Cakrawala dan Oase Kebebasan Berekspresi (di) Internet Indonesia

 

Cakrawala dan Oase Kebebasan Berekspresi (di) Internet Indonesia

Cakrawala Kebebasan Berekspresi (di) Internet 

Kerap sudah diskusi mengenai kebebasan berekspresi (di) internet, teringat suatu saat yang lalu, entah mungkin sudah beberapa tahun tatkala Komunitas Blogger TPC Surabaya berulang tahun, pada malam harinya terjadilah kopdar dan adu mulut sesama blogger meski dalam bingkis suasana santai. Pembicaraan memanas ketika saya mengusulkan dan menentang pendapat dari Komunitas Blogger Bengawan untuk menolak Pasal 27 Ayat 3 UU Nomer 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik - UU ITE - yang dikomandani oleh Kyai Blontankpoer, juga arus mainstream saat itu baik dari TPC, Blogger Ngalam dan sebagainya.

Kyai saat itu dengan berbisik pada awalnya dan akhirnya dengan tegas mengatakan perlunya UU ITE karena dengan adanya regulasi ini salah satu nilai positifnya adalah nota atau tanda bukti dari transaksi transfer via ATM bisa menjadi sah dan diakui di hadapan hukum. Pun pula transaksi dengan teks di SMS dapat menjadi sah dan berlaku di pengadilan. Saya setuju dalam konteks ini. Namun apa hubungannya dengan kebebasan berekspresi (di) internet?. Tahun 2009 memang belum ada Film Linimas(s)a meskipun saat itu Internet Sehat juga hadir pada acara siang harinya di gedung Telkom Surabaya.

Sementara yang di kepala para Blogger adalah ancaman seperti drama sandiwara tiga babak serentak di tiga gedung yang dialami Prita Mulyasari pada pasal 27 ayat 3 UU ITE. Mereka semua percaya dan tidak bisa berbuat apa-apa dengan pasal karet ini. Berpikir dengan organisasi macam apakah untuk berusaha mendesak pemerintah atau legislatif mau dan sadar bahwa pasal :

No

Pasal

Bunyi

Pasal

Bunyi Ancaman

1

27 (1)

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan

45 (1)

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2

27 (3)

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

3

28 (2)

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

45 (2)

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kesemuanya memiliki arah ancaman yang membelenggu kebebasan blogger dan pegiat maya siapapun dalam berekspresi di internet. Bisa dicermati seperti ini:

  • Pasal 27 ayat (1) dan (3) memiliki 3 kesamaan unsur: 

    1. setiap orang, 

    2. dengan sengaja dan tanpa hak,

    3. mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik. 

  • Unsur dalam Pasal 28 ayat (2): 

    1. setiap orang,

    2. dengan sengaja dan tanpa hak, 

    3. menyebarkan informasi

Ada hal aneh memang dalam item di atas:

"mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik"

dan

Untuk apa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik itu dibuat jika 'TIDAK BOLEH dan/atau TIDAK BISA DIAKSES'?

Cabut UU ITE

 

Pendapat saya pribadi kala itu, bahwa Undang-Undang Nomer 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah gugur demi hukum dan tidak ada salahnya untuk diusulkan dicabut diganti dengan undang-undang lain yang lebih waras, atau mengamandemen Undang-Undang lain yang berada lebih dahulu dan hampir senada tanpa harus membuat Undang-Undang yang baru seperti UU ITE ini misalnya dengan UU Perbankan, UU Perdagangan ataupun yang lainnya dengan menambahkan item jenis bukti transaksi atau metode transaksi yang diakui. Sangat naif dan memiliki semangat anti perbaikan dalam mengelurkan sebuah kebijakan ketika dalam bahasan informasi dan transaksi ada butir pasal yang membahas tentang SARA bahkan hanya distribusi Informasi, lantas mengapa tidak melibatkan Komisi Penyiaran yang urusannya adalah distribusi siaran informasi, dengan alasan:

Tidak usah terlalu jauh agar dianggap teliti dan ruwet bahwa apakah anda setuju dengan ketentuan umum yang mendefinisikan Informasi Elektronik pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 UU ITE yaitu:

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Ups betapa ruwet... hanya untuk mengatakan bahwa informasi elektronik adalah data hasil proses elektronik. Pun hal ini diulang dalam ketentuan dibawahnya:

4. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Belum lagi tentang tanda tangan elektronik harus hasil scan dokumen atau dokumen tanda tangan, apakah memiliki kekuatan sama? sebagaimana dapat ditanyakan apakah tanda tangan dalam bentuk asli yang diubah menjadi data elektronik memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sah? Sementara pada kasus Prita tidak ada tanda tangan Prita sendiri, hanya akun email yang siapapun dapat membuatnya dan bisa jadi komputer yang dipakainya menggunakan sistem operasi bajakan atau opensource yang tanpa identitas atau teregister didaftarkan pada lembaga negara. Dan bagaimana kriteria itikad baik? trust? kalo tidak beritikad baik tentu tidak dianggap dan bukan dokumen yang sah.

