Kebebasan berekspresi Internet

 

Kebebasan berekspresi Internet

Kebebasan berekspresi di Internet

Drama kebebasan berekspresi internet di Indonesia hanya dinikmati puluhan juta diantara 200an juta warganya sebagaimana dalam film Linimas(s)a. Sisa yang lainnya masih tanda tanya jangankan menikmati koneksi layak, bahkan mungkin bertemu dengan perangkat komputer pun bagi banyak orang di pelosok desa adalah tak terbayangkan di benaknya, apalagi tentang kebebasanberekspresi di internet, sebagaimana pengalaman mengelola sebuah community technology center di Jogloabang. Namun ada sekitar 150 - 180 juta pengguna telpon selular dengan potensi penggunaan internet dan sosial media yang hanya menunggu waktu dan nasibnya.

Tehnologi Informasi, pendorong kebebasan berekspresi, memang merangsek dengan cepat menuju ke kepentingan dasar manusia, yaitu kemudahan akses informasi dan komunikasi. Siapa yang tidak ingin dapat mengakses pertemanan yang lama telah kehilangan kontak, karena jarak, kesibukan ataupun kondisi lainnya karena bencana alam bahkan konflik lokal. Selain memberikan komunikasi dua arah yang interaktif, tehnologi informasi pun memberikan sesuatu yang baru yaitu broadcasting secara mudah, sebagai contoh adalah informasi yang kita punyai dapat diberikan sekaligus diakses oleh siapapun yang menemukannya dan diteruskan kepada pihak yang membutuhkannya.

personal broadcast - kebebasan berekspresi internet

Personal Broadcast

Broadcast secara personal memberikan kemudahan dan menjadikan kaya sumber informasi yang berimplikasi pada banyak hal seperti promosi barang komoditi, peringatan dan kritik keras kepada apapun yang ada, menilai sesuatu secara opini pribadi, memberikan sumbangan saran yang positif kepada siapapun yang dikehendaki, bahkan jika bisa menjadi simpul maka akan mempererat ataupun memfilter informasi dalam ruang yang terbatas atau tertutup sehingga informasi yang muncul valid dan atau sebaliknya, tergantung untuk apa simpul informasi tersebut dikelola. Kebebasan berekspresi memiliki dua sisi keniscayaan yang penting. 

Banyak dan jenis simpul informasi adalah hampir sama yang terjadi di dunia offline, dunia online pada dasarnya hanyalah mirror dari apa yang terjadi di dunia offline, bukan sebaliknya. Ekspresi-ekspresi yang tergambarkan dalam informasi maya adalah manifest dari informasi yang diolah secara nyata dari alam pikir dan kejadian nyata. Bagaimanapun itu adalah keterbatasan manusia dalam kemanusiaannya, semuanya terpola, maka tidak ada yang harus ditakuti sebenarnya dalam menuju kebebasan berekspresi di internet

Hanya berbeda secara spesifik dan tidak tergantikan karena apa yang tertayang di dunia online adalah informasi yang berbentuk file, bisa dikopi, disimpan, bahkan disebarluaskan dan diakses tidak terkendali dengan sangat cepat, sebab terekam dalam memori dan benda diluar diri manusia. Bagai anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, namun identitas dan siapa yang melepaskannya masih tercatat dalam rekaman kejadian pun dalam bentuk file yang dapat ditelusuri, karena bagaimanapun semuanya terhubung dalam sebuah jaringan yang bernama internet.

Jaminan kebebasan berekspresi di internet dan hukum di Indonesia

Secara normatif dalam konstitusi negara, kebebasan berekspresi dilindungi dan dijamin. Namun sebagai negara penyandang gelar ‘negara korup’ maka tidak heran apabila kebebasan tersebut akan berarti lain dan dikorupsi menjadi pengebirian atau secara sistematis sarana dan prasarana media ekspresi di modifikasi sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan sementara warga masyarakat yang sudah melek informasi online semakin terengah-engah untuk mengejar ketinggalannya meski berbiaya mahal.

Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya jika digali adalah rumusan kebebasan berekspresi dengan batasan yang jelas, selain geografis pun ketika saling terjadi dialog maka saling memahami akan terbangun. Jelas beda ketika dihadapkan dengan internet, dimana ketika mengaksesnya individu berada dalam ruang pribadi yang hening, tanpa target dan batasan, hanya ruang pribadi, terkecuali ketika menggunakan akun official atau korporasi. Apa yang ada ketika itu dan diluncurkan menjadi broadcast kadang terlupa bahwa kotak kaca yang di depannya adalah dunia, batasan imaji di otaknya bisa dituangkan ke dunia, namun siapa yang mengaksesnya. Siapapun bisa dan informasi yang diluncurkanya bisa menjadi bola api liar yang dapat menjilat bakar kemanapun, seperti ketika Kresna melemparkan senjata cakra-nya yang ke delapan penjuru terhunus lancip mata tombak, berputar melaju jika tanpa didukung dengan politik redaksional yang jelas maka siapapun akan bisa terluka dan kembali menjadi bumerang yang tak kalah hebatnya ketika memanen luka hati dan prasangka. Apakah hal ini bisa terpikir oleh orang yang dengan sengaja membentuk page Facebook 5 juta pendukung Gusdur sebagai pahlawan nasional misalnya, pakah bisa dipertanggungjawabkan sebagaimana petisi yang di negeri ini tak pernah dihargai, apalagi ini hanya di layar kaca dan teks yang tidak tahu siapa pembuatnya. Membaca buku elektronik dari  sebenarnya bisa bingung juga ketika:

