Stephen Hawkins adalah difabel penderita paraplegia yang diakui menjadi orang pintar di dunia. Hal tentang kecerdasannya bisa menghilankgkan atau menutupi bahwa dia adalah paraplegia yang juga seorang difabel. Orang stenar itu tentunya juga mengalami hambatan aksesibilitas yang sama dengan paraplegia yang lainnya, hanya karena dia adalah orang yang sangat dihormati maka segala hambatan itu dapat teratasi dan terbantu.
Pada pemilu calon legislatif 2014 yang baru saja berlalu, masih banyak difabel yang merasa tidak 'diuwongke' atau mengalami banyak hambatan dalam prosesi pencoblosannya. Dalam penelitian singkat yang dilakukan Sigab banyak difabel yang menerima perlakuan sangat tidak ramah, karena memang memiliki kebutuhan khusus seperti yang tuna netra tidak dapat alat bantu 'template' untuk mencoblos, dan ruang-ruang TPS yang kebanyakan adalah rumah yang tidak aksesibel menjadikan difabel seperti tontonan karena harus dibantu ketika memasuki RUmah TPS yang memiliki tangga dan tanpa ram.
Suara difabel sepertinya tidak penting, hanya orang-orang awas yang bisa memilih dan mencoblos dengan enek di TPS, meskipun jumlah difabel yang mau datang ke TPS dengan ketidaknyamanannya tersebut hanya sedikit namun tetap saja seperti suara-suara manusia difabel adalah suara yang tidak diharapkan untuk diberikan atau datang ke TPS karena tempatnya sama sekali sulit dijangkau dan difabel harus merasa kesulitan untuk memberikan suaranya di TPS.
Mungkin hal ini terjadi karena proses pembiasaan dimana difabel harus selslu ditolong dan ketika sudah tidak ada waktu lagi untuk menolongnya maka difabel atau kaum penyandang disabilitas akan ditinggalkan tanpa ada pernah cara untuk membuatnya bisa melakukannya sendiri. Sepertinya belajar dari itu maka kaum penyandang disabilitas mengusulkan untuk mengubah UU Penyandang Cacat No $ Tahun 1997 menjadi UU Penyandang Disabilitas dengan harapan bisa mengubah pandangan dari charity based ke human rifght based.
Problema penanganan dan pemberdayaan kaum difabel memang masalah klasik, satu sisi secara resmi pemerintah mengakui adanya kecacatan, dan mengkategorikannya dalam tuna netra, tuna daksa dan sebagainya, namun hanya sebagai wacana dan tak satupun identitas tubuh tersebut yang termaktub di pendataan KTP misalnya sehingga penyediaan template maupun kebutuhan khusus sepertinya tidak pernah memuaskan dan mencukupi. Padahal dalam banyak tulisan dikatakan bahwa jumlah difabel mencapai sekitar 11 persen jumlah penduduk negara Indonesia, yang artinya jumlah mereka ada lebih dari 20 juta orang, serta terus bertambah seiring dengan usia dan kondisi kesehatan anggota masyarakat, yang tiba-tiba mengalami stroke dan lain sebagainya.
Menangani yang biasa saja kesulitan apalagi yang luar biasa, kadang hal ini juga menjadi lingkaran setan. Karena tidak ada kemauan yang jelas untuk mengubah segala sesuatunya menjadi lebih baik. Berikut adalah Naskah Akademik perubahan UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat menjadi UU tentang Penyandang Disabilitas, yang mengherankan adalah darimana kita mendapatkan kata Disabilitas, sebagai sebuah kata baru yang datang seperti UFO yang lewat di langit.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
![]() | 0 byte |