Apakah kita tidak butuh khilafah? Ada yang bisa menjawab ada pula yang tidak, dan ada pula yang tak peduli. Jika merunut dari apa yang akhir-akhir ini terjadi memang persepsi dan pemahaman akan keagamaan sedang diputarbalikkan jika tidak bisa dikatakan sebagai diombang-ambingkan. Dari pemahaman politik demokrasi hingga keyakinan beragama, diadu domba dalam logika pemikiran dan kebutuhan, dibungkus dalam ideologi yang menarik para oportunis politik untuk menunggangi demi kepentingan ibarat orang setiap hari diharuskan untuk mencari sesuap nasi. Meski konteksnya bukan nasi bagi beberapa orang, namun periuk emas.
Sedang menjadi pembicaraan tentang pelarangan organisasi massa yang berakting menjadi organisasi politik yang anti Pancasila yaitu HTI. Sebuah kelompok atau sekte Islam Suni yang mengusung tentang khilafah, jangkauannya lebih luas yaitu khilafah Islamiyah sedunia. Lebih besar mimpinya dibandingkan dengan eksperimentasi gerakan ISIS yang membentuk khilafah di Irak dan Suriah, dengan promosi kekerasan yang sangat brutal yaitu siapapun yang berbeda akan dibunuh, sangat brutal, sehingga banyak orang menjadi heran tentang wajah agamanya yang mengkampanyekan anti kafir dan anti perbedaan, dengan mengusung syariah dan nilai-nilai Islam yang entah berasal darimana. Namun mereka memiliki hujjah-hujjah yang secara logika bisa membuat orang lalai dan meyakininya, tak lepas dari kepiawaian memainkan logika, alur dan silat lidah. Serta menghalalkan segala cara baik memutar balikkan fakta, persitiwa maupun pola berpikir. Didukung dengan praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, birokrasi dan kejadian-kejadian yang ada pada saat ini.
Kecolongan
Apakah pemerintah, birokrasi dan para pelaku kebangsaan saat ini kecolongan? Tentu saja tidak, sebab tidak ada praktik-praktik dan program pemerintah yang cukup membuat masyarakat puas, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Meskipun tidak semuanya tidak memuaskan, namun keinginan, hasrat terpendam, kekecewaan serta tumpukan rasa ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat menjadi hal yang empuk dan terlampau sia-sia untuk tidak ditunggangi untuk menggempur negeri Pancasila yang sedang konsentrasi di infrastruktur namun kelupaan banyak hal, sehingga meski tidak banyak akan memunculkan rasa ketidakpuasan dan kekecewaan dan membutuhkan saluran untuk pelampiasan. Ketika pelampiasan melalui jalur normal menghantam tembok, maka seperti air gelombang itu akan menghalalkan segala celah untuk menggempur tembok kuasa tersebut.
Sudah barang tentu borok-borok lama seperti Komunisme, Atheis dan kelompok yang selalu saja jadi isu utama dalam ketidakadilan yaitu isu etnis Tionghoa. Meski tidak ada hubungannya sama sekali namun apa yang ditanamkan sejak masa lalu dan tidak pernah selesai akan selalu diungkit dan memiliki daya dorong gelombang yang merusak dan masif. Celah-celah ini dimainkan melalui media yang tidak akan banyak orang yang protes, karena ketakutan dan efeknya justru akan merugikan diri sendiri, yaitu tempat ibadah serta kotbah di masjid-masjid yang tidak akan mengundang kecurigaan dan tentu saja dipatuhi oleh yang mendengarkan kotbah tersebut, meski dalam hati menolak namun ketika setiap hari dan jumat diulang-ulang maka akan banyak juga jamaah yang mengamininya sebagai sebuah kebenaran yang nilainya sangat tinggi karena diucapkan di tempat yang diyakini suci.
Sejarah yang dimanipulasi
Sudah bukan barang aneh, ketika sejarah adalah milik para pemenang namun juga milik para penipu yang bisa memainkan kajian sejarah. Keberhasilan dan kemerdekaan memiliki banyak bapak baik yang kandung maupun yang mengaku-aku, sementara kegagalan dan kekalahan akan dilupakan dan seakan tidak ada orang yang memilikinya. Seperti banyak orang akan mengaku-aku menjadi pahlawan, baik perorangan maupun suku ataupun komunitas tentang kemerdekaan negara Pancasila misalnya. Atau masalah penghilangan 7 kata pada sila pertama Pancasila, mungkin ketika dirunut hal itu tidak ada, karena hanya sebagai usulan saja. Sejarah tentang Dewan Jenderal, Pemberontakan PRRI dan sebagainya masing-masing orang baik pemenang maupun korban pada akhirnya memiliki kisah sendiri-sendiri dan pembelaan sendiri-sendiri yang akan dilawan dengan pernyataan-pernyataan lain yang semakin membuatnya tidak jelas dan kabur, selain jarak waktu yang semakin lama semakin jauh hingga kian tidak terjangkau.
