Feature Leaders, bukan Future Leaders yang menjadi program sebuah CSR dari perusahaan telko di Negeri Begajul. Future Leaders hanyalah menciptakan manusia-manusia siap pakai untuk bertempur dan berkompetisi dalam dunia global tanpa adanya holistik dengan penyiapan sebagai pemimpin bangsa atau seorang negarawan. Berbeda dengan Feature Leaders yang sangat dibutuhkan (istilah sendiri - boleh protes) Negeri Begajul, dimana diperlukan seorang pemimpin atau banyak orang yang memiliki ciri-ciri struktural yang benar dan bisa berpikir waras tentang negerinya.
Masa-masa bulan madu kemerdekaan memang sudah sangat lama, kemudian diwarnai dengan masa-masa eksperimentasi demokratisasi maupun perebutan pengaruh politik dari banyak ideologi campur aduk yang di rangkai menjadi ala Indonesia namun tetap kelihatan asing, karena tidak memberikan kesejahteraan dan suasana bathin bagi seluruh warga bangsa yang memuaskan.
Masa eksperimentasi tersebut masih berlangsung hingga saat sekarang dan entah sampai kapan, dimana banyak juga bermunculan sosok anak bangsa yang memiliki kecerdasan dan jiwa kepemimpinan jernih untuk bangsa namun harus terhalau mimpinya karena kepentingan kuasa, politik, maupun kekerasan apapun yang terpaksa membuatnya gagal melanjutkan mimpinya atas nama negara yang tentunya diwakili oleh aparatus dan tentara. Kadang penggunaan nama negara sendiri bisa mengacu pada diri seseorang, partai ataupun hanya sekedar jargon yang saat ini dikenal sebagai pengalihan isu, atau lebih cilaka lagi ketika itu untuk mempertahankan nama baik untuk mempertahankan jabatannya. Dalam hal perjuangan untuk mempertahankan hidup itu sah-sah saja, namun kenapa bisa sulit dikalahkan, itu menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan-permasalahan yang ada karena trend eksperimentasi yang masih berproses dan memiliki banyak celah keamanan karena permisifnya kebijakan dalam aturan pelaksanaannya dan juga ditambah semangat untuk tidak melaksanakan sesuai kesepakatan yang ada. Campur aduknya dan kekurangmatangan implementasi, serta penerusan sejarah kekuasaan Belanda pada Negeri Begajul menjadikan lapangan konflik yang tak akan ada habisnya dan sumber kebocoran kekayaan negara.
Saat ini sedang di bahas Rancangan Undang-Undang Desa atau #RUUDesa, entah pada awalnya adalah kepentingan siapa, berpihak ke bawah atau ke atas atau ke luar juga belum jelas, namun semangat untuk perbaikanlah yang patut disyukuri. Semangat yang harus selalu digelorakan dan dibisikkan oleh Gerakan Desa Membangun. Semangat dari bawah dengan landasan kemandirian untuk mencapai kesejahteraan sendiri yang berimpak lebih dari baik untuk negara yang sedang sekarat karena digerogoti dari pucuk pimpinannya sendiri.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
Sebuah pengakuan setengah-setengah dari kekuasaan atas struktur bangsa yang menopang hidupnya sendiri, frasa 'sepanjang masih hidup' sangat terasa sekali betapa hukum adat dan hak tradisional hanya dibiarkan saja, tidak dipelihara, ditumbuhkan dan akan diganti dengan prinsip baru yang harus sesuai dengan kepentingan nasional yang ditarik lebih jauh lagi adalah kepentingan global internasional.
Demokrasi Indonesia akan segera menemukan kekhasan dan karakteristik keIndonesiaannya 'demi waktu' melalui perjuangan, benturan dan mungkin tetesan air mata dan darah yang selalu saja mengalir untuk menemukan kompromi dan formula Demokrasi yang benar-benar Indonesia dan membumi di bumi pertiwi.
Betapa tidak, Demokrasi sendiri adalah bahasa Yunani dan dibawa ke Negeri Begajul dengan kepentingan global yang berhadapan dengan jenius lokal yang memiliki 'demokrasi' tersendiri dan tidak bisa dengan serta merta di anggap salah, karena memiliki dasar alasan dan perenungan panjang yang sangat mungkin tidak ada dalam teori-teori kelas, teori kritis maupun teori dari angan-angan tokoh kampus yang besar namanya.
Mungkinkah RUU Desa bisa menjadi tonggak dan pemicu untuk berpikir lebih jernih tentang struktur penyusun pondasi negeri begajul tanpa harus kopi paste dari negara lain yang jelas sangat berbeda. Sudah terlalu banyak korban atas nama kepentingan nasional yang keuntungan akhirnya hanya masuk ke kantong-kantong kelompok atau individu tertentu yang dikenal dengan nama 'tikus', 'pengkhianat', 'kejahatan kerah putih', 'koruptor', maupun banyak istilah keren lainnya yang menjadi komoditi para pewarta untuk melariskan koran maupun media beritanya. Wallahualam.