devide et impera

 

devide et impera

adu domba

Siapa yang tak kenal cara berpolitik 'devide et impera', meski sudah kuno barangkali metode politik ini bukanlah metode yang dibuat-buat atau sudah sewajarnya dan siapapun bisa melakukannya dalam konsepsi terkecilpun, tiada bedanya dengan cara-cara lempar batu sembunyi tangan atau hingga ada teriakan minta tolong dengan sesumbar 'becik ketitik olo ketoro', dan akhirnya manusia pun harus berusaha sendiri untuk membedakan 'mana pasir mana suwasa'. Begitu lengkap semua yang ada tinggal mau adopsi yang mana meski ada teori baru tentang konspirasi, atau 'rayuan susno duaji' juga banyak lagi semacam 'one shoot one kill' yang dilakukan oleh gayus, banyak pelakon panggung di sana yang memiliki kecerdasan tertentu tidak untuk disharingkan namun untuk mengelabui mengakali dan apapun namanya itu adalah pengatasnamaan atas upaya mempertahankan dan membangun kehidupan di ladang yang gersang karena ulah begajulan dan tidak terhormat sehingga memunculkan kreatifitas-kreatifitas negatif yang meskipun merugikan namun banyak juga penggemarnya. (angry)

Karena sudah terbiasa melihat mendengar dan melaluinya agak lama juga ketika membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena semuanya sudah menjadi abu-abu atau berganti menjadi warna yang sama sekali soft dan halus, baik ketika diraba ataupun ditelesih dengan jeli. Bukan jadi apa juga ketika semua warisan penjajah yang dalam seluruh mata pelajaran sejarah adalah musuh yang keji, pembunuh dan pemangsa kekayaan bangsa. Bukan persoalan juga ketika politik devide et imperanya pula dipertahankan seperti pecahnya sebuah kerajaan besar yang katanya karena di politisir dan direkayasa oleh penjajah namun ketika negeri inipun merdeka tak ada usaha untuk melakukan rekonsiliasi ulang namun tetap di bangun terpisah dengan juga masih menggenggam mitos-mitos aneh yang membuat banyak anak kecil terheran-heran.

Masih beruntung negari amerika yang menjadi banyak musuh kepentingan politik atau kepentingan kesejahteraan dengan teori kapitalisme, liberalisme bahka mengharamkannya dengan jutaan fatwa dan ludah yang tersemprot dari mulut yang berlagak suci. Namun mengapa tidak mengadopsi kewarasan-kewarasan dan update-update logis ketika menentukan batas teritori wilayah atau kekuasaan seorang adipati kelas teri dengan menciptakan bujur sangkar - bujur sangkar yang jelas sebagai batas administratif sehingga memudahkan seorang anak kecil mengelola peta kognitifnya atau memudahkan dalam pembuatan peta ataupun mencari sesuatu alamat tanpa harus belok-kaan belok kiri atau zigzag seperti bentuk-bentuk persimpangan empat jalan yang jarang sekali lurus. Betapa para punggawa itu sudah melakukan pembelajaran hingga sekolah di amerika dengan bangganya namun tidak juga membawa perubahan pada ranah-ranah kekuasaan atau minimalnya pembentukan peta administratif yang jelas karena sangat terang bahwa itu adalah tinggalan politik pecah belah devide et impera untuk menciptakan berbagai rasa kecemburuan dan kecurigaan antar wilayah administratif yang mudah disulut, dengam membentuk garis batas wilayah seindah iler di bantal, berkelok-kelok mirip alunan garis di kain batik. (idiot)

Ataukah memang semua trik-trik pangreh projo dan pecah belah devide et impera memang masih berlaku, dengan memelihara aliran-aliran keras agama-agama yang jelas memiliki kesempatan untuk meledak sewaktu-waktu, sementara dalam konstitusi sangat pasti dikatakan bahwa negeri begajul adalah berazaskan sesuatu yang diperas dari nilai-nilai universal kemanusiaan, atauka itupun hanya omong kosong belaka, agar bisa laku dagangannya di dunia internasional. Tak ada yang tahu karena sayapun hanya sekedar user, yang makin bingung dengan adanya gedung-gedung dan korporasi berstandar internasional, dan mengapa ada internasional ketika suku daerah terpencil adalah hanya sebagai pelengkap istilah internasional dari luka-luka jahitan penjajah keparat yang sekarang sudah menjadi sahabat, dan ah.. memang hal itu tak usah diungkit-ungkit lagi, toh para pejuang yang berperang itupun pada suatu waktu dalam sejarah telah diberikan kesempatan dan syarat untuk memeluk negara ini namun cenderung kembali menjadi rakyat biasa dan berkarya disana di desa-desa yang jauh dari peradaban.

Atas