Darurat Minum Kebangsaan

Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang bertema tentang 'Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia'
 

Darurat Minum Kebangsaan

Adanya praktik lucu dan tidak masuk akal kalo tidak bisa dikatakan sebagai pembiaran munculnya intoleransi dan menumbuhkembangkan benih-benih perpecahan bangsa demi kontestasi Pilkada, baik di DKI maupun di daerah lainnya. Sebagaimana halnya pada saat Pilpres 2014. Dimunculkan oleh aktor-aktor politik yang berkerudung agama sebagai ideologi. Kesangaran dan bahaya agama yang seharusnya dapat mengayomi tumbuhnya berbagai ideologi sebagai khasanah berpikir untuk mensikapi perkembangan zaman, dimunculkan lagi, sebagai penurunan nilai-nilai agama yang universal namun dicuplik menjadi ideologi-ideologi tertentu yang fungsinya disalahgunakan hanya untuk mendukung partai, kelompok, atau kontestan Pilkada. Sungguh sebenarnya adalah penghinaan agama itu sendiri, sebab jika kalah maka sebenarnya jika jujur, agama itu menjadi taruhannya. Sungguh sayang bukan, karena taruhannya selain nilai keagamaan juga kebangsaan yang terancam menuju darurat kebangsaan.

Pilkada DKI saat ini berada di luar nalar, dengan seruan-seruan yang dilakukan di ruang-ruang keagamaan, bahkan khotbah masjid di seluruh Indonesia seperti dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. Orang-orang desa tiba-tiba menjadi Islam dan kafir, muslim vs non-muslim, Pro Ahok dan Anti Ahok, dengan isu penistaan agama. Sungguh membuat banyak orang menjadi ketakutan dianggap menjadi kafir karena tidak sama dengan pendapat pengkhotbah yang ada di masjid, pemberitaan di Televisi dan bacaan media mainstream lainnya, bahkan dari share status Facebook hingga tulisan-tulisan dan link hoax di media sosial lainnya seperti WhatsApp, BBM, Line, Telegram, Twitter dan banyak lagi yang bisa digunakan untuk penyebaran fitnah.

Bertebarannya spanduk dan cerita nyata tentang Pendukung Ahok Jarot yang meninggal dan ditolak untuk disholatkan di Mushola atau Masjid setempat adalah tamparan bagi kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang adil dan beradab, masih punyakah kita rasa adil dan beradab, atau bahkan tidak paham sama sekali tentang Pancasila. Tamparan keras di pipi kanan dan kiri, bahwa semua mahluk adalah ciptaan Tuhan, akan kembali kepada Tuhan, dinafikan dengan spanduk-spanduk dari golongan Islam yang aneh tersebut. Bukan Islam Indonesia namun entah Islam dari golongan mana, yang membedakan tetangga dan mahluk hidup lain dari pilihan politiknya. Siapa yang berbeda dengannya tidak dilayani. Jika memang begitu, pembalasan yang akan diberikan oleh dunia sosial kemanusiaan tentu akan lebih berat lagi. Jika mereka akan membalas dan berbuat sesuka hati mendahului negara, yang meskipun saat ini mottonya adalah Kerja, Kerja, Kerja, namun tidak memiliki hati dengan peristiwa semacam ini, mereka diam seribu bahasa tanpa ada kebijakan untuk Pilkada Damai dan menghindari benih-benih perpecahan yang dimunculkan oleh kelompok tertentu dan tentu saja sudah ada korbannya. Betapa sakit.

Sekedar obat atau salep mungkin, Kelompok Nahdlatul Ulama melalui GP Ansor-nya memulai dengan keputusan atau hasil dari Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang bertema tentang 'Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia'. Meski kelompok Jamaah NU ini kadang kurang begitu solid dalam berpolitik, namun itu adalah cermin betapa mereka menghargai perbedaan dan praktik demokrasi yang sebenarnya tanpa harus ada dalam satu payung kepentingan politik, namun bisa menjadi beragam karena memang politik berbeda dengan agama. Demikian Rilis persnya, pun dimuat dalam halaman resmi GP Ansor :

AnsorNews.com, JAKARTA – Sehubungan dengan tren kehidupan keagamaan di Indonesia ini yang menunjukkanadanya gejala yang semakin intoleran dan menafikan kelompok lain, kami Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor merasa perlu untuk membahas tema kepemimpinan non-Muslim di Indonesia dalam Halaqah Bahtsul Masail yang diselenggarakan secara rutin.

Pilihan tema kali ini semata-mata karena kami meyakini bahwa Islam dan Indonesia itu suatu hal yang tidak bisa dipertentangkan dengan dalih apapun, termasuk kepentingan politik. Tema kali ini juga sebagai respon atas kegelisahan Gerakan Pemuda Ansor ketika melihat Islam dipolitisasi sedemikian berlebihan dan menghakimi pihak yang berbeda preferensi politiknya sebagai bukan Islam.

Lebih parah lagi, kegelisahan dan kekhawatiran yang kami rasakan ini muncul setelah melihat potret kontestasi politik di Jakarta tidak terkontrol dan cenderung ganas, dan bukan tidak mungkin dapat menyebar di daerah lain. Kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung calon pemimpin non-Muslim.

Oleh karena itu, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menyatakan beberapa hal berikut:

  1. Mengenai prinsip berbangsa dan bernegara, kami memandang bahwa dengan diterimanya NKRI, UUD 1945 dan Pancasila sebagai sebuah kesepakatan para pendiri bangsa, yang salah satunya adalah tokoh NU KH. Wahid Hasyim, maka sebagai warga NU, kami menerima sistem bernegara dan berbangsa dalam bingkai NKRI. Dan karena itu, produk turunan dari konsititusi itu sah dan mengikat bagi warga NU dan tentunya warga Indonesia pada umumnya.
  1. Tentang terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik, berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah. Dengan demikian keterpilihannya untuk mengemban amanah kenegaraan adalah juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi maupun secara agama.
  1. Sebagai warga negara yang beragama (dalam ranah pribadi) boleh memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan. Karena kami melihat, hal ini sebagai persoalan yang masih dalam tataran khilafiyah (debatable), sehingga masing-masing pandangan yang menyatakan wajib memilih Muslim maupun boleh memilih non-Muslim sebagai kepala pemerintahan memiliki landasan dalam hukum Islam.
  1. Karena itu, Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda GP Ansor menghimbau kepada umat Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik, karena hal tersebut dapat berpotensi memecah belah umat Islam dan NKRI. Dengan demikian, siapapun yang setuju atau tidak setuju, memiliki landasan hukum agama (fiqh) yang dapat dibenarkan. Namun dalam hal khilafiyah (debatable) hendaknya masing-masing tetap memegang teguh etika amar makruf dan tata krama perbedaan pendapat.
  1. Menyikapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dimana muncul pandangan sebagian kelompok untuk tidak mensholatkan jenazah lawan politik, GP Ansor berpendapat bahwa ini merupakan cerminan sikap yang tidak Islami juga tidak Indonesianis. Bagi GP Ansor, setiap jenazah Muslim tetap wajib disholatkan. Untuk itu jika tindakan seperti ini terus berlanjut, GP Ansor menyediakan diri untuk mensholatkan jenazah tersebut, termasuk mentahlilkan selama 40 hari.

Jakarta, 13 Maret 2017

H. YAQUT CHOLIL QOUMAS
Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor

Atas