indonesia berdoa kebebasan berekspresi di internet

 

indonesia berdoa kebebasan berekspresi di internet

Jangan sampai kebebasan berekspresi internet menambah produksi dusta, sebagai misal, berapa banyak kasus penipuan di Facebook, berapa banyak tweet yang menyesatkan, berapa banyak posting yang mengedepankan pencitraan dan kebohongan untuk kepentingan sesuatu kelompok. Kuota dusta online dan offline jarang ada yang menghitungnya. Berapa banyak bisnis online yang tertipu dan menipu?. Penipuan via offline pun sangat banyak terjadi, apalagi sulitnya mengendus penipuan via media online. Banyaknya ancaman dalam berbagai bungkus kemasan media harus diwaspadai sebagai bentuk kehati-hatian dalam mengakses persebaran informasi yang sudah melebihi logika teori Maslow. Bagaimana hal tersebut harus dilakukan agar pertumbuhan media online selaras dengan karakter dan jiwa bangsa, bukan menjadi sarana kebebasan berekspresi sisi gelap karakter individu di internet.

Pedoman Kebebasan Berekspresi di Internet

Referensi pedoman berekspresi internet dapat dibaca dalam e-book Linimas(s)a, tidak akan direviu disini, karena percuma, buku itu sudah lengkap, atau menyaksikan sendiri film Linimas(s)a baik di Youtube ataupun mengkopi sendiri DVD Linimas(s)a dari teman atau jika ingin bersama-sama dengan komunitas atau jejaring anda untuk menyaksikannya dapat langsung menghubungi Internet Sehat melalui email ataupun mention di akun twitter , entah apa jawabannya, silahkan dicoba sendiri. Film Linimas(s)a sudah sering diputar namun apakah kampanye untuk menjadikan internet sebagai media untuk beraktualisasi diri secara positip bisa tercapai dengan roundtrip pemutaran film dan diskusi.

Branding, Narsis, sebuah awal pelibatan media sosial

Tentu saja, apa yang dilakukan Internet Sehat meski sudah membuat film dokumenter Linimas(s)a dan ebook Linimas(s)a untuk menuju kesadaran menyeluruh bagi pengguna internet di Indonesia tak mudah seperti membalikkan telapak tangan karena banyak konflik kepentingan mendengar kata 'bebas', 'berekspresi', dan 'internet', jadi mengapa sarana untuk berkatualisasi diri ini menebar benih banyak kepentingan dan berkonflik, ada sesuatu masalah dalam benak kita tentunya selain persoalan persaingan narsis, pemasaran, dan branding image, sejauh mana kita bisa menerima perbedaan dan mencermati secara positip informasi yang di sebarkan bukan untuk pengakuan, penilaian, namun sebuah informasi yang dapat membangun kita semuanya. Bukan terantuk batu pada sisi 'marketing' yang menjadi permen di internet, bahwa internet bisa menghasilkan uang, bisa menghasilkan ketenaran, bisa menghasilkan image baru, hingga bahkan mungkin 'porno' atau 'pemuasan hawa nafsu seksual' melalui mata, dimana kebutuhan biologis inipun menjadi lahan uang bagi yang bisa melakukannya dan hingga saat ini keyword yang berhubungan dengan 'porno' dan 'seksual' mungkin masih sering diketikkan oleh banyak orang, sekedar untuk mengawasi, mencari atau bahkan sebagai tujuan ketika bertemu dengan 'internet'.

Gambaran Keterlibatan Sosial Media

Sosial media melibatkan apapun untuk berkembang, ada 5 yang cukup mewakili tahapan relasi ini, menurut Ant’s Eye View (juga gambar diambil dari sana), sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang ini pada tahun 2010 tentang Social Engagement Journey.

social engagement

Dimana hal diatas menggambarkan keterlibatan media sosial dalam memberikan sumbangan kepada hubungan interaktif antar lembaga, yang terbagi dalam 5 tahap dari tradisonal hingga tahapan ke 5 yange menggambarkan kepercayaan dan pengaruh yang sangat besar dalam interaksi antara lembaga dengan kustomernya.