Bandingkanlah:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
(Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2)

dan:

  1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya
  2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia

Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

kemudian,

Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) Pasal 19 ayat 2

dengan:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. 
Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

selanjutnya,

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

(Pasal 28J, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2)

kemudian dengan saran yang sebaiknya pada e-book Linimas(s)a halaman 15, berjudul Merawat Kebebasan Internet di Indonesiatulisan Anggara Suwahyu, bab Melewati Jejaring Hukum diInternet:

Namun ada 3 prinsip dasar dari seorang Pengguna Internet aktif yang harus dipahami yaitu:
Pertama, Pengguna Internet harus jujur dan adil dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, 
Kedua, Pengguna Internet memperlakukan sumber informasi sebagai manusia yang harus mendapatkan penghormatan, dan
Ketiga, Pengguna Internet harus dapat terbuka dan bertanggungjawab

dan,

Selain ketiga aspek penting ini yang menjadi syarat wajib jika anda hendak bersiasat untuk melewati jejaring hukum, yaitu anda juga wajib memperhatikan norma – norma sosial yang berkembang di sekitar anda. Selain memperhatikan hal – hal tersebut, sebaiknya anda juga memperhatikan kepentingan kelompok minoritas atau kelompok rentan dalam setiap tulisan anda. Kelompok minoritas dan kelompok rentan yang harus diperhatikan adalah anak – anak, perempuan korban kekerasan seksual, anak – anak dan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat adat, kelompok difabel, dan buruh migran. Kelompok – kelompok inilah yang sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dan rentan mendapatkan kekerasan berikutnya dari tulisan – tulisan yang kita unggah di internet

Betapa ruwet dan sulitnya jika serius menelaah cara ber-, bermartabat sekaligus memelihara kebebasan berekspresi di internet jika dituliskan, mengapa menjadi sangat sulit, entahlah apakah karena banyaknya jaring jebakan hukum ataukah cara berpikir sehat kita dalam menciptakan aturan yang seperti pingpong dan penuh lubang penjerumusan, atau memang begitukah para cendekia mencari pendapatan dengan memproduksi aturan hukum yang sulit diikuti dengan akal sehat karena terlanjur busuk dan tiadanya militansi untuk menjadikan karakter kebangsaan yang bermartabat, sebagaimana ditunjukkan para politisi yang setelah pusing membuat aturan bagi rakyat kemudian malamnya ke kafe atau diskotik hura-hura lupa dengan apa yang sebenarnya terjadi dan beban berat yang diusungnya dengan penuh kemunafikan.

Kebebasan berekspresi di Indonesia, bukan hanya di Internet ataupun di media massa belum terjamin sepenuhnya, atau bisa dikatakan tidak ada jaminan sama sekali. Ada perbedaan yang sangat mencolok dalam sudut pandang dan nilai yang dianut. Konstitusi UUD 1945 menjamin dan tunduk pada peraturan dan perspektif Hak Asasi Manusia, namun peraturan turunan hingga pelaksanaannya sangat jauh berbeda. Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang warisan kolonial Belanda, di mana warga negara Indonesia masih dianggap sebagai kambing congek atau bangsa inlander yang tidak boleh mengenyam konstitusi bahkan dianggap buta huruf tidak bisa menghapal atau meresapi nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945, dengan tolok ukur cara penjatuhan hukum pidana yang bersemangat namun tidak mengindahkan aspek kebebasan berekspresi.

Ada apa sebenarnya, kasus para penegak hukum, aparatusnya dan juga tingkah polah warga negara yang sama sekali cuek dan tidak peduli dengan hukum yang ada. Konflik seperti ini kerapkali dibumbui dengan emosi dan persinggungan kepentingan antar pribadi, aparatus sebagai pribadi yang memiliki otoritas dengan masyarakat sipil yang juga tidak menghargai nilai-nilai yang seharusnya. Kedewasaan bernegara masih sangat jauh dari standar yang diharapkan ditambah dengan watak dan sikap korup yang serasa sudah tak bisa ditolong lagi menjadikan hal-hal yang seharusnya penting sebagai perspektif serta substansi hukum menjadi gombal tak bermakna. Bayangkan kebodohan dan kedunguan para politisi yang menandatangani, menyetujui pasal 28J UUD 1945 Amandemen ke 2, sehingga, mengapa nilai-nilai agama bisa menjadi sesuatu yang bisa membatasi kebebasan dalam ranah kenegaraan di mana aspek-aspek universal yang berada di atas semua agama, akibat dari itu adalah tidak adanya platform yang sama dan mudah diterima nalar waras karena bisa menggunakan agama masing-masing yang berbeda, pun lebih cilaka jika yang dipakai adalah nilai agama kelas kambing yang mengandalkan otot, emosi dan menang sendiri karena bisa mengatasnamakan Tuhan yang seharusnya melingkupi kebenaran bagi semua dan melindungi yang tidak berdaya. Mungkin karena hal ini kebebasan di internet bisa menjadi hal yang menakutkan, karena ditafsirkan bermacam-macam atas nama ancaman akan kepentingan.

