Tidak berapa lama lagi barisan mudik aristokrat maupun ekonomi kerakyatan tumpah ruah, akan terlihat berbondong-bondong manusia kereta roda dua, roda empat maupun roda besi memenuhi jalanan di sepanjang pulau. Mungkin peristiwa seperti ini berlangsung kurang dari setengah abad di negeri begajul, namun sudah di klaim sebagai pelaksanaan tradisi, religi atau budaya, untuk menutupi logat ekonomi yang semakin seksi serta bergelayutan kepentingan permodalan liberalis terbalut dalam kosmetika kerakyatan belaka plus bumbu-bumbu penyedap rasa lainnya agar rakyat jelata tidak mudah emosi dan mengamuk ketika mengetahui apa sejatinya di dalam nukleus peristiwa tahunan yang rasanya semakin mendarah daging saja, dalam pandangan positif memang sebagai pemerataan, atau minimalnya adalah sebuah tetes embun pagi hari bagi perekonomian lokal, untuk kemudian kering kerontang lagi sebelum sore hari.
Begitulah suasana mudik dalam kacamata tidak tembus pandang, hanya akan dipenuhi dengan parade kepemilikan barang, bau keringat, wajah orang kelelahan, asap dari kendaraan hingga kemacetan yang akan ditularkan dengan teganya ke pelosok-pelosok pulau. Sebagai hiburan hati para petinggi daerah ketika dengan bangganya pada saat perjamuan di hari raya mengatakan bahwa jalan-jalan didaerahnya macet, mungkin sebagai iklan pariwisata gratis, atau malah penanda betapa sudah majunya pembangunan di lokalnya, tidak kalah dengan lokal yang lainnya. Kadang berpikir pula apakah mereka menjalankan puasa dengan maksud apa, ataukah mereka bekerja mati-matian ketika dalam keharuman ramadhan untuk menyambut saja Idul Fitri menafikan keharuman ramadhan yang seharusnya. Begitulah memang tidak ada kolom keharuman ramadhan dalam tabel-tabel akuntansi anggaran belanja bulanan.
Meski semua niatan ekonomi kerakyatan itu bersambut di lokal, niatan yang berasal dari memori kolektif kemanusiaan akan jati dirinya bukan hanya cerita tentang sebuah cinta untuk mengembalikan jati diri bangsa. Memori bawah sadar tentang kerinduan akan tempat kelahiran, tempat dimana dahulu dibesarkan, tempat dimana orangtua membimbing kehidupan, dan pusara-pusara leluhur yang harus dikunjungi sebagai access point menuju eling kepada siapa pemberi kehidupan. Semoga meski hanya bagaikan tetes air namun dapat mengingatkan kepada iftitah kehidupan masing-masing. Pulang ke rumah untuk kangen desa dan sejenak bertanya siapa Rusli Zainal sang Visioner dan untuk apa ramai-ramai mengikuti kontes SEO Rusli Zainal Sang Visioner. Lebih mulia dari hal tersebut mudik yang selalu menggoda dan membuat kangen para warga pelancongan.
Negeri Begajul yang selalu saja menjadi bulan-bulanan bencana dan permasalahan harus menggeliat dan bangkit. Warga kota harus bisa mudik membawa misi Ekonomi Kerakyatan semampunya. Mencoba untuk kembali dan membelanjakan hasil jerih payah di daerahnya, membagi-bagikan rasa bahagia. Terutama kepada warga jelata yang saat ini dirundung malang karena gempa jawa, ataupun berita simpang siur yang sengaja mengecoh untuk memporak-porandakan situasi sosial, barangkali mereka menginginkan secepatnya kiamat kecil agar bisa menuai hasil dari kejadian ributnya masyarakat. Sudah terbukti bahwa negeri begajul memang sudah bisa memproduksi senjata bahkan dengan nama ISRAEL, betapa para mantan narapidana kelas ikan paus pun akan angkat kekuasaan, bahkan yang sudah menistakan ribuan rumah dengan lumuran lumpurpun akan maju menjadi seorang ksatria berhati baik. Harap maklum ketika alam tidak akan menerima dan mengancamnya tapi kenapa rakyat kecil pula yang menjadi korban.
Rakyat jelata memang sangat kuat sehingga kemiskinan harus dimusuhi untuk dibinasakan, lupa bahwa mereka menjadi kuat dan bermanfaat kepada lingkungan adalah dari semangat kemiskinan. Kemiskinan yang berhakekat sehingga harus bisa dirangkul dengan jargon ekonomi kerakyatan meski tanpa kemauan politik yang mengarah dengan tepat. Semoga dengan mudik ada noktah pembelajaran atas kemiskinan sebagai refleksi akan motivasi untuk menumbuhkan semangat kehidupan dan tetesan sejuk cinta untuk mengembalikan jati diri bangsa.