Fenomena Layar Monitor Gadget

Hal tersebut diatas mungkin akan menggeser fenomena booming gadget Smartphone atau semikomputer berlayar mini, menjadi gadget yang lebih besar sedikit layar monitornya karena sangat tidak enak untuk membaca, melihat gambar atau bahkan mungkin meniru salah seorang anggota DPR yang ketahuan membuka 'gambar bergerak saru' ketika sidang dengan gadget komputer tablet dengan layar yang lumayan bisa meneduhkan indera mata dan tentu saja jelas dilihat. Tak bisa dinafikan begitu saja bahwa perkembangan internet dan informasi menjadi lebih pesat karena hal-hal yang gelap dan berbau dosa, sebagai antithesa kemapanan dan norma positip yang kadang terlalu memenjarakan kreatifitas dan 'kebebasan berekspresi', ingat dalam tanda kutip dan digaris bawahi plus huruf tebal, pun dimiringkan sekalian. Dan entah jika ada tuntutan untuk lebih mudah mengetik dengan keyboard yang memadai sebagaimana permasalahan yang dialami para blogger kelas berat, karena lebih mudah dan gampang mengakses konten, daripada membuat konten.

Hukum, Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia

€œSetiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

(Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2)

Sangat jelas di sana, bahwa kebebasan berekspresi sangat dijamin di Indonesia, tanpa reserve, bahkan internet. Namun kemudian ketika didetailkan akan menjadi berbeda sebagaimana pasa 27 Ayat 3 Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik, eh kebetulan saya kutip saja sekalian tentang hal itu dari politikana, sumber asli lihat di .

  • Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari orang yang merasa tercemar nama baiknya, delik ini tidak bisa langsung beroperasi tanpa ada pengaduan terlebih dahulu
  • Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikonstruksikan sama dengan Pasal 310 dan 311 KUHP, artinya hanya pelaku utama yang bisa dikenakan Pasal 27 ayat (3) dan bukan orang yang hanya sekedar memberikan tautan ataupun menyebarluaskan informasi, dalam hal ini pelaku penyertaan tidak bisa dikenakan
  • Pasal 27 ayat (3) Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat digunakan oleh Badan hukum/Institusi yang tercemar nama baiknya, artinya hanya orang sajalah yang berhak untuk melakukan pengaduan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
  • Blog dan Bloger diakui memiliki peran yang sama dengan pers yaitu berperan sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum
  • Sepanjang konteksnya masih dalam ranah publik, tidak mengganggu privasi seseorang, maka komunitas-komunitas dunia siber akan tetap memiliki kemerdekaan untuk melakukan kontrol sosial

Sangat aneh, ketika di negeri ini banyak peraturan yang malah tidak mengindahkan konstitusi dasar. Dengan semena-mena membatasi dan merekayasa pengartian konstitusi tertinggi, dengan peraturan dibawahnya, inkosistensi perundang-undangan memang bukan hal yang mudah, namun apabila diproses dengan cerdas, jujur dan demi kebaikan tentu tidak ada kekuatan hukum yang saling berhadap-hadapan. Sebgaimana kisah Ibu Prita dan yang lainnya yang harus berhadapan di muka hukum karena kelicikan dan pemutarbalikan ayat-ayat konstitusi lanjutan, sementara konstitusi dasar akan selalu dilecehkan karena ketidakfahaman hukum warga, dan dimainkan secara licik, atau karena asal membuat peraturan tanpa melihat dan meyakini keinginan demokrasi dan nasionalisme para founding fathers negara Indonesia. Sudah jelas dikatakan disana, apapun media dan caranya, betapa dengan ini maka kasus-kasus penyelewengan peraturan negara akan tereduksi, namun siapa yang peduli?. Mungkinkah hanya dengan tagline kebebasan berekspresi internet dapat diwujudkan dan dijamin hingga mimpi yang tak kunjung nyata bahwa kebebasan berekspresi dapat diperlakukan secara sehat dan dari sudut pandang kewarasan cita-cita luhur para founding fathers negara kita. Habis gelap tak kunjung terang.