Bagi yang kurang memahami hal ini memang harus berhati-hati atau hidup lurus-lurus saja, tanpa mengetahui mengapa dan akhirnya menutup diri untuk tidak berekspresi atau pathethic. Tentu hal ini akan sangat merugikan dan membuat rasa nasionalisme yang penuh tanya, bagaimana negara akan berdaulat ketika masyarakat takut untuk berekspresi karena jeratan dan batasan yang sama sekali tidak jelas dan siapapun bisa membuat batasan dengan pasal tindakan tidak menyenangkan, ataukah menjadi pelawak sebagaimana para politisi busuk itu adalah cara aman untuk berekspresikarena hanya dianggap lawak dan dagelan semata. Pertanyaan tidak penting, dapatkah kebebasan berekspresi (di) internet membangun militansi kebangsaan atau justru sebaliknya?

Media Sosial ajang Katarsis dan Kebebasan berekspresi di Internet

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Multiply dan sebagainya cukup menjembatani dan memberikan ruang pelepasan ekspresi masyarakat melalui internet. Meski ketika mengingat kasus Ibu Prita Mulyasari yang juga ditayangkan dalam film Linimas(s)a, kehati-hatian dalam menuliskan pengalaman harus cukup diperhatikan. Pengalaman yang notabene adalah milik pribadi meski melibatkan orang lain bisa menjadi bumerang ketika dituliskan bahkan dalam ranah privat ketika ada pembocor atau seseorang yang membocorkannya. Dan sekali lagi, negara tidak menunjukkan kebesarannya atas pasal ‘pencemaran nama baik’ dan ‘perbuatan tidak menyenangkan’, yang selalu saja direproduksi dan berada dalam jajaran pasal-pasal yang ada dalam kebijakan negara dan diumumkan dalam lembaran berita negara.

Microblogging seperti Twitter digunakan oleh 6.2 juta orang di Indonesia, Facebook yang dulunya juga di kategorikan microblogging dikerubuti sekitar 35 juta orang. Ada 45 Juta penggunainternet kira-kira dan 150 juta pengguna handphone di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa ramainya arus informasi, tanpa dukungan infrastruktur yang jelas masih akan banyak orang yang harus kekepet berkendaraan mencari sinyal untuk berkomunikasi. Namun jumlah 2.7 Blogger tentunya sangat kecil dibandingkan dengan ketersediaan jumlah manusia yang bisa memasok tulisan. Bahkan suatu kasus Pesta blogger yang katanya adalah even raksasa hanya bisa mendatangkan 1500 blogger ketika dalam perhelatannya dan cilakanya mereka cukup merasa bangga dengan hal itu. Bandingkan jumlah antara 1500 dengan 2.7 juta orang, jauh sekali dong.

Dalam kasus Prita Mulyasari, beliau sendiri mengatakan bahwa dia buta hukum, dan hal ini dimulai dari obrolan di Langsat tentang UU ITE. Baru kemudian kata Enda Nasution, mereka memfokuskan untuk membebaskan Prita dari tahanan. Pada momen inilah blogger terasa terlihat senasib atas ancaman batas berekspresi internet di Indonesia. Hingga kemudian ada solidaritas via media online baik twitter maupun facebook dan sebagainya tanpa rekayasa merasa empati dengan perseteruan antara Prita dengan RS OMNI Internasional, dengan koin sumbangan dan terbukti para pejabat pun ikut menggunakan saat-saat itu untuk muncul di permukaan. Namun menurut saya kasus Pritta ini adalah hasil pendidikan dari sinetron dimana ketika itu Prita ketika di shoot dan ditampilkan dalam televisi kelihatan sengsara dan menangis selalu, menimbulkan iba, sebagaimana ketika calon Presiden SBY dahulu tercitrakan dianiaya oleh Megawati, sehingga mendapatkan dukungan dari banyak orang dan penonton sinetron. Hal ini dengan cerdas dinyatakan oleh Prof. Yanuar Nugroho ketika kasus Prita dibandingkan dengan lumpur Lapindo, meski banyak blogger yang menuliskan tentang kecelakaan Lapindo namun secara nyata tidak ada dukungan semasif Prita, atau bahkan Jalin Merapi ketika ada bencana erupsi Merapi pada 2010.

Blogging, Jurnalis Sosial

Blogging cukup ramai di negeri ini dengan pertumbuhannya yang mencengangkan bagi sebuah negara dengan layanan internet yang luar biasa buruknya. ada 2.7 juta blogger di Indonesia menurut film Linimas(s)a, Kebutuhan untuk mengekspresikan opini, bersuara bahkan ekspresi untuk mengkopi paste tulisan orang lain hingga mencari uang di internet, baik secara langsung maupun sebagai media untuk mendapatkan uang. Tulisan-tulisan dengan bobot tinggi kadang di bagikan secara gratis melalui media ini. Namun para pejuang jurnalisme blogging ini kadang tak diperhatikan dan dilindungi selain hanya dimanfaatkan untuk kepentingan korporasi swasta, namun secara resmi negara sama sekali tidak menyentuh ruang ini bahkan web-web yang dikelola pemerintah banyak yang tidak terpelihara dengan baik konten isinya. 

Para blogger seharusnya mendapatkan pembekalan atau minimalnya memahami jerat-jerat pembatas kebebasan berekspresinya di ruang internet, dan jika mungkin bisa menuliskan pembelaan dan advokasi bersama dengan kaidah-kaidah populer yang cukup meskipun tidak harus mendekati gaya penulisan 5W + 1H, untuk dirinya sendiri kemudian untuk lingkungannya sebagai bentuk kehati-hatian, bukan malah terkotak-kotak, saling serang sendiri, karena sebagai penulis memiliki tanggungjawab atas apa yang ditulisnya.

