Sabdatama dan sejuta pertanyaan? Sebagai orang biasa yang sebenarnya tidak terpengaruh dengan kebijakan Keraton Yogyakarta terutama yang internal, karena keputusan raja tersebut mengikat ke dalam keluarganya. Bukan dan tidak terkait dengan kehidupan dan tata cara kehidupan orang biasa yang diluar kraton Yogyakarta. Namun sebagai seorang raja yang diyakini juga sebagai orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk mengemban jabatan tersebut sebagai amanat baik dari bawah (rakyat) maupun dari atas (Tuhan) tentunya perlindungan dari dua pihak tersebut menjadikan apa yang dilakukan seorang raja menjadi sebuah pranata dan dilindungi oleh berbagai pihak, juga di anggap sebagai sebuah kebenaran atau memiliki kepastian hukum.
Jika hal tersebut masih diyakini banyak pihak maka tentunya tidak akan ada aral melintang ataupun pertanyaan dari berbagai pihak. Masalahnya kemudian adalah bahwa masyarakat bertanya, keluarga kraton sendiri menanyakan meski dalam diam. Hal itu yang menjadi masalah karena setiap pihak punyak kehendak (karep) punya angan-angan dan harapan. Terlebih dalam hal politik kekuasaan, meski tidak bisa dikatakan bahwa pertanyaan adalah sarana atau alat untuk menentang sabda raja, bukan, namun mungkin bisa dikatakan sebagai sejenis klarifikasi atau apa latar belakang yang menjadikan keputusan-keputusan tersebut di sabdakan oleh seorang raja. Sabdatama pertama dikeluarkan pada Jumat tanggal 6 Maret 2015 di Bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang isinya (lihat di harian Kompas) :
"Mangertiya, ingsun uga netepi pranatan, paugeran lan janjiku marang Gusti Allah, Gusti Agung kang kuasa lan cipta uga marang leluhur kabeh. Mulo ingsun paring dhawuh yaiku: (Mengertilah, aku juga mematuhi aturan, tata krama, dan janji terhadap Tuhan yang Mahakuasa, serta menghormati para leluhur. Oleh karena itu, aku memberi perintah):
1. Ora isa sopo wae, ngungkuli utowo ndhuwuri mungguhing kraton. (Tidak seorang pun boleh melebihi kewenangan keraton (Raja).
2. Ora isa sopo wae mutusake utawa rembugan babagan Mataram, luwih-luwih kalenggahan tatanan Mataram. Kalebu gandheng cenenge karo tatanan pamerintahan. Kang bisa mutusne Raja. (Tidak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan persoalan Mataram. Terlebih berkaitan dengan Raja, termasuk tatanan dan aturan pemerintahannya. Yang bisa memutuskan hanya Raja.
3. Marang sopo wae kang kaparingan kalenggahan, manut karo Raja sing maringi kalenggahan. (Barang siapa yang sudah diberikan jabatan harus mengikuti perintah Raja yang memberikan jabatan).
4. Sing gelem lan ngrumangsani bagian saka alam lan gelem nyawiji karo alam, kuwi sing pantes diparingi lan diparengake ngleksanaake dhawuh lan isa diugemi yaiku: - pangucape isa diugemi -ngrumangsani sopo to sejatine -ngugemi asal usule. - kang gumelar iki wis ono kang noto. Dumadi onolir gumanti ora kepareng dirusuhi. (Siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan melaksanakan perintah dan bisa dipercaya. Ucapannya harus bisa dipercaya, tahu siapa jati dirinya, menghayati asal-usulnya. Bagian ini sudah ada yang mengatur. Bila ada pergantian, tidak boleh diganggu).
5. Sing disebut tedak turun kraton, sopo wae lanang utowo wedok, durung mesti diparengake ngleksanaake dhawuh kalenggahan. Kang kadhawuhake wis tinitik. Dadi yen ono kang omong babagan kalenggahan Nata Nagari Mataram, sopo wae, luwih-luwih pengageng pangembating projo ora diparengake, lir e kleru utowo luput. (Siapa saja yang menjadi keturunan keraton, laki atau perempuan, belum tentu dianugerahi kewenangan kerajaan. Yang diberi wewenang sudah ditunjuk. Jadi, tidak ada yang diperbolehkan membahas atau membicarakan soal takhta Mataram, terlebih-lebih para pejabat istana, khawatir terjadi kekeliruan).
6. Anane sabdatama, kanggo ancer-ancer parembagan opo wae, uga paugeran kraton, semana uga negara, gunakake undang-undang. (Sabdatama ini dimunculkan sebagai rujukan untuk membahas apa saja, juga menjadi tata cara keraton dan negara, dan berlaku seperti undang-undang).
7. Sabdatama kang kapungkur kawedarake jumbuh anane undang-undang keistimewaan, jumbuh anane perdais dan danais. (Sabdatama yang lalu terkait perda istimewa dan dana istimewa).
8. Yen butuh mbenerake undang-undang keistimewaan, sabdo tomo lan ngowahi undang-undange. Kuwi kabeh dhawuh kang perlu dimangerteni lan diugemi. (Jika membutuhkan untuk memperbaiki Undang-Undang Keistimewaan, dasarnya sabdatama. Itulah perintah yang harus dimengerti dan dilaksanakan).
Kemudian yang kedua Sri Sultan HB X mengeluarkan sabdaraja yang dilakukan di Sitihinggil Keraton Yogyakarta isi sabda raja tersebut menurut detik:
Pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono.
Kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan. Gelar lengkapnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Yang ketiga pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2015 di Siti Hinggil Raja Yogyakarta kembali mengumumkan sabda raja yang isinya adalah pemberian nama baru untuk GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang artinya Raja Yogyakarta saat ini sudah memiliki putra mahkota yang akan menggantikannya nanti. (DIkabarkan di sini)
Tidak ada hal yang menarik dalam hal ini selain sebenarnya Raja Yogyakarta mengabarkan hal yang seharusnya menggembirakan bahwa Beliau memiliki Penerus yang diangkatnya. Menarik komentar Wapres Yusuf Kalla yang menyebutkan bahwa Jogja menghormati kesetaraan Gender (baca di sini).
Meski begitu sebenarnya gelar Khalifatulloh apabila nantinya rajanya adalah perempuan dalam logika sebenarnya masih bisa, hanya belum ada dalam sejarah. Pro kontra keputusan Raja memang pasti ada dan banyak yang akan mengambil keuntungan atau membuat kisruh baik dalam hal wacana ataupun menghembuskan isu-isu terutama yang berhubungan dengan agama yang saat ini masih hangat utamanya isu garis keras yang tidak dilandasi dengan kepala dingin dan kepahaman beragama, maklum hanya penganut yang berusaha mendapatkan jatah surga. Tidak ada yang tinggal diam mungkin dalam hal ini meski belum bisa berbuat apa-apa karena belum memiliki dukungan, dan upaya memporak-porandakan suasana dengan isu paugeran dan lain sebagainya pasti muncul dari dalam keluarga sendiri yang berkepentingan dengan tahta (baca ini).
Hal yang pelik bisa menjadi bertambah pelik dan kacau ketika semua orang mungkin berkepentingan dengan hal ini kemudian menjatuhkan pilihan untuk memutuskan yang salah, misalnya merebut secara paksa hak seseorang dengan cara-cara yang tidak elegan. Meski sudah dititahkan dari seorang raja. Masih menunggu sabda-sabda selanjutnya.