Untuk bisa melihat titik kait hukum kebebasan berekspresi di Indonesia, Internet Sehat menyediakan buku elektronik dalam format PDF yang dapat di unduh di . dan baca halaman 14.

Internet Memiliki Aturan Sendiri

Bagaimanapun kebebasan berekspresi via internet, banyak hal yang harus dilakukan dan dipatuhi. Secara alamiah manusia memiliki filternya sendiri dalam kebaikan maupun batas-batas keburukan. Siapapun yang menggunakan internet apabila ingin selalu terlibat dan dilibatkan dengan konektivitas para pengguna informasi yang dibroadcast olehnya pasti memiliki nilai, aturan dan pengukuran yang berbeda hingga tercapai apa yang diinginkan. Namun apabila hanya sekedar menyebar informasi tanpa makna, maka media sosialpun akan mengucilkannya sendiri tanpa harus di pelotototi dengan sangarnya hukum tertulis, karena apapun yang dilakukan apabila berkaitan dengan hukum kepidanaan maka tak perlu dan tak harus didobeli dengan aturan-aturan hukum yang hanya membual dan mengada-ada, aturan hukum bisa ditambahkan atau diamandemen, apapun medianya tanpa harus menciptakan aturan baru yang menambah bingung dan rasa sewenang-wenang.

Keberhasilan , seorang tukang becak dari Yogyakarta dalam Film Dokumenter Linimas(s)a produksi Internet Sehat menjadi contoh, karena memberikan layanan dan informasi yang tanpa disadarinya mencakup hal-hal yang digambarkan oleh Nancy Duarte, pendiri Duarte, yang diposting di , pun gambar juga diambil dari Briansolis.com. Siapapun yang ingin aman dan mendapatkan kepercayaan dalam media sosial atau berekspresi di internet secara bebas harus memiliki ukuran-ukuran sebagaimana tergambar :

resonansi sosial media

Tidak ada Kegagalan Berekspresi di Internet

Banyak kasus dialami teman-teman yang berusaha untuk berekspresi di internet dengan menjual barang-barang yang sulit didapatkan, namun terkendala dengan laris atau cepat habis terjualnya barang tersebut sehingga kehabisan stok. Semisal dengan menjual onderdil kendaraan bermotor. Ketika persediaan habis maka untuk menjaga kepercayaan dengan konsumen pun masih harus dilakukan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan atau topik di media sosial internet yang berkenaan dengan hal tersebut. Kaskus sebagai media sosial yang berpengalaman di negeri inipun harus menjaga keberadaanya secara online dan offline dengan mengaktifkan komunitas untuk saling menjaga, dan memberikan tindakan langsung apabila ada penipuan yang dapat menyebabkan komunitas tersebut tidak dipercaya lagi oleh masyarakat. Maupun mendengar keluh kesah hingga saran perbaikan dari para penggunanya.

Demikian meski bagaimana bebasnya berekspresi internet, secara alamiah memiliki batas dan aturan sendiri yang lebih rumit daripada harus diatur dengan perundangan negara yang blunder, pasal dengan tafsir bersayap, pembelaan tanpa logika kewarasan dan itu-itu saja, dan tidak mewakili kecanggihan tehnologi informasi yang indah. Sangat berbeda ketika dihadapkan dengan fenomena ketika masyarakat twitterland menggunakan hastag berdoa untuk Indonesia, , tak perlu aturan namun orang-orang akan menggunakan hal tersebut demi hati dan kemanusiaan.

Atas