Weblog adalah media paling luas dan tak terbatas untuk menuliskan opini, pekabaran jurnalisme warga, belajar bersama serta pengayaan konten lokal dengan gaya dan jungkir balik penulisan yang tak dapat dengan mudah disalahkan. Plus nilai tambah kebebasan berkomentar namun harus dengan kebesaran jiwa sebagai landasannya. Komentar adalah hak pembaca untuk menuliskan komentar, namun tak jarang banyak komentar yang menyerang. Namun itulah tanggapan, terserah berkomentar apa isinya, setuju atau tidak setuju, itu adalah bagian kebebasan berekspresi diinternet yang diwadahi dalam kolom komentar.

Jurnalisme sosial warga, citizen jurnalism, merupakan roh atas apa yang tidak kita sadari sebagai motivator untuk menulis. Untuk apa menuntut dan mendesakkan kebebasan berinformasi? Ekspresi tentu melibatkan emosi dan perasaan, tanpa cinta atau suka terhadap apa yang ditulis di blog pastilah hanya sekedar update status, apa yang kita lihat, rasakan, pikir, dan dengar, sebatas reaksi dan hanya pada detik itu juga, sangat cocok untuk twitter agar tidak lupa, sebagai log jurnal perjalanan misalnya. Namun dengan blog ada kuasa untuk mencurahkan sesuatu, dengan banyak kata dan sudut pandang. Untuk apa ditulis menjadi sebuah informasi terbuka ketika kita tidak bersosial atau bermasyarakat?. Untuk apa dituliskan di halaman-halaman obline blog kita ketika orang lain tak boleh mengakses, membaca atau menggunakannya?.

Informasi aktual tentang sekitar kita, kejadian peristiwa yang dialami, ataupun pengamatan atas sesuatu, adalah bagian dari kebebasan berekspresi di internet, hak dasar manusia, yang wajib bagi siapapun untuk menghormatinya. Meski itu sangat pahit dan pedas di baca, pahit dan pedas itu hanya dalam persepsi kita, ketika menginterpretasi rangkaian huruf dan teks yang kemudian dicerna sebagai stimulus di otak. Namun bagaimana ketika menghasilkan emosi dan kemarahan pembaca, diluar assertivitas, gaya penulisan dan penyampaian yang positif menjadi hal yang perlu digarisbawahi serta dikabarkan. 

Menjadi pertanyaan lagi adalah bagaimana menggambarkan kemarahan kita dalam sebuah tulisan yang positif, pesan kemarahan tersebut bisa tersampaikan dengan harapan untuk bisa diperbaiki agar tidak menimbulkan kemarahan selanjutnya atau bahkan kemarahan pihak lain yang tidak terduga. Kedewasaan berpikir menuangkan dalam tulisan adalah strategi mencapai tujuan apa yang dituliskan, terpaksa mau tidak mau untuk menuliskan baik di blog pribadi, email list, ataupun sosial media harus berpikir lebih panjang atau dua tiga langkah tentang kemungkinan reaksi pembaca. Pembaca adalah pengamat, penyimak namun apakah kita tahu dia lawan atau kawan, se-ide atau tidak, mau mendukung atau malah mencuri, berekspresi di internet memang bebas karena tidak bertemu langsung, dan seakan yang kita baca adalah produk dari sebuah mesin yang berbentuk teks, namun sekali lagi siapa yang menorehkan coretan-coretan yang menghubungkan dot demi dot menjadi sebuah karya yang berjiwa, yang mampu memukul bahkan membuat pipi kita merah?.

Alangkah naif ketika kebebasan mengemukakan pendapat di internet dilakukan tanpa pesan, atau hanya sekedar bebas tanpa ada tujuannya. Sangat remeh, dan mungkin internet tidak akan dianggap sebagai media dipercaya. Kasus pencemaran nama baik di internet satu sisi adalah kepercayaan publik akan internet itu ada, namun kepercayaan akan mencitrakan sesuatu, dimana sesuatu ini bisa beresonasi menjadi sebuah kecelakaan atas reaksi atau menjadi resonansi yang merdu, enak didengar dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Layanan Online

Cukup baik ketika ada model penawaran kerja untuk pemerintah melalui website, cukup menjadikan murah prosesnya. Ada sebuah kabupaten yang ambisius hingga membuka layanan online untuk pembuatan e-KTP. Namun tidak merata di seluruh negara karena memang kurang dukungan. Sementara mungkin dengan diaktifkannya layanan-layanan online akan dapat mengirit banyak energi seperti kemacetan di jalan ataupun kecelakaan yang tidak kita inginkan bersama ketika di jalan untuk mengurus sesuatu.

Aksi jemput bola, membuat direktori ataupun menghargai kebebasan berekspresi via internet di Indonesia memang masih sangat jauh dari harapan apabila dilihat dengan mengkritisi struktural pemerintah yang kadang hanya beraksi sebagai user bukan sebagai fasilitator yang seharusnya. Seperti di Yogyakarta, dengan banyaknya masyarakat pengguna layanan online bahkan juga konten provider secara pribadi. Dinas Pariwisata sama sekali tidak tergerak untuk mengambil posisi sebagai mediator apalagi fasilitator. 

Selain buramnya roadmap tentang pariwisata pun kreatifitas untuk merangkul para pekerja maya untuk sekedar membuatkan sebuah layanan online agar masyarakat dari luar negeri ataupun luar Yogyakarta untuk mudah melihat trailer, check in hotel, cek harga komoditas tidak ada sama sekali. Hal yang positif tidak dilakukan untuk membuatkan sebuah etalase tentang budaya, wisata, ataupun kekayaan warga agar mudah diakses dan ditunjukkan didepan dalam sebuah portal informasi dengan menautkan atau feed dari blog milik komunitas dan pengusaha. Untuk memudahkan orang memasuki kota yang katanya adalah tujuan pariwisata kedua setelah Bali di Indonesia.

