luka bangsa ditemukan dapatkah diselesaikan?

 

luka bangsa ditemukan dapatkah diselesaikan?

negeri yang amnesia dan tak mau menyadari penderitaan rakyat. Selalu saja melihat jauh ke dunia yang lain, dunia awang-awang yang tak berpijak pada kenyataan apa yang seharusnya dilakukan sebagai sebuah negara yang awalnya berjanji untuk memakmurkan bangsa. Negeri yang lupa diri ini tidak pernah menyadari betapa keragaman berpikir adalah sebuah keniscayaan daripada penyeragaman atas nama stabilitas nasional. 

Stabilitas nasional yang dibiayaai dengan hutang negara, penjualan aset kekayaan bumi milik bangsa dan tentu saja keinginan asing. Keinginan asing untuk menjajah dan menguasai kekayaan bangsa untuk dicerap dan diangkut ke luar negeri tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena tertutup dengan uang segar dan kesempatan untuk korupsi yang terbuka lebar, karena negara sudah stabil dalam artian 'sudah tergenggam'. 

Militer dan orang-orang yang terlatih untuk menggunakan senjata memiliki sedikit derajat yang lebih tinggi karena berani nekat untuk membinasakan orang lain dan berdiri gagah karena menenteng senjata dan berseragam. Tanpa dilandasi ideologi negara yang masuk ke dalam sanubarinya, mereka hanya menjadi alat kekuasaan dan uang untuk bertindak tanpa harus pikir panjang karena atas perintah komandan yang jika salah pun orang lain akan menjadi kambing hitamnya.

Betapapun ini adalah kabar baik ketika Komnas HAM menemukan bukti-bukti pelanggaran HAM berat seperti yang diberitakan oleh Harian Kompas (24/7), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (23/7) dalam jumpa pers menyimpulkan bahwa terdapat banyak bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa. Atas kesimpulan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar Jaksa Agung dapat menindaklanjutinya dengan penyidikan. Komnas HAM merekomendasikan pula hasil penyelidikan dapat diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Lucu memang Komnas HAM melakukan penyelidikan selama 4 tahun dan baru menemukan bukti-bukti, setelah peristiwa tragedi 1965 - 1966 berlangsung sudah lebih dari 40 tahun. Kekuatan reproduksi kesalahan dan pembelokan fakta atas tragedi paling berat di dunia ini menjadi beban seluruh bangsa. Hingga saat ini bahkan cerita tentang pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia sudah seperti dongeng belaka yang simpang siur dan seperti tidak pernah ada di negeri yang kaya senyuman, indah dan membunuh rakyat dengan darah dingin.

Saat ini seperti yang ditulis di Gatra.com, bahwa rekomendasi temuan Komnas HAM tersebut sudah didesakkan ke pihak terkait seperti Kejaksaan Agung untuk segera menindaklanjutinya. Kejaksaan Agung pun baru akan membentu tim investigasi lagi untuk mempelajari temuan-temuan Komnas HAM. Dan kemudian Kejagung akan menunjuk kepada lembaga lain, yang kemudian lembaga lain tersebut membentuk tim investigasi dan mempelajarinya lagi. Begitu dan begitu saja hingga kemudian hilang dan tidak tersentuh lagi.

Kejaksaan Agung segera membentuk tim khusus untuk menyelidiki dan menuntaskan hasil temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tentang kejahatan HAM seputar kudeta 1965, yang lama terbengkalai. 

”Dibentuk tim dulu, sekarang proses pembentuk tim, nanti dipelajari,“ kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, M Adi Toegarisman, di Jakarta, Senin (30/7).

Selain segera membentuk tim, Kejagung juga tengah mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan aturan HAM yang baru. Setelah memahami dari penelitian itu, baru akan menentukan sikap. "Kan ada dua materi, memenuhi syarat atau tidak berkaitan dengan hukum acaranya, kita saling meneliti, mempelajari," katanya. 

Sumber :

Penundaan demi penundaan mungkin sudah biasa dalam telinga dan berita-berita yang didengar. Hal ini menjadi pertanyaan dan memang susah dijawab karena siapa lagi yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang sudah lama pastinya akan melibatkan banyak orang dan juga kelembagaan sendiri. Hak Asasi Manusia yang harus dijamin oleh negara memang hanya seperti impian, karena sangat banyak kepentingan yang terlibat, baik secara materi maupun non-materi.

Bagaimana perjalanan temuan komnasham tentang tragedi 1965-66 yang sudah didesakkan kepada pemerintah layak diperhatikan mengingat peristiwa pembunuhan massal dan 9 kejahatan kemanusiaan berat sudah menjadi luka bangsa yang tak terperikan. Memang negeri begajul saat ini menghadapi keadaan yang rumit, namun ketika akar masalah luka bangsa tak terselesaikan bukan tidak mungkin keadaan akan menjadi tambah rumit dan semakin jauh dari penyelesaian.

