Desa Berdaya, seperti apakah desa berdaya itu? Super sulit dijawab, bahkan oleh warga desa sendiri, apalagi kepala desanya yang kadang punya agenda sendiri. Pemilik agenda luar desa lainnya jelas adalah Sekretaris Desa yang seorang Pegawai Negeri Sipil, jauh untuk dikatakan dia adalah pegawai desa. Lebih lagi orang-orang pokok di Desa cenderung dinamakan sebagai 'perangkat' atau 'device' atau 'alat'. Sungguh runyam memang Desa saat ini, maunya apa, keinginannya apa, ujung-ujungnya 'duitnya mana?'.
Ada tulisan tentang 'Pertaruhan RUU Desa' yang ditulis oleh Arie Sujito Sosiolog UGM; Koordinator Tim Advokasi RUU Desa IRE Yogyakarta, di Kompas pada tanggal 3 Januari 2013 yang lampau. Tulisannya seperti ini:
Pertaruhan RUU DesaKamis, 3 Januari 2013 | 02:10 AMOleh Arie SujitoApa sebenarnya yang diharapkan masyarakat desa atas Rancangan Undang-Undang Desa yang sekarang dalam pembahasan oleh pemerintah dan DPR?Jawabnya sederhana sekaligus mendasar: diharapkan RUU Desa mencerminkan pengakuan eksistensi desa dan menjadi pintu gerbang perwujudan kesejahteraan bagi masyarakat desa.Karena itu, jika tiba-tiba elite desa seperti para perangkat desa berbondong-bondong menuntut ke DPR dan pemerintah agar mereka diangkat jadi pegawai negeri sipil, itu sesungguhnya bukan aspirasi otentik warga desa. Tak ada hubungannya dengan tujuan pengaturan desa berbentuk UU. Bahkan, dapat disebut bumerang atau kontraproduktif.Dari sekian argumen yang diperjuangkan aktivis LSM, akademisi, tokoh lokal, ataupun jurnalis, isu tuntutan para elite desa semacam itu tidak pernah jadi perhatian substansial. Draf alternatif berupa naskah akademik ataupun pasal-pasal dalam RUU Desa sebagai pembanding berorientasi pada penguatan masyarakat, bukan elite desa.Tiga halPaling tidak, ada tiga hal penting menyangkut substansi RUU Desa. Pertama, soal kejelasan kewenangan desa sebagai wujud pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang Pemerintahan Desa diberlakukan, praktis tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik maupun sosial ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel ”Jawanisasi”, bertujuan agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam arus kebijakan.Sejak reformasi, upaya memperkuat kembali desa mulai tumbuh lewat UU Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999). Regulasi itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada hak asal- usul. Gairah kebangkitan desa begitu terasa, terutama membenahi tata pemerintahan, memperkuat kemandirian, dan mempraktikkan demokrasi konteks desa. Beberapa capaian bisa dipetik, seperti meningkatnya partisipasi warga, perbaikan perencanaan dan implementasi pembangunan, serta berfungsi checks and balances kekuasaan desa.Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama. Ketidakpastian politik telah menyebabkan terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alih-alih revisi, justru UU menghadirkan corak resentralisasi. Desa kembali tersubordinasi pemerintah kabupaten, cermin kemunduran paling nyata desa di era reformasi.Hanya satu hal yang bisa diapresiasi: adanya alokasi dana desa (ADD) sebagai bentuk redistribusi sumber daya dari negara kepada desa. Meski dalam praktiknya tak semua kabupaten taat memenuhinya, ADD sebagai hak desa malah kerap dipersulit.Atas pertimbangan itu, mestinya RUU Desa kali ini mengembalikan kewenangan desa secara lebih jelas dan konsisten diterapkan. Hal ini seiring dengan tuntutan paradigma pembangunan berorientasi pemberdayaan, yang menempatkan masyarakat desa sebagai subyek. Kewenangan otonom desa itu jadi dasar mengatasi kecenderungan kooptasi pemerintahan di atasnya.Kedua, penghargaan kemajemukan desa. Bagaimanapun, format, struktur, dan pola desa di Indonesia begitu beragam. Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai sebagai kekayaan khas bangsa. Tidak mungkin variasi itu dimatikan dengan cara penyeragaman sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Di situlah RUU Desa semestinya merawat dan mengembangkan kemajemukan yang dirumuskan pengaturannya menyesuaikan kondisi lokal.Ketiga, reformasi perencanaan dan penganggaran pembangunan serta redistribusi sumber daya ke desa. Problem kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai ketidakadilan sesungguhnya bersumber pada pola pembangunan yang tak bertumpu pada partisipasi desa. Pembangunan hanya menempatkan desa sebagai obyek dari ragam proyek pemerintahan di atasnya. Itulah model ”pembangunan di desa”, di mana desa hanya menjadi lokasi. Yang diperlukan adalah paradigma ”desa membangun” yang substansinya desa sebagai subyek.Rawan dibajakKe depan, jika desa diberi kesempatan berpartisipasi aktif dalam pembangunan, mandiri mengelola sumber daya dan aset- asetnya, kemungkinan akan berdaya, tidak bergantung pada pemerintah. Pemberian ADD kepada desa yang telah dilakukan selama ini tentu sangat relevan sekalipun harus dibenahi. Perlu peningkatan besaran ADD dan pembenahan kelola melalui konsolidasi program pembangunan dan anggarannya dalam satu pintu. Konsekuensinya, perlu memastikan desa memiliki kapasitas mengelola sumber daya secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.RUU Desa jadi pertaruhan masa depan desa. Tantangannya adalah, di satu sisi, apakah para pemegang otoritas memiliki komitmen melakukan pembaruan dan memperbaiki nasib warga desa mendorong transformasi desa ke arah demokrasi yang menyejahterakan. Di sisi lain, masyarakat sipil yang peduli atas nasib desa dituntut aktif mengawal RUU Desa agar tidak terdistorsi. Jangan sampai RUU Desa dibajak oleh kepentingan segelintir elite politik nasional ataupun lokal, bahkan oleh perangkat desa sekalipun.Sumber : Kompas Cetak 3 Januari 2013
Tarik menarik kepentingan dan eksperimentasi penguasaan sumber daya menjadikan semuanya menjadi abu-abu, mana yang akan dianut dan diperuncing untuk menyelesaikan soal. Hingga mungkin diantara 60ribu kepala desa yang ada saat ini untuk menjelaskan apakah kewenangan desa sekarang ini, mungkin hanya beberapa gelintir yang bisa menjawabnya. Karena eksperimentasi kekuasaan telah mengikis nilai-nilai demokrasi maupun praktek penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis keluarga, kedekatan geografis dan kepentingan yang lebih dekat dengan nurani orang hidup secara komunal.