Saat itu penulis percaya bahwa ketika ketentuan umum atau definisi dalam suatu konteks Undang-undang bisa dikalahkan maka dengan serta merta Undang-undang tersebut tidak dapat diakui dan dijalankan pada pasal-pasal seterusnya. Maka penulis mengusulkan gerakan untuk mencabut dan menolak UU ITE, bukan menolak, memperbaiki atau mengamandemen Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena dengan begitu menganggap ketentuan umum itu benar dan mengakui UU tersebut benar adanya, hanya ada kekurangan sedikit, sementara banyak sekali kekurangan yang bisa atau malah tidak harus digali lebih jauh. Dan menjadi kekaburan ketika terkena vonis pelanggaran UU ITE bukannya melanggar KUHP atau KUHAP.

Tentu saja diskusi dan sarasehan menjadi hangat mengarah pada pembuatan aturan dan regulasi yang waras sebagaimana dengan getol di ucapkan oleh Mbah Kyai Sangkil. Dan tak lama kemudian pun muncul drama Menkominfo mengusulkan adanya RPM Konten, pemblokiran pornografi hingga drama terhadap RIM Blackberry yang ramai dan eksisnya DNS NAWALA.

Dorongan menuju Kebebasan Berekspresi (di) Internet

Hal seperti di atas harus kerap kali dilakukan dan disosialisasikan untuk menumbuhkan rasa sadar dan melek hukum serta kondisi dan situasi untuk berkebebasan berekspresi di internet maupun dalam melakukan pekerjaan yang berinteraksi dengan orang lain di masyarakat. Di samping melakukan aktifitas di internet secara sadar akan ancaman keamanan pun kampanye untuk menghindari kejahatan di internet harus ditumbuhkan karena media internet bagaimanapun adalah sebuah ruang publik yang terbatas hanya pada perangkat elektronik dan jaringan yang siapapun bisa memakainya asal ada kemampuan, kesempatan dan motivasi.

Film Linimas(s)a dan E-book Linimas(s)a dari internet sehat, memberikan contoh keberhasilan maupun motivasi positif untuk memberikan konten internet sehat dalam semangat kreativitas dan tidak harus berbau global, namun dengan menggunakan dan memaksimalkan apa yang individu atau lokalitas untuk dapat diekspose via internet menjadi kekayaan konten yang siapapun yang memerlukan akan dapat dengan mudah mendapatkan dan memanfaatkannya via lembaran-lembaran halaman teks dalam blog, artikel di website ataupun sosial media yang memfasilitasi pertemanan tanpa mengenal jarak.

Oase Kebebasan Berekspresi via Internet di Indonesia

Berkembangnya sistem sekuriti elektronik dan permission dalam media sosial seperti Google + hingga penggunaan teknologi 4G, menjadi oase harapan kebebasan berekspresi di internet. Skill dan kreativitas akan semakin diadu dengan berkembangnya televisi digital, hingga penyiaran yang akan memakai protokol internet meski harus didukung dengan infrastruktur yang sedikit-demi sedikit akan berkembang. Banyak hal akan bisa dimunculkan, digali dan dikelola untuk kemudian disebar dengan grafik, suara, teks hingga gambar bergerak, eksplorasi akan semakin meriah meski didukung dengan keterpepetan ekonomi.

Kejahatan-kejahatan atau praktek negatif kebebasan berekspresi internet memang sulit untuk langsung dihilangkan, seperti posting gambar yang kadang membuat anak kecil harus bertanya pada orangtuanya apa maksud gambar orang tanpa pakaian lengkap dan sebagainya karena hasil dari pencarian mesin pencari yang masih berkembang menuju kesempurnaannya. Dengan bergerak mengajak mendapatkan hasil dari menulis seperti melakukan reviu produk, menjual barang produk lokal, memperkenalkan wisata atau jasa, bahkan pekabaran sosial yang jujur, atau menggunakan sosial media sebagai percepatan informasi akan membangun komunitas-komunitas maya yang tercerahkan dengan kegunaan positif internet tanpa harus memusingkan pasal 27 ayat 3 ataupun UU ITE sendiri yang memang tidak patut untuk kita pasang dalam otak waras kita.

Kebebasan berekspresi di internet pastinya akan didukung oleh pemrakarsa konten maupun penyedia layanan sebagaimana dilakoni oleh perusahaan besar semacam Google, dengan Google Panda ataupun yang lainnya berusaha memberikan hasil pencarian dan perlindungan kepada pengguna internet baik untuk kepentingan anak, pendidikan maupun pengguna awam dalam menggunakan layanannya sebagai mesin pencari.

Atas