Buku Desa Membangun Indonesia ini bisa di baca siapapun dan disebarluaskan kemanapun, demikian yang dikatakan oleh Sutoro Eko, si penulis buku ini bersama timnya. Menurutnya buku ini adalah pengejawantahan misi dan visi FPPD, Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa, yang berdomisili di Yogyakarta. Sejarah dan kisah tentang advokasi Undang-Undang Desa yang dilakukan penulisnya tertuang dalam buku ini secara gamblang. Bagaimana perseteruan dan perang gagasa diantara para pendekar yang berada di belakang terwujudnya UU Nomor 6 tahun 2014.
Buku Desa Membangun Indonesia yang bisa diunduh dibawah, juga muncul bagaimana perbedaan paradigma antara 'Membangun Desa' dan 'Desa Membangun' yang mendasari pemikiran baru bahwa Desa merupakan subyek pembangunan. Juga ada contoh baik dari beberapa desa yang dapat melakukan pembangunan dalam paradigma kemandirian dan kedaulatan desa yang didampingi beberapa LSM. Sudah tentu LSM karena sifat priyayi pejabat negara dan birokrasi yang tidak mau bahwa desa dapat membangun sendiri, mandiri dan berdikari, baginya para birokrat dan pemerintah tidak dapat melihat atau cenderung menafikan bahwa reaksi kimia berantai dari hidupnya desa adalah energi berkelanjutan yang akan membuat makmurnya negara. Pola pembangunan dari ibukota ke daerah adalah benar-benar mematikan desa-desa, terlebih dengan moderasi dari Dinas, Propinsi maupun Kabupaten.
Membaca buku Desa Membangun Indonesia akan dapat memahami perspektif Desa lama dan baru. Bagaimana politik di desa bisa tumbuh dan perbedaan politik nasional dengan poltik deliberatif yang ada di desa. Kita akan dapat melihat paradigma sebagaimana dituliskan dalam buku ini:
“desa membangun Indonesia” merupakan rangkaian frasa utuh, yang mengandung tiga komponen penting: makna, pen- dekatan dan aktor. Sebagai sebuah jargon, Desa Membangun Indo- nesia (DMI) berbeda dengan tema Desa Membangun Negara (DMN) yang pernah dikemukakan oleh Budiman Sujatmiko maupun Mem- bangun Indonesia dari Desa (MID) yang menjadi jargon politik Partai Golkar. Ide DMI tentu mempunyai cakupan lebih luas daripada NMD, yakni bahwa desa mempunyai emansipasi dalam membangun Indo- nesia baik negara, bangsa, maupun warga masyarakat desa sendiri. Sedangkan ide MID menempatkan desa sebagai fondasi maupun titik berangkat pembangunan, bahwa pembangunan bukan dari atas ke bawah (top down) tetapi berangkat dari bawah (bottom up), yakni dari desa. Kalau desa baik, kuat dan makmur maka capaian itu akan me- luas pada skala regional sampai skala nasional. Ide DMI juga sebagai alternatif atas pola Indonesia Membangun Desa (IMD) yang selama ini dijalankan oleh negara. Jika IMD – yang selama ini dihadirkan dengan pola pembangunan yang digerakkan negara (state driven develop- ment), pembangunan yang digerakkan oleh pasar (market driven de- velopment) maupun pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community driven development) – melemahkan desa dan cenderung “membangun istana pasir”, maka DMI adalah memperkuat desa seba- gai pendekatan, arena dan subjek pembangunan, yang sesuai dengan petuah “sedikit demi sedikit menjadi bukit”. Intinya, DMI adalah eman- sipasi desa untuk Indonesia, yakni desa menjadi basis kehidupan dan penghidupan (basis sosial, basis ekonomi, basis politik, basis budaya), termasuk desa bermanfaat mengelola kepentingan masyarakat mau- pun melayani kebutuhan warga desa.
Catatan-catatan pribadi Sutoro Eko, penulis buku Desa Membangun Indonesia, muncul sebagai penguat dan bagaimana jalannya proses dalam advokasi UU Desa, salah satunya seperti ini:
Sampai sekarang kami berempat (Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman dan Bito Wikantosa) masih terus melakukan konsolidasi un- tuk mengawal Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU Desa. Banyak orang menyebut kami bertiga (Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman) sebagai “Trio Desa”, tetapi saya lebih suka menye- but secara narsis sebagai Catur Sakti Desa (seperti jargon bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya). Bito Wikantosa selalu bicara tentang desa berdaulat secara politik; saya menonjolkan desa bertenaga se- cara sosial sebagai fondasi demokrasi desa, kemandirian desa dan pembangunan desa; Suhirman cocok merepresentasikan semangat desa berdaya secara ekonomi karena dia spesialis pembangunan desa dan keuangan desa; dan Yando Zakaria yang antropolog dan con- cern pada desa adat, saya identifikasi cocok dengan semangat desa bermartabat secara budaya. Rupanya Bito Wikantosa tidak cocok de- ngan Catur Sakti Desa. Dengan tertawa dia berseloroh: “Catur Sakti itu kreasi Mas Toro, kalau saya lebih cocok dengan Tri Sakti Bung Karno”. Sebagai seorang nasionalis, Bito sangat suka dengan jargon desa berdikari, sebuah jargon yang dipakai Gubernur Ganjar Pranowo di Jawa Tengah. Saya menjawabnya: “Ini bukan perbedaan ideologi, tetapi cuma soal selera. Seperti makan di rumah makan Padang, Mas Bito suka gulai kepala kakap, saya suka rendang”.
