Undang-Undang Desa sudah disahkan sejak Januari tahun 2014. Pada dua tahun implementasi UU 6 tahun 2014 tentang Desa ini masih terasa kesenjangan dalam pengetahuan akan substansi Undang-Undang Desa dengan implementasinya. UU Desa lebih menjadi dimaknai sebagai Dana Desa yaitu sebuah Undang-Undang yang akan mendatangkan uang ke desa sebanyak 1 Milyar Rupiah.
Pertama-tama tulisan ini bukanlah hasil riset atau apapun, namun hanya dari sekedar melihat dan merasakan dari apa yang terjadi karena kepikiran apa sih efek uang Dana Desa yang mungkin nantinya akan sampai pada 1 Milyar per desa per tahun dan bahkan mungkin lebih atau akan naik menjadi lebih banyak, dan apa efek perubahan yang ada di Desa. Sebuah beban yang tinggi bagi APBN meskipun ini adalah amanat Undang-Undang yang dirancang demi sebuah jalan singkat menuju kesejahteraan dan perbaikan Desa sebagai sokoguru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Investasi keuangan hingga politik, maupun investasi dari upaya pemberdayaan bagi perbaikan pemahaman kembali tentang mengapa kita perlu adanya Desa yang memiliki kemandirian.
Pemahaman akan Undang-Undang Desa dari tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah seakan tidak terdistribusikan dengan baik. Memang mungkin ini memerlukan waktu yang lama, namun jika tidak ada kemauan untuk mengedepankan substansi akan apa yang ada dalam UU Desa, bukan tidak mungkin, cita-cita UU Desa akan mangkrak seperti apa yang terjadi selama 2 tahun ini. Sungguh sayang bukan UU Desa tidak pernah dibaca dan dilaksanakan, namun hanya berlandaskan APBDesa dan instruksi dari Peraturan Menteri Desa untuk membuat prioritas dana desa pada tahun tertentu. Dan apa yang diinstruksikan pun terbatas hanya pada kata 'dana desa'. Sebuah kecelakaaan politik yang sama sekali tidak mendidik. Apalagi ditambah dengan 'dana desa jumlahnya sedikit, tidak sebanding dengan dana ADD, namun Dana Desa penuh dengan keruwetan dan kesulitan untuk melaksanakannnya, di tingkat Desa'.
Sungguh menyedihkan pada satu sisi. Namun harus kita lihat juga apa saja yang menjadi penghasilan desa selain 'Dana Desa'. 7 pendapatan desa adalah (1) Pendapatan asli desa, terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa; (2) Alokasi APBN (Dana Desa); (3) Bagian dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kabupaten/kota, minimal sebesar 10% dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; (4) Alokasi Dana Desa, yaitu bagian dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota diluar DAK (DAU dan DBH) sebesar 10%; (5) Bantuan keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota; (6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan (7) Lain-lain pendapatan desa yang sah. Jadi dapat dilihat dengan jelas bahwa sebenarnya Desa dapat mandiri, bergeliat dan maju, dengan pengelolaan dan menajemen desa yang baik.
Dana Desa dan implementasinya memang indikator yang bisa terlihat secara nyata. Ada uang berapa lantas bagaimana perkembangannya. Namun apakah hanya sekedar hal tersebut? tentunya tidak, sekumpulan manusia, keluarga yang tergabung dalam satu komunitas desa adalah sebuah kekuatan yang hebat, apabila di kelola dengan baik, dengan satu syarat yang jelas saat ini yaitu : Memahami Undang-Undang Desa.
Undang-Undang Desa memang tidak bisa berjalan dengan sendirinya. UU memerlukan banyak peraturan dibawahnya hingga ke tingkat desa untuk dapat dijalankan dengan baik. Namun apabila tidak ada peraturan dibawahnya pun, artinya jika ada pelanggaran berarti pelanggaran terhadap Undang-Undang, yang bisa dituntut di muka pengadilan.
Banyak lembaga negara, maupun masyarakat sipil yang mencoba memikirkan hal tentang bagaimana membuat UU Desa bisa berjalan sebagaimana mimpi yang dititipkan dalam UU Desa. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat masyarakat Desa dan Pemerintah Desa dapat menjalankan UU Desa dengan mudah karena sebenarnya UU Desa didapatkan dari kekuatan-kekuatan yang ada di desa. Jadi bagaimana membuat masyarakat desa menemukan kembali kekuatannya untuk bangkit menggunakan Undang-Undang Desa yang disarikan dari Desa sendiri. Namun mengapa banyak hambatannya? apakah hambatan tersebut adalah dari Pemerintah, aparatur desa, kabupaten ataukah masyarakat sendiri yang sudah melupakan desa, atau nilai-nilai berdesa yang sudah dilupakan atau hilang. Nah mengapa ini terjadi, apakah benar nilai-nilai berdesa sudah hilang? Jika hilang mengapa dan bagaimana kita bisa menemukembali nilai-nilai tersebut?.
Undang-Undang Desa memang berhasil menelorkan dan mendatangkan duit trilyunan dari APBN ke seluruh Desa di Indonesia. Namun cilakanya Undang-Undang Desa sudah dianggap memiliki kekuatan sendiri untuk dapat dijalankan secara politis dan birokratis. Namun ada yang benar-benar dilupakan adalah aspek pendidikan kepada anak keturuan dan anak-anak desa sendiri yang harus belajar kesana-kemari untuk dapat mengetahui tentang UU Desa ini. Harus ada masyarakat sipil atau NGO yang dengan kerelaannya masing-masing turun ke desa memberikan dengan topeng belajar bersama masyarakat desa untuk dapat menyelamatkan dan mengawal Desa dalam menjalankan UU Desa terutama dalam penggunaan dana desa. Anak-anak muda desa harus belajar sendiri mencari jalan-jalan alternatif untuk dapat memahami Undang-Undang Desa. Sementara dari pihak Pemerintah atau penguasa sendiri tidak menggunakan kekuatannya melalui pendidikan formal dari tingkat Dasar tentang bagaimana memahamkan nilai-nilai dan substansi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa ini. Instrumen pendidikan formal bahkan tidak dipergunakan sama sekali, baik sebagai muatan lokal ataupun sesuatu yang wajib bagi peserta didik tentang bagaimana berdesa kembali.
Sebuah keniscayaan untuk membuat Desa lebih maju dan implementasi UU Desa yang lebih bagus lagi yaitu dengan memasukkan UU Desa atau berdesa atau merdesa atau apalah ke dalam kurikulum pendidikan yang resmi di sekolah-sekolah, atau setidaknya sebagai muatan lokal yang mengarah pada pembangunan desa yang lebih membumi. Karena toh berapa banyak lulusan tingkat dasar dan menengah yang pada akhirnya mengisi ruang-ruang di desa, namun kebanyakan hanya menjadi obyek pembangunan desa saja. Bukan tidak mungkin desa memiliki kemampuan untuk mengelola dengan lebih baik.
Sungguh disayangkan bahwa penguatan tentang Undang-Undang Desa dan implementasinya hanya diberikan secara formal dan informasi yang terlalu sedikit melalui bimtek kepada aparatus dan pemerintah desa yang merupakan bagian dari birokrasi yang selama ini selalu saja menggerogoti dan bergelayutan menambah beban negara.