Hai orang-orang yang berdarah, sudah barang tentu kekerasan bukanlah jalan terakhir untuk mencapai kedamaian. Mengapa mencari kedamaian harus melalui jalan yang panas, berliku, penuh kelaparan dan berdarah-darah, plus pentungan serta helm juga tulisan anti huru-hara. Siapapun rasanya akan anti dengan kekerasan dan huru-hara, namun ketika mencari rasa damai, cinta dan kesejahteraan tak kunjung datang, yang tersisa hanyalah rasa emosi meninggi, mata nyalang tanpa ba bi bu siapa anda apalagi siaran di televisi yang selalu saja dipenuhi dengan bentrok kekerasan, bentrok karena merasa tidak adil, bentrok karena diganggu sarangnya maupun bentrok untuk hiburan setelah nonton sepak bola.
Ataukah memang hal ini sengaja dibiarkan tumbuh subur hingga tak ada lagi rasa saling percaya, saling hormat menghormati, saling menghargai karena memang sudah tidak pernah ada lagi karena disirami dan disuburkan dengan rasa dahaga, lapar, perih, dan kebingungan atas jatah amunisi dari gaji yang diterima hanya bisa untuk bertahan dalam hitungan hari. Semakin kau sulut saja dengan berita tentang koruptor milyaran rupiah yang duduk secara terhormat disana bahkan mampu menyewa pembelanya agar tetep nanti bisa korupsi lagi dengan aman, nyaman dan sejahtera. Namun dibawah sana, benih-benih kebencian tersebut tumbuh dengan subur, terakselerasi dengan panas matahari, kerasnya dunia kerja, kerasnya benturan emosional suasana di jalan, tajamnya perbedaan, dan makin cepat pertumbuhannya meski tidak di ruang lembab berpengatur suhu ruangan, jendela kaca tahan peluru. Ya.. anarki itu tumbuh dengan sendirinya, menghidupi dirinya sendiri, dan nantinya akan mengharumkan nama bangsa karena dapat tumbuh dengan cepat menjadi raksasa angkara murka untuk melahap angkara lainnya yang tentunya sudah saling benci, dengan kebengisannya masing-masing.
Bangsa beraneka inipun tumbuh dengan sendirinya tanpa harus memikirkan character building, sebab pendidikan yang semakin mahal biayanya, namun menciptakan ladang pengangguran dan ketidak adilan karena iklim kompetisi yang makin mengandalkan logika pikiran bukannya logika hati dimana memang sudah saatnya bala tentara kezaliman akan datang memenuhi alam semesta ini karena pertumbuhan penduduk dan jaminan kesehatan yang semakin baik hingga segalanya perlu diatur dengan uang. Sementara anarki dan kebencian tumbuh sebaliknya, tanpa biaya dan pengorbanan tertentu, cukup dengan budi daya ketidak adilan dan pemerintah yang semena-mena memproduksi regulasi yang berpihak pada kepentingan angka-angka dengan simbol aneh di depannya.
Bagaimanapun peristiwa kekerasan hanya melibatkan kalangan tertentu saja, dan semuanya rugi, rugi besar, sakit dan menambah derita banyak orang bahan yant tidak terlibat. Namun bagaimanapun juga ketika harus terjadi, untuk melawan ksatria berwatak jahat, apapun harus dilakukan berapapun bayarannya. Sudah terlalu banyak korban, darah dan luka yang teretas di seantero negeri begajul. Bukan cerita yang menarik dilihat dari manapun ketika judulnya adalah "Aparat negara melawan rakyatnya", atau "Rakyat melawan aparatnya sendiri" yang dibayarnya dari pajak-pajak pembelian dan penjualan apapun yang dibawa sampai ke rumah.
Ketika terlalu banyak sumbatan informasi dan sumbatan amanat penderitaan rakyat untuk bisa di sampaikan, di selesaikan, bahkan di hayati. Sudah barang tentu perlawanan menjadi halal dengan sendirinya tanpa harus difatwakan. Namun kengerian akan muncul lagi ketika nantinya makam-makam indah yang sering menjadi sandaran keluh kesah wong cilik akan diharamkan dengan model pengalihan isu dan pemicu seperti sebelumnya yang bisa ditangkap dengan cerdas olah pemanfaatnya demi kepentingannya sendiri. Wallahu alam.