Bagaimana dan mengapa UU Desa diharapkan menjadi 'Swiss Army Knife' dalam reformasi birokrasi yang tetap tidak mudah dijalankan. Banyaknya peraturan dan regulasi yang tumpang tindih, saling bergesekan dan mengharubirukan pembangunan Desa. Pembangunan desa dengan berbagai macam fasiltator dan program yang tidak berjalan beriringan dan melompat-lompat, adalah biaya mahal yang harus dikeluarkan negara tanpa hasil yang jelas, dan justru program-program seperti PNPM justru menghambat kecerdasan masyarakat desa untuk keluar dari kemiskinan, karena moderasi fasilitator dalam membuatkan rencana hingga laporan pembangunan Desa. Meski dalam berbagai laporan, bidang kemiskinan selalu ditangani dan berhasil baik, namun angka statistik menunjukkan tetap meningkatnya jumlah kemiskinan.
Fungsi 'Swiss Army Knife' UU Nomor 6/2014 tentang Desa sederhananya bisa di gambarkan seperti dibawah ini, sebagaimana yang ada di buku Desa Membangun Indonesia:
Perspektif Desa Lama Vs Desa Baru
|
Desa Lama |
Desa Baru |
Payung hukum |
UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 |
UU No. 6/2014 |
Asas utama |
Desentralisasi-residualitas |
Rekognisi-subsidiaritas |
Kedudukan |
Sebagai organisasi pemerinta- han yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/ kota (local state government) |
Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government. |
Posisi dan peran kabu- paten/kota |
Kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. |
Kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat. |
Delivery ke- wenangan dan program |
Target |
Mandat |
Politik tempat |
Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek dari atas |
Arena: Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyeleng- garakan pemerintahan, pem- bangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan |
Posisi dalam pembangunan |
Objek |
Subjek |
Model pem- bangunan |
Government driven deve- lopment atau community driven development |
Village driven development |
Pendekatan dan tindakan |
Imposisi dan mutilasi sektoral |
Fasilitasi, emansipasi dan kon- solidasi |
Tentusaja di jelaskan apa sih aspek rekognisi dan subsidiaritas yang dimaksudkan diatas, contohnya seperti ini:
Kombinasi antara asas rekognisi dan subsidiaritas itu menghasil- kan definisi desa dalam UU Desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradi- sional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paradigma lama dan baru tentang pembangunan desa dalam buku Desa Membangun Indonesia dijelaskan sebagaimana tabel berikut:
Paradigma Lama dan Baru Pembangunan Perdesaan
Paradigma lama |
Paradigma baru |
|
|
Sumber: diadaptasi dan dimodifikasi dari Andrew Shepherd (1998).
Jikalau sejak dahulu dipahami bahwa desa adalah locus yang memiliki kewenangan, mandat dan dihormati, sepertinya pembangunan di Indonesia tidak akan seperti ini, dimana sekarang orang sudah lupa tentang desa dan bagaimana menghormati desa, karena sudah dihadapkan dengan berbagai hal administratif dan birokratif. Belum lagi virus militer yang merusak kebudayaan dengan mengharuskan semuanya bersatu dan berseragam dalam demokrasi dan politk, dimana hal tersebut jelas sangat dan pemahaman yang sesat pikir tentang demokrasi. Bagaimana kepentingan umum dapat mengalahkan kewenangan desa dan kepentingan umum masyarakat desa atau yang utamanya kaum miskin. Bagaimana kaum miskin dan bodoh tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih baik karena kepentingannya tidak dianggap sebagai hajat hidup orang banyak.
Tabel 3.2 Kewenangan Desa menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014
UU No. 32/2004 |
UU No. 6/2014 |
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa |
Kewenangan berdasarkan hak asal usul |
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabu- paten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa |
Kewenangan lokal berskala Desa |
Tugas pembantuan dari Peme- rintah, Pemerintah Provinsi, dan/ atau Pemerintah Kabupaten/ Kota |
Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota |
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- undangan diserahkan kepada Desa |
Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan |
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk membangun dari desa, banyak hal yang secara alami kita lakukan, namun memang ada baiknya untuk membaca buku Desa Membangun Indonesia ini agar dapat memahami paradigma-paradigma yang baru sehingga terjadi 'chain reactions' dengan energi besar yang akan dibagi dan dipanen pada suatu waktu nanti. Swiss knife sudah disiapkan untuk membuat lapang jalan yang ditempuh, tinggal bagaimana memberantas setan-setan desa dan kota yang mengganjal terjadinya kemakmuran masyarakat Indonesia dari Desa.
Silahkan mengunduh buku Desa Membangun Indonesia.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
![]() | 7.9 MB |