Tamparan Publik

Pemerintah kota dalam hal ini seharusnya merasa ditampar bahkan dijungkirbalikkan dengan adanya komunitas-komunitas antar pribadi yang kreatif menyuarakan Yogyakarta, atau akan lebih jauh harganya ketika dihadapkan dengan seorang Harry Van Yogya yang menawarkan jasa transportasi dengan becak maupun guide melalui Facebook.com, dimana dia bisa menembus batas wilayah dan jarak yang seharusnya difasilitasi oleh pemerintah demi kemudahan dan peningkatan penghasilan warganya, selain hanya menuntut untuk membayar pajak tentunya. 

Dalam hal ini mungkin kebebasan berekspresi melalui internet masih dirasakan indah, karena negara belum ikut campur atau dengan kata lain para birokratnya masih gaptek, eeee tapi ada juga seorang anggota DPR dari PKS yang bernama siapa saya lupa, kedapatan menonton film porno ketika rapat paripurna untuk memutuskan pembangunan gedung baru DPR.

Dukungan untuk Bibit Chandra melalui Facebook yang diinisiasi oleh seorang dosen dari Bengkulu. Bahkan twit-twit tentang atau macetnya jalanan di Ibukota karena seringnya pak presiden berlalulalang menghaluskan ban mobil RI 1, yang menyebabkan marah atau tidak sukanya publik atas kelakuan itupun menjadi tamparan yang sepertinya terdengar sampai ke Istana, namun celakanya jika nantinya akan muncul coping behaviour dari pejabat atau semakin tebal mukanya para pejabat publik atas suara dan desakan online yang menjadikannya immune dan mentulikan telinganya sendiri.

Premium Konten

Berlainan dengan video ‘Keong Racun” ataupun Briptu Norman yang kemudian laris manis karena Youtube.com. Youtube sebagai media ekspresi yang benar-benar bagus karena bisa menampilkan gambar bergerak dan suara, pun pertemanan atas para penggunanya di Internet. Namun apa lacur, berapa kerugian waktu yang diderita pengaksesnya dari Indonesia karena layanan koneksi yang mahal dan bahkan masuk kategori premium konten ketika menggunakan BIS. Sementara ketika layanan BIS dari provider lokal diblok, BIS bisa diakses dengan menggunakan koneksi nirkabel gratis. Betapa seharusnya konten berbayar itu tidak terlalu mahal ketika tidak berhadapan dengan kebijakan negara dan nafsu mengeruk keuntungan para provider lokal.

Streaming komunikasi antar pos pengamatan Merapi melalui gelombang 2 meteran yang dilakukan Jalin Merapi dan di broadcast melalui internet serta dapat di akses secara live streaming melaluiinternet. Namun hal ini bisa menjadi sangat mahal ketika streaming oleh para provider selular dianggap sebagai premium konten. Seharusnya untuk mengatasi pornografi atau filter bagi individu yang belum berhak mengakses konten dewasa, namun karena kurang tanggap dan tiadanya mekanisme yang jelas justru premium konten menjadi jebakan bagi para pengguna akses internet yang memberikan keuntungan bagi penyedia jasa selular dan atau internet.

anggota dpr ketahuan buka porno

Konten Filtering

Ini masalah yang selalu ramai, tentang konten filtering dalam media ekspresi di internet. Sehingga ada sebuah lembaga non-profit yang berusaha keras menyediakan filtering konten dengan DNS Nawala yang bisa digunakan oleh siapapun bahkan oleh Kominfo di kebijakannya setiap komputer publik sebaiknya memakai DNS Nawala ini dengan mengeset IP pada DNS menuju ke DNS Nawala yaitu 180.131.144.144 dan 180.131.145.145.

Menafikan hal diatas, pendidikan nasional yang memiliki karakter membangun dan menguatkan kepribadian bangsa memang harus di kedepankan. Sebagai tameng terakhir konten-konten porno maupun menyesatkan adalah otak dan ego kita sendiri. Dengan asupan pendidikan, materi, dan proses yang berkarakter tentunya konten filtering adalah hal usang karena kesadaran sudah muncul dari warga masyarakat sendiri, dan tak bisa berbuat banyak karena konten negatif akan selalu dihindari untuk diakses.

konten filtering nawala

Secara nyata memang harus dilakukan dengan penuh kesadaran, bagaimana mungkin para pengajar dan tentor di Jogloabang bisa menerangkan dengan jelas ketika pada awalnya mengajar anak-anak SD berkomputer dan berinternet, ketika memasuki tahapan search engine saat itu. Diajarkan bahwa dengan search engine lebih memudahkan untuk mencari tulisan maupun gambar terkait kata kunci, bayangkan ketika mengetikkan kata kunci 'mawar' untuk mencari bunga mawar sebagai contoh, hasilnya bukan hanya bunga mawar yang muncul, namun orang bernama atau dialiaskan sebagai mawar dengan pose dan wajah yang beraneka ragam.  yang kebablasan adalah bumerang bagi laju tehnologi informasi bagi yang sehat, dengan tanpa sadar menjerumuskan adik-adik kecil kita untuk dapat melihat apa yang tidak pantas bagi mereka. Entah dengan alasan apapun hal ini tak bisa ditolerir.