Komnas HAM sudah bertindak dengan berani dengan membuka luka bangsa yang sudah sangat lama. Bukan hal yang mudah, apalagi hingga harus dihadapkan dengan lembaga-lembaga kuat yang sudah menelan nikmatnya berkuasa karena pembohongan-pembohongan politik yang turun menurun. Sejarah akan mencatat bukan hanya kekerasan pada saat peristiwa namun akibat dari luka yang ditimbulkannya. Manuver ideologi yang semakin samar terhadap rasa nasionalisme dan menghargai hak-hak warga negara menjadi titik pokok mengapa negara ini mengalami permasalahan-permasalan tak terselesaikan yang akan memicu perpecahan dan ketidakpercayaan pada kewibawaan negara.

Hingga mungkin apa yang ada dalam kepala setiap orang di negeri begajul adalah mereka tak membutuhkan negara lagi untuk menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan tidak mengetahui lagi apa itu hak, karena hak harus ditebus dengan pelaksanaan kewajiban. Rakyat tidak memiliki hak lagi atas kekayaan dan janji negara karena harus menjadi budak dan memeras keringat untuk mendapatkan kompensasi atas apa yang seharusnya menjadi milik dan diperolehnya tanpa harus diperdaya atas pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh negara. Pembelokan-pembelokan dan salah arti makna hak asasi manusia menjadi warna dalam pelaksanaan rekomendasi komnas ham tentang tragedi 1965 - 1966.

Sejumlah kasus yang ditemui Komnas HAM yakni penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa sampai perbudakan.

Dugaan pelanggaran HAM berat itu terjadi hampir di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Papua.

Selama penyelidikan, tim Komnas HAM mewawancari 349 saksi termasuk para korban dan pelaku yang masih hidup.

Para korban rata-rata merupakan orang yang diidentifikasi sebagai pengurus Partai Komunis Indonesia, simpatisan dan penduduk sipil yang sama sekali tidak terkait dengan afiliasi politik.

Komnas HAM juga menyatakan pelanggaran HAM berat dilakukan secara sistematis oleh lembaga pemegang otoritas keamanan saat itu yakni Kopkamtib.

“Salah satu unit negara yang patut dimintai pertanggung jawaban adalah Kopkamtib, terutama struktur Kopkamtib periode 65, 66, 68 terkait dengan berbagai peristiwa yang terjadi ditempat pemeriksaan dan  kemudian struktur Kopkamtib pada 70 sampai 78,” kata Ketua Tim Penyelidikan Komnas Ham, Nurcholis.

Menurut Nurcholis, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan, termasuk nama nama korban dan pelaku kepada Kejaksaan Agung untuk ditindak-lanjutkan ke proses penyidikan.

Kendati demikian Komnas mengkhawatirkan upaya hukum kasus ini berhenti di Kejaksaan seperti kasus kasus pelanggaran HAM yang pernah disampaikan.

Untuk itu Nucholis menyebut perlunya Presiden sebagai kepala negara melakukan intervensi.

“Dapat saja Presiden mengintervensi penyelesaian masalah ini mengingat sensitiftasnya di masayarakat dan kedua masih adanya korban yang menurut Komnas HAM tidak mendapat keadilan,” jelas Nurcholis.

Intervensi yang disebut Nurcholis termasuk penyelesaian di luar jalur yudisial.

Tanggapan korban

Sementara itu, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, Bedjo Untung mendesak agar Kejaksaan harus tetap melanjutkan proses hukum dari hasil penyelidikan Komnas HAM.

Bedjo yang juga menjadi korban dan pernah ditahan selama sembilan tahun tanpa pengadilan pada periode tahun 70-an menyambut baik hasil penyelidikan Komnas HAM.

Lebih lanjut menurut Bedjo, korban 65 menuntut permintaan maaf dari negara dan rehabilistasi dari Pemerintah.

“Hasil penyelidikan Komnas HAM bisa menjadi dasar permintaan maaf dan rehabiltasi,” kata Bedjo.

Seperti diketahui, sebelumnya Pemerintah tengah mempertimbangkan kebijakan menyikapi kasus pelanggaran HAM pasca peristiwa 1965.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Bara Hasibuan, sempat menyatakan Presiden sudah diberi masukan soal permintaan maaf dan rehabilitasi korban.

Sumber :

Luka terdalam bangsa ini semoga dapat terobati dengan temuan tersebut dan pelaksanaan penyelesainnya semoga memberikan arti yang bermakna bagi proses berbangsa di negeri begajul.

Atas