MIsalnya saja perdebatan tentang kapan sebuah agama masuk pertama kali ke Nusantara. Ketika menemukan bahwa yang masuk pertama kali adalah klan dan sekte dengan ajaran yang berbeda bahkan sekarang dipertentangkan dan dikeluarkan dari kelompok tersebut, maka menjadi sangat sulit untuk diakui karena melihat masa lalu dengan kacamata dan cermin dari pola pendidikan dan kebutuhan pada saat ini. Tentu saja akan dicarikan data-data dan fakta-fakta untuk menyanggah serta fakta-fakta baru yang digunakan untuk memanipulasinya.
Manipulasi sejarah selain sangat merugikan juga akan membuat aras kebudayaan yang implikasinya pada produk-produk kejeniusan masa lalu akan memudar, rusak, dan hilang karena kepentingan dan ego intelektualitas masa kini yang menuntut adanya bukti keras, sementara bukti-bukti keras tersebut bisa dengan mudah dihilangkan.
Kebutuhan untuk dekat dengan Sang Pencipta
Meski para penganut dan ajaran Khilafah seperti HTI ini sudah dilarang di banyak negara, dengan alasan yang berbeda-beda. Ideologi atau ajaran memang sulit dan bahkan tidak mungkin untuk dilarang atau dihilangkan, karena ada dalam benak dan keyakinan masing-masing orang melalui proses penerimaan yang diproses oleh otak orang tersebut. Namun sebagian besar adalah karena ulah organisasi tersebut yang bergerak menghalalkan segala cara dan mencoba membuat suasana menjadi gaduh tak terkendali karena ulahnya yang ingin menjadi organisasi terhormat dan berkuasa dalam tanpa petik. Memang jadinya sangat urgen membubarkan organisasi semacam ini yang merongrong ke kanan maupun ke kiri seenak udelnya, tanpa peduli kepentingan bangsa karena kepentingannya bersifat transnasional, dengan kedok yang bermacam-macam. Dan tidak jelas khilafah macam apa yang ditawarkan.
Pemimpin agama memang sangat diperlukan, karena umat memerlukan sebuah perantara dan kejelasan posisinya di hadapan Sang Pencipta. Kebutuhan ini seakan tak terpenuhi dengan adanya koalisi-koalisi ulama yang omongannya tidak jelas dan tidak membela ajaran secara jernih. Pemimpin agama juga diperlukan sebagai seseorang yang dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta sehingga memiliki apapun yang dibicarakannya memiliki pengaruh pada hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Dan saat ini yang memiliki kapasitas dan dukungan semacam itu ada di Vatikan bagi kelompok agama yang penganutnya terbesar di bumi saat sekarang ini. Dalai Lama juga memiliki posisi sangat tinggi di depan umatnya karena memilki anugerah yaitu titisan dan diyakinan memiliki kemampuan untuk menjembatani antara umat dengan Sang Pencipta. Serta agama-agama, budaya dan keyakinan yang memiliki pemimpinnya.
Menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri, sebuah agama yang berserakan tanpa adanya pemimpinnya akan menjadi sesat dengan sendirinya karena adanya aksi saling memanipulasi fakta, bukti keras dan keyakinan yang hanya berdasarkan teks saja, tanpa ada kepemimpinan yang sah dan memiliki hubungan dengan Sang Pencipta. Sebab manusia hanya terdiri dari daging dan darah, sementara bagaimana menjalankan tubuhnya untuk bisa berpikir, berperilaku dan memiliki keyakinan serta segala kecanggihan inderawinya yang hanya didapatkan dan dihidupkan dari makanannya sehari-hari. Asupan kerohanian memiliki daya untuk menggerakkan tubuh manusia namun sulit untuk dijelaskan. Ide Khilafah sepertinya mencoba mengisi kekosongan ini.
Menenggelamkan Produk Tradisi dan Kebudayaan
Seperti banyak kita dengar dalam cerita-cerita trasidional dan kebudayaan yang memiliki akar tradisi kuno bahwa pada suatu saat akan muncul seseorang yang memimpin dunia, seperti Ratu Adil dalam produk tradisi lawas Jawa. Konsep tawaran Khilafah milik HTI menjadi hal yang cukup memanipulasi keyakinan-keyakinan dari produk tradisi dan kebudayaan lama. Sehingga konsep Pemimpin Dunia yang Adil seperti yang ada dalam cerita-cerita peninggalan nenek moyang, bukan hanya Jawa, akan mendapatkan pertentangan yang keras dengan referensi konsep Khilafah HTI yang dilarang di banyak negara, dan kelakuan gerakan tersebut yang membuat onar dan gaduh karena keinginannya menjadi terkenal dengan menjadi 'social climber' dalam berbagai kesempatan.
Wallahu'alam.