Jika memang yang di filter adalah konten pornografi, hal itu baik adanya, namun ketika memfilter konten-konten kritik kepada para birokrat atau keburukan dalam menjalani sistem negara, bukankah hal ini memiliki dasar yang kuat dari konstitusi, ditambah tidak adanya akses otoritas negara kepada penyedia mesin pencari, tiada kata lain selain pendidikan formal dan kampanye konten sehat untuk meminimalisirnya, tanpa harus bersinggungan dengan kepentingan pribadi dan segala yang bermanfaat meski harus jelas batasan umur dan perkembangan mental usia anak, dimana mungkin hanya bisa diatasi dengan membuat sistem operasi personal komputer satu per individu, yang disesuaikan dengan perkembangan umur dan kedewasaannya. Adalah hal niscaya untuk dilakukan ketika negara tidak harus berhadapan dengan ideologi perampokan harta kekayaan negara ataupun pelanggengan kekuasaan yang tanpa rasa malu meski dengan 'UANG PALSU'.

Konten yang mendidik

Kebebasan berkreasi dan berekspresi di internet memang salah satunya dipagari oleh kebebasan orang lain agar tidak bertabrakan. Namun konten tentang pendidikan baik dari pelaku pendidikan maupun pekerjanya sangat kurang sekali. Terasa betul bahwa sosialisasi melaui media online kurang menyentuh hingga ke para pelaku pendidikan. Entah karena para pendidik yang malas untuk mengakses informasi dan tehnologi, tidak paham, gaptek atau karena harus mengorbankan sesuatu misalnya uang atau tenaga dan pikiran untuk membaca secara online karena memang tidak ada yang membayarnya.

Konten yang mendidik, dilakukan oleh portal internetsehat.org, dan para pejuang internet yang peduli lainnya. Disosialisasikan baik dengan cara online maupun offline, berbagi bahkan dengan workshop tentang jurnalisme, talkshow via radio, sering dilakukan, namun apakah itu bisa menjangkau semuanya dengan tepat ketika di sekolah formal hal ini tidak dilakukan dengan jelas, spesifik dan bisa dimaknai sebagai pelajaran yang berguna oleh para peserta didik.

Dalam Buku  dari  halaman 93, tulisan Rapin Mudiardjo, yang berjudul "Saluran Sudah Dibuka, Kenapa harus Takut..." bisa menjadi bekal bagi para penulis blogger kalau tidak bisa dikatakan sebagai jurnalis warga adalah:

  1. pemahaman masalah/topik yang sedang dibicarakan
  2. memiliki saringan/filter informasi pribadi
  3. pemahaman dan pengakuan mengenai hak dan kewajiban orang lain
  4. mengetahui koridor (aturan) yang berlaku umum
  5. perhargaan akan hak kekayaan intelektual orang lain

Meskipun hal ini bisa selesai jika pengajaran pendidikan di Sekolah bisa berjalan sesuai mekanisme dan petunjuk dari Dinas Pendidikan terkait, namun mengapa bisa juga terjadi, sling contek dan plagiat, bukankah jerih pikir otak sendiri adalah sesuatu terindah yang kita miliki untuk di broadcast kepada dunia. Bagaimanapun  atau di manapun adalah cerminan pendidikan nasional kita yang amburadul dan carut marut. Siapa bertanggung jawab jelas adalah negara sebagai aktor utama dan dalam pemahaman saya bagaimanapun diluar itu adalah korban atas ketidakbecusan kepengurusan negara siapapun yang berada disitu dan terlibat, meski dalam tanda kutip keterlibatan kekuatan civil society berusaha untuk mengingatkan namun ketika semua tetap saja buruk, siapa lagi yang akan memberikan tauladan kebaikan dan pengupayaannya kecuali orang-orang yang disadarkan dengan pengalamannya sendiri untuk memperbaiki dan berbagi untuk berjejaring mencipta arah yang lebih baik, dalam koridor tepat dan jika diperlukan dan tak terlalu jauh adalah secara 'konstitusional'.

Ekspresi dan Inklusi di Media Internet

Dunia online tidak mengenal jarak, suku, agama, ras dan golongan tertentu hingga pencacatan terhadap seseorang. Semua dilakukan hanya dan hanya oleh para pengaksesnya dan penyedia akses. Karena masih berbasis biaya dan kapital maka siapa yang punya uang atau akses dialah yang dapat mengakses dan menggunakan internet. Bagaimana dengan ? Tuna daksa, tuna netra, tuna rungu bahkan yang bisu tuli. 

Banyak software yang bisa digunakan untuk screen reading seperti JAWS - Job Access with Speech -, maupun text to speech, keyboard, monitor, hingga printer braille, namun semuanya mahal, belum kalau mau belajar tentang informasi dan tehnologi. Kalangan difabel akan merasa sangat kesulitan, ketika masuk warnet-pun, dimana ada warnet yang aksesibel dengan kursi dan meja yang lega?, atau menyediakan layanan JAWS secara gratis?. Bagaimana nasib yang berkursi roda, tentulah kita bisa menebak, selain mereka harus membeli sendiri, selainnya itu di tempat publik, tak ada sama sekali tempat bahkan layanan khusus untuk mereka.

