan, penghasilan, retribusi dan sebagainya yang menjadikan kadang lebih enak hidup di kampung namun dengan penghasilan dari kota atau rasa kota karena lebih murah dalam membayar pajak dan sebagainya.

Hal seperti diatas menjadikan kucing-kucingan antar pemegang administrasi kekuasaan dengan warganya, bagaimana saling memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan pengeluaran meski itu demi kepentingan bersama dalam tanda kutip karena kebiasaan administratur daerah yang membuat anggaran defisit namun pada kenyataannya jika mau dievaluasi anggaran tersebut biasanya juga tetap surplus. Jadi rasa curiga karena banyaknya ketidakterbukaan informasi memancing apa yang menjadi sesuatu hal yang tidak perlu seperti kucing-kucingan dan akal-akalan bagaimana mengatasi kondisi agar tidak terlalu berat dan membebani karena toh beban setiap individu tidak sama namun juga sebenarnya adalah tuntutan keterbukaan untuk apa sebenarnya pajak dan pungutan itu dipakai secara gamblang dan jelas.

Lantas apa hubungannya antara membangun kota dengan membangun negara? entahlah karena ternyata jika dipikir-pikir memang agak rumit dan mungkin tidak ada hubungannya, karena rakyat biasa hanya dianggap sebagai end user yang juga dinafikan keinginannya, karena yang membuat indikator keberhasilan sebuah kota atau negara adalah pemerintahnya sendiri dan kemudian membuat laporan progress yang sangat sulit diawasi meski katanya transparan. Sungguh sangat transparan adalah pisuhan atau imbauan atau keluhan atau ketidakpuasan warga di dalam teks-teks media sosial ataupun seara verbal ketika di warung-warung kopi atau warung apapun dimana mereka bisa berbicara dengan kerabat yang dipercayainya. Penyakit lama dan sangat ndeso adalah ketika birokrat pun tidak merasa sebagai birokrat namun merasa sebagai rakyat yang harus dilayani dan sengasara karena kebijakan pemerintah yang kurang pas, meskipun birokrat tersebut akan diuntungkan baik ketika memakai seragam wereng coklat ataupun ketika dihargai keberadaannya oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

Jika dibandingkan dengan startup lokal memang negara maupun pemerintah kota sudah melakukannya dengan cerdas dan dalam ranah yang lebih nyata, pun pula mendapatkan sponsor yang banyak, dan tentu saja dibayarkan oleh kliennya yaitu rakyatnya yang mau tidak mau harus patuh meskipun dalam kebijakan yang tidak memihaknya. Sudah jatuh tertimpa tangga, siapa yang akan membangun desa, membangun kota ataupun wilayah hingga membangun negara kalau tidak ada rakyat yang dengan suka rela bernaung kemudian memberikan apa yang dimilikinya untuk kebesaran negara, meski pada satu tingkat tertentu ada missing link ketika itu milik rakyat untuk kemudian dianggap sebagai milik negara. Negeri begajul memang berbeda, dia mulai dari rakyat dan raja-raja yang memiliki harta dan kekayaan namun komunike bersama yang muncul saat ini memang sudah lain dimana batas wilayah dan kuasa administratif menjadi penentu segalanya namun dengan desain yang tak berubah sejak dulu seperti batas wilayah sebagai misal.

Komplikasi dan kontradiksi yang menyakitkan ketika masih harus berhutang kepada negara lain dengan implikasi untuk membayar bunga dan tambahan kehilangan dependensi di rumah sendiri. Bagaimana akan membangun kota ataupun membangun negara ketika inkubator bisnis pribumi hancur dan tak bisa dilakukan tanpa sentuhan pihak asing dengan implikasi yang akan banyak sekali, mungkin hanya akan bisa bersaing secara kreatif ataupun menjadi pekerja yang dibayar tinggi oleh pihak asing dengan konsekuensi bahwa itu adalah jatah pribadi dan bukan kemakmuran bagi seluruh warga, konsep persaingan terbuka klasik seperti halnya konsep pengembang startup lokal atau apapun yang bermodalkan kreatifitas dan jasa layanan dengan klien sebagai pengisi konten ataupun penyedianya namun secara terbuka investor atau setiap saat jasa itu bisa terjualkan kepada pihak siapapun juga yang mampu membayar dan membelinya.

Konsep kiri sosialisme bahkan hingga ekonomi kerakyatan mungkin adalah konsep kuno yang sudah menjadi fosil karena cenderung menutup diri dan terlihat lamban karena nampak jauh dari global. Namun ketika memiliki muara sama yaitu kesejahteraan sosial dan kemakmuran negara mengapa tidak ada yang berani melakukannya karena bagaimanapun sebagai bagian dari global dan internasional tidak harus mendaftar bahkan memusuhinya pun adalah bagiannya. Bagaimana bisa menguatkan kota dan negara sebagai inkubator bisnis hingga mampu bersaing di tingkat yang lebih tinggi jika tidka dilindungi dan diprotek dari persaingan yang tidak sekelas. Meski mungkin akan banyak penyelundupan produk asing, namun lebih baik begitu daripada dibebaskan dan pasar dalam negeri tidak bisa dikendalikan hingga terwujudnya kesejahteraan sosial yang memiliki daya tahan.

Formula kiri mungkin sudah agak terlalu keras atau bagi pemikiran saat ini terlampau ekstrim, asing bahkan mungkin basi karena rasa kepercayaan pada diri dan nasionalisme yang sudah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang aneh dan lain di saat ini, mungkin karena efek hutan dan keterbukaan dengan dunia luar yang sudah keterlaluan atau mungkin karena krisis percaya diri?. Bagaimana bisa keluar dari situasi seperti ini, tentunya masih dengan jalan yang panjang ketika negeri yang kuasanya dapat memberikan pendapatan pada seluruh warganya tanpa kecuali harus pilih kasih dengan segala macam filter hirarki maupun birokrasi dengan topeng persaingan, kompetisi dan kompetensi, namun dibaliknya adalah kekayaan pribadi atau kelompok tertentu.

Memerlukan berbagai macam gebrakan dan terobosan untuk bisa mendapati telanjangnya kepentingan pribadi dan kelompok, hanya kepentingan dan kesejahteraan sosial sebagai muara, bgaimana bisa menciptakan banyak pertanyaan sebagai bemper moral ketika orang yang sangat kaya dengan kecukupan sehari-harinya bisa bertanya pada dirinya sendiri tentang nasib tetangganya atau mungkin saudaranya atau handai taulannya yang mengalami kekurangan karena tiadanya fasilitas dan layanan yang bisa diakses oleh mereka karena kekurangan informasi dan juga karena memang akses dan kemudahan hanya untuk kelompok tertentu saja.

Bagaimana bisa menciptakan dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan keterlibatan diri dalam sosial masyarakat kota, negara atau bahkan dirinya dan keluarganya dalam menyaksikan keadilan akses, hak atas kehidupan yang layak serta mencukupkan dirinya sendiri untuk memberikan kesempatan pada orang lain tanpa dengan embel-embel religiusitas namun sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita dasar sama yang patut dijaga dan diperjuangkan dari pribadi-pribadi yang tulus.

Atas