Demokrasi dan kesantunan hidup di desa yang berjalan lama hingga menjadi dinamakan hak asal-usul, menjadi demikian sulit untuk ditemukan lagi karena politik kekuasaan di tingkat nasional dan daerah yang mengharuskan menelan secara mentah demokrasi yang berarti 'veto' atau 'suara' secara kasar, bukan pada substansi pengambilan keputusan yang bijak, namun harus adu otot, alasan pembenaran dan sekali lagi 'suara'.
Ruang-ruang pertemuan untuk belajar dan bercengkerama antar warga harus di 'setup' menjadi ruang antara pemerintah - warga, perangkat - warga ataupun negara - warga, sehingga tak ada lagi kebersamaan yang sejajar untuk mengembangkan dan mengolah kebijakan lokal yang dicerap dari kepentingan bersama. Keistimewaan demokrasi di Desa sudah ternoda dengan demokrasi import yang semakin membuat jarak dan pengagungan pangkat dan kekuasaan, sekali lagi karena menang 'suara'.
Istimewa-nya wewenang Lurah ataupun perangkat desa lainnya akan semakin musnah ketika mereka menjadi PNS, itu jelas. Keistimewaan inipun semakin tergerus dengan demokrasi yang sakit, bukan demokrasi yang mengakar, disepakati dan dipahami orang desa. Hilangnya keistimewaan atau wibawa petinggi, elit desa memang tidak bisa dilihat dari hal ini saja, namun juga kelakuan orang-orang jaman sekarang yang semakin terjauhkan dengan hal-hal yang bermuara kebijaksanaan menjadi sesuatu 'kebijaksanaan logis, keluaran dari sistem pendidikan nasional yang memaksakan secara akademis.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat saat ini hanyalah 'coping behaviour' dan 'idola', mereka hanya akan mencontoh tauladan dari praktik-praktik yang sudah ada secara nyata, dan celakanya adalah keseluruhan contoh praktik dan model yang tersedia, tak mampu untuk bisa dikatakan tepat secara konteks. Ditambah dengan setumpuk aturan dari pemerintah yang asalnya dari 'pengandaian'.
Belum telat, memang ketika harus dilakukan dan diperjuangkan untuk melakukan pembenahan. Namun dari apa yang mungkin dari RUU Desa sendiri semakin dipersempit misalnya pengartian dan pemaknaan hingga definisi tentang desa sendiri. Dari yang mengakui sebagai komunitas mandiri dan merdeka, hingga desa yang disebut sebagai 'masih dalam proses'. Menghidupkan kematian-kematian budaya yang sudah ditinggalkan dengan permak 'konteks' kekinian yang semakin menambah rumit, karena tiada siapapun yang tahu pasti.
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, mungkin bisa dijadikan contoh atau laboratorium tentang kemerdekaan dan kedaulatan komunitas Mataram. Meski para birokrat dan pegawai yang berasal jauh dari kesejarahan dan tidak paham sejarah tentang Yogyakarta saat ini harus mati kutu dan tidak tahu apa yang harus diperbuat tentang 'keistimewaan'. Adalah contoh dalam bingkai besar tentang ketidaktahuan dan korban praktek pemerintahan ala 'orde baru' yang menghilangkan itu semua dengan sangat sukses dan terus direproduksi hingga saat ini.
Jokowi mungkin bisa memberikan contoh tentang bagaimana menjadi pemimpin daerah dengan kaca mata warga, meski saat ini mungkin malah nampak lucu seperti 'Kabayan'. Atau karena tak memiliki teknologi atau cara yang lebih praktis, namun bagaimanapun unik. Tak terbayangkan apabila Jokowi adalah seorang pemimpin spiritual atau raja, yang menjadi penguasa tanpa harus kampanye dan pemilihan 'suara' langsung. Dan toh dengan pemilihan 'suara' langsung pun hanya beberapa gelintir penguasa yang mau #blusukan atau #pecicilan kesana kemari. Hal ini akan lebih mudah diakukan oleh para pemimpin yang lahir dari demokrasi 'istimewa' pada desa-desa atau ketua suku dahulu, karena warga tahu betul, siapa orang itu.
Pertaruhan RUU Desa tulisan di atas memang mengingatkan betapa rumitnya permasalahan desa ketika dikaitkan dengan kepentingan nasional yang berada jauh diseberang baik niat, tujuan, kemampuan maupun pada praktik aplikasinya. Atau jangan-jangan kita tidak butuh RUU Desa ini?. Menjijikkan benar kalau ingat Demo Desa Begajul.