Pada tahun 2000 pengalaman penulis mengajar difabel di Dria Manunggal satu dekade lampau, sebagaimana yang dilakukan oleh Blontankpoer, dan Komunitas Bengawan, di RBI - Rumah Blogger Indonesia, yang berkantor bersama Yayasan Talenta Solo saat ini, ditayangkan dalam Film Dokumenter Linimas(s)a, meski jelas dalam film Linimas(s)a kalah mewah jauh dengan yang dilakukan dahulu. Dimana semua software yang digunakan adalah software berlisensi asli, hingga program JAWS-nya bahkan mesin printer braille yang super mahal harganya dibandingkan dengan harga kursi roda.  Sungguh membuat hati bangga dan bisa mengetahui betapa mereka memiliki kemampuan yang berbeda, seperti para tuna netra yang memerlukan monitor, dan kecepatan mengetiknya yang luar biasa, namun kadang masih belum mengenal spasi, jadi tinggal membenarkan dan mengajari tata letak, selain harus menghafalkan perintah-perintah sistem operasi dengan keyboard. Layanan khusus memang diperlukan selain tidak harus mahal, ketersediaan menjadi sangat penting. 

linimasa kebebasan berekspresi internet

Linimas(s)a Film Dokumenter dan e-book Linimas(s)a Panduan Kebebasan berekspresi di Internet

Dan bersyukur sebagaimana dalam film Linimas(s)a komunitas Blogger Bengawan di Solo juga melakukan hal tersebut dan bersedia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam satu tempat bernama Rumah Blogger Indonesia. Namun sayang lokasi tempatnya kurang aksesibel dicapai dengan transportasi umum, namun bagaimana lagi ketika perjuangan harus berhadapan dengan biaya, kreatifitaslah yang harus kita peras untuk mengekspresikan kepedulian dan kejernihan berpikir kita secara positif.

Film ini menceritakan banyak hal, seperti keberhasilan seorang tukang becak di Yogyakarta menggunakan sosial media, Prita Mulyasari, Enda Nasution dan langsat tentang UU ITE, perjalanan Jalin Merapi sebagai jembatan informasi masyarakat dan relawan untuk peristiwa erupsi merapi 2010, maupun rangkuman dan pemikiran kritis dari para pemerhati sosial media dan penggunaannya di Indonesia. Film ini adalah dokumenter pertama tentang sosial media di Indonesia yang diputar berkeliling dan jika mau mengadakan diskusi atau nonton bareng dapat menghubungi langsung keInternet sehat atau tonton di .

Dokumenter ini memberikan banyak pesan akan apa yang sebaiknya dan harus dilakukan menuju kebebasan berekspresi di internet, apapun yang dilakukan sebenarnya akan ada manfaatnya, jika dilakukan secara positif, meski hukum dan jeratannya selalu mengintai. Bagaimana ketika harus menulis, efek apa kira-kira yang dapat kita jangkau ketika menggunakan sosial media. Juga dalam buku elektronik Linimas(s)a, tersedia informasi tentang jurnalisme warga, bercerita dengan foto, bahkan pesan agar jangan menjadi pengawet dikotomi Pusat dan Daerah, untuk lebih baiknya memang silahkan dibaca, dilihat, dan diinterpretasikan sendiri agar bisa didiskusikan dan menghasilkan sesuatu yang bisa disumbangkan bagi sekitar kita.

Hak atas Kekayaan Intelektual

HAKI, Hak atas kekayaan intelektual, mulai dijamin dan diakui keberadaannya. Pada awalnya ini adalah hak patent, dan harus didaftarkan, demikian pula dengan HAKI, mulai banyak bertebaran perusahaan yang memberikan jasa bantuan untuk mendaftarkan hingga mendapatkan nomor registrasi atas kekayaan intelektual anda. Hal ini kembali kepada individu yang menemukan ide baru, apakah akan disharing secara bebas, melalui creativecommons.org ataupun dengan lisensi GNU GPL - General Public License, sehingga setiap orang dapat menggunakan, mendistribusikan dan atau mengubahnya. HAKI, bisa ditandai dengan apakah ada copyrights atau tidaknya, untuk memastikan hal itu terdaftar secara resmi ataupun tidak. Semakin lama hal ini semakin umum, dan bagi para blogger atau pegiat internet, hal ini tidak akan membatasi kebebasan berekspresi di internet karena penghargaan atas hak kekayaan intelektual tersebut bisa disebutkan dengan memberikan darimana sumber dan jika lebih afdol lagi dengan link yang mengarah ke sumbernya tersebut.

Mengapa hal ini penting, bukan karena untuk kepemilikan ide semata, namun sebagai penjaga misi dan visi tertentu dalam hal ide seperti yang dilakukan Internet Sehat, banyak makna di dalamnya namun karena didirikan sebagai sebuah lembaga dan memiliki nilai dan tujuan tertentu menjaga agar mimpi dan idea tentang internet sehat bisa terjaga secara kelembagaan dan dengan ciri serta keunikan yang tidak bisa disamakan dengan istilah internet sehat yang lainnya, meski dengan lisensi  v3, bukan dalam bentuk patent atau tak dapat dipakai orang lain, sebagaimana yang dilakukan Pesta Blogger, dimana tidak ada siapapun yang boleh memakainya kecuali perusahaan yang mendaftarkannya, untuk dimilikinya sendiri, meskipun blogger sendiri adalah bukan perusahaan namun layanan milik  yang bahkan setiap orang dapat menggunakannya dan memasang dalam kartu nama tentang alamat blog-nya. Sebagaimana ,, yang sangat berbeda dengan  di dukung komunitas enthusiastnya dengan .

Bagaimana, tentunya hal-hal tersebut harus dihormati karena kemauan pembuatnya. Norma dan nilai positif tentu masih terbawa dalam dunia internet, meski mungkin tidak ada agama di internet, bukan berarti kebebasan berekspresi internet adalah untuk saling mencederai, terutama mencederai kebebasan, ekspresi dan internet itu sendiri. Bagaimana pinter-pinternya anda melindungi diri menjadi kunci agar tidak disalahgunakan oleh pendekar berwatak jahat LOL .

Resonansi sebuah kata kunci perubahan

Menarik bahwa bangsa yang pandai ini kata Onno W Purbo, adalah bangsa yang bisa dicontoh oleh negara lain dalam hal sosial media, namun jika pemerintahnya bodoh tidak akan bisa menandai dan merespon resonansi suara hati kalangan menengah yang aktif di sosial media ketika melihat kenyataan di lapis masyarakat lain baik di desa, kemiskinan kota, buruh migran dan sebagainya demikian Prof. Yanuar Nugroho, menggaris bawahi bahwa media sosial yang positif bisa menjadi kekuatan masyarakat sipil terpercaya untuk mengubah negara menjadi lebih baik melalui resonansi berima atas dawai-dawai suara kejujuran. 

kebebasan berekspresi di sosial media

gambar dari saucysocialmedia.com

Sehingga bisa disimpulkan bahwa kekuatan sosial media dalam menyuarakan dan meresonansi kejadian yang ada di berbagai lapisan masyarakat, sangat penting maknanya. Dengan demikian fungsiRetweetShare, bisa mengalahkan tombol 'suka' karena memiliki kekuatan resonansi kabar informasi. So, kebebasan berekspresi di internet dapat memiliki nilai tak terbatas yang luar biasa dampaknya, merasuk ke segala ranah kehidupan hingga sistem kenegaraan. Betapa Jalin Merapi menurut Ahmad Nasir adalah sesuatu yang tidak disengaja namun memberikan dampak yang dahsat ketika erupsi merapi 2010 dan bertahan tidak satu atau dua bulan, bahkan tertanam pada masyarakat sebagai pemberi informasi sekaligus aktor  informasi yang dapat dipercaya.

Apa yang kita tunggu, semoga Linimas(s)a dan e-booknya, ataupun produk lainnya bisa beresonansi menggelegar menyemangati perubahan menuju penggunaan tehnologi informasi yang mendukung segala aspek kehidupan yang terpaut dalam cita-cita dibangunnya bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945. Saling support antar komunitas online maupun offline, bukan malah saling silang, dan memunculkan ide-ide atau tindakan sebagaimana dikatakan Onno W Purbo tentang konten lokal,  internet di sekolah, yang juga dibicarakan dalam Mading Online serta sudah dijalankan rekan-rekan Komunitas Blogger Bertuah di Pekanbaru. Layanan informasi untuk kebutuhan darah seperti dan sebagainya yang diluar sepengetahuan penulis yang super pekok sekaligus kenthir saja.

Penghargaan keberadaan internet untuk berekspresi dan berpendidikan

Seorang sahabat, dia adalah seorang pengajar di sebuah sekolah tinggi di Yogyakarta. Memiliki keyakinan dan melihat kebebasan berekspresi di internet pun harus dilakukan di ranah pendidikan. Ketika seorang mahasiswa menanyakan sebuah kasus atau persoalan, terlebih dahulu dia menanyakan 'apakah sudah googling?', ketika mahasiswa belum melakukan usaha untuk searching diinternet, maka hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari jawaban tersebut di internet, namun ketika memang tidak ada di internet, maka pengajar inipun akan dengan senang hati membahas permasalahan tersebut. Jawaban atas banyak pertanyaan memang mungkin berada disekitar kita, baik di offline maupun online, tergantung kreatifitas dan usaha kita untuk mencari jawabannya. Baru ketika kemudian mentok maka keberadaan guru pendidik yang bijaksana-lah pada akhirnya yang bisa menuntun ke arah jawaban yang diperlukan.

Sejalan dengan itu dari diskusi-diskusi dan pertemuan dengan sesama aktivis online di Jogja, banyak bermunculan ide untuk menggagas bagaiman memberikan informasi kepada khalayak dengan cara yang bijak, tanpa mendiskreditkan pemerintah bahkan, serta pemilahan data agar benar-benar dapat memberikan informasi yang berguna, karena bagaimanapun informasi yang dilontarkan mau tidak mau akan disimak atau diketahui banyak orang sesaat ataupun beberapa saat setelahnya. Dan secara tidak langsung akan mengeksplorasi dan menimbulan gerakan dalam myelin di otak kita.

Jogja update, jogja kampus, jalin merapi, lalin jogja, jogja radio adalah sebagian kecil dari banyak akun twitter penyaji informasi. Meski awalnya bukan hal serius namun keberadaan akun-akun yang memberi dan bisa dinikmati ribuan pengguna mengharuskan memberikan informasi faktual berguna dan tidak mencederai individu-individu penyimak atau tidak sengaja membacanya. Bukan berarti menghargai keberadaan orang lain adalah batas kebebasan berekspresi di internet, namun justru membuka pintu yang lebih lebar menuju kebebasan informasi yang saling mendukung dengan produksi konten informasi yang berguna, bukankah justeru akan sangat membatasi kebebasan ekspresi ketika banyaknya sampah informasi tak berguna berkeliaran di linimasa ataupun hasil pencarian di internet. Bukannya mendapat pencerahan namun mendapati rasa kesal, bikin kepala pening, muak, dan membuat trauma berinternet.

Atas