Senjakalaning rekonsiliasi memang tidak terjadi saat ini saja, namun memang belum pernah ada kabar gembira tentang topik rekonsiliasi, terkecuali islah atau rekonsiliasi kepentingan partai. Kepentingan partai jelas untuk menghidupi banyak orang, yang prakteknya hidup sejahtera hanya milik elite saja. Mempertahankan kesejahteraan kehidupan memang butuh modal, dan juga berlawanan dengan kepentingan banyak orang. Senjalakaning rekonsiliasi bisa jadi disebabkan bukan oleh kepentingan banyak orang namun kepentingan beberapa elite atau kelompok yang memiliki pengaruh.
Presiden Jokowi mengatakan untuk melakukan rekonsiliasi untuk tujuh kasus pelangggaran HAM berat masa lalu. Ketujuh kasus itu adalah Trisaksi, Semanggi 1, Semanggi 2, Wasior di Papua, Peristiwa tahun 1965, Talangsari, dan penembakan misterius. Presiden terlihat sangat jelas memahami bahwa untuk menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu dengan cara negara adalah dengan rekonsiliasi.
Prasetyo memaparkan, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diselesaikan termasuk tujuh rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ketujuh kasus itu antara lain peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talang Sari Lampung 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003. CNN.
Pemerintah akan meminta maaf kepada PKI
Hingga saat ini tidak terdengar lagi dimana dan bagaimana cara melakukan rekonsiliasi ini. Mengapa? Ketika Pemerintah mengumumkan akan melakukan peneraan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Media besar memberitakan bahwa Pemerintah atau Jokowi akan melakukan permintaan maaf kepada PKI. Isu yang dihembuskan dengan 'miss leading' kemauan politik melakukan rekonsiliasi demi masa depan cerah Indonesia. Sontak berubah total, karena apa? Pemerintah ketakutan ketika disebut akan meminta maaf kepada PKI.
Belum lagi organisai KontraS, yaitu Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasaan, sebuah NGO di Jakarta, menganggap bahwa wacana rekonsiliasi bukanlah solusi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu. Hal ini muncul sejak lama karena banyak organisasi masyarakat sipil yang tidak percaya pada rekonsiliasi, lebih tepatnya mereka khawatir bahwa rekonsiliasi yang lebih sering diartikan sebagai maaf memaafkan, seperti ketika Idul Fitri, adalah bukan jalan penyelesaian karena tidak diketahui siapa melakukan apa dan tidak ada proses pengadilan, apalagi proses pengungkapan kebenaran.
"Niat Presiden Joko Widodo menyelesaikan masalah HAM berat masa lalu sudah tertuang dalam Nawacita, versinya Menkopolhukam ini salah tafsir," kata Ketua Divisi Advokasi dan Hak-hak Korban KontraS Feri Kusuma, Kamis (31/3).
Feri menegaskan bahwa tuntutan mereka adalah agar presiden menginstruksikan Kejaksaan Agung mengusut tuntas pelanggaran HAM masa lalu bukan malah rekonsiliasi. "Rekonsiliasi bukan jawaban tapi hak korban," kata Feri.
Rekonsiliasi adalah hak korban, demikian kata seseorang dari Kontras dikutip oleh CNN.
Rebutan nama Korban
Seperti banyak kita ketahui. Orang umum mengartikan rekonsiliasi secara salah. Rekonsiliasi sudah melekat pada permasalahan tragedi 1965. Mengapa itu tragedipun boleh jadi banyak orang yang tidak tahu. Rekonsiliasi kemudian banyak ditolak secara besar-besaran hanya karena permasalahan tentang Tragedi 1965 tidak pernah tuntas dan ada niatan untuk menyelesaikannya, disamping karena peristiwa 1965 yang melibatkan seluruh komponen bangsa ini terlalu mengerikan, menakutkan, selalu direproduksi bahwa PKI selalu salah, tidak ada yang membela PKI dan tentu saja akan sulit didata berapa kekayaan dan aset PKI yang masuk ke kantong-kantong kepemilikan orang-orang tertentu.
Pelaku maupun korban dalam peristiwa tragedi 1965 yang menewaskan 3 juta warga Indonesia tak bersalah ini menjadi sebuah isu seksi untuk melakukan kelit dari apa yang dahulu dilakukan. Para eksekutor atau jagal yang memiliki ketegaan dan kesadisan lebih parah dari ISIS di Irak dan Suriah ini adalah orang yang hanya diperintah, diperintah oleh sepasukan tentara, dan sepasukan tentara inipun adalah orang-orang yang hanya diperintah. Orang-orang yang katanaya tidak tahu dan hanya menjalankan perintah ini berusaha mengubah posisi mereka menjadi Korban, karena ketidaktahuannnya dan karena hanya diperintah dan dipaksa, sehingga kepepet. Namun mereka sebenarnya tidak diperintah untuk melakukan pencurian, pemerkosaan dan hingga pada perebutan aset milik warga yang dianggap PKI.
Perebutan nama korban ini tidak pernah terselesaikan. Karena memang tidak ada niatan baik dari para penikmat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu untuk melakukan perbaikan kesalahan atas tragedi semacam pembunuhan komunisme di tahun 1965 hingga tahun-tahun setelahnya sampai saat ini.
Pengungkapan Kebenaran
Pengungkapan kebenaran adalah kata lain dari pengungkapan kesalahan. Jika ada yang benar maka akan ada yang salah. Demikian pula sebaliknya. Orang-orang yang sudah dipersalahkan akan mengungkapkan apa yang dipersalahkannya dan apa yang membuatnya menjadi benar. Hal paling mengerikan seperti ini jelas sangat ditakuti banyak orang, mengapa karena orang korupsi pun harus menunggu penyelidikan KPK untuk kemudian ditangkap, dan kemudian masalahnya ditera kembali di pengadilan.
Jadi untuk pengungkapan kebenaran inipun harus dilakukan riset-riset dan penelitian yang jelas agar dapat menemukan fakta-fakta pelanggaran ham berat masa lalu, meski korban yang sudah meninggal dunia tidak bisa dihidupkan kembali.
Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi 2 yang baru kemarin sore saja sulitnya minta ampun untuk diselesaikan apalagi kasus 1965 yang sudah lebih dari 50 tahun. Sementara orang-orang yang bermasalah dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masalalu ini menggunakan peristiwa 1965 sebagai peluru untuk menolak rekonsiliasi semuanya. Celaka bukan?. Bahkan mungkin ada yang meramalkan adanya perang saudara lagi karena kasus 1965 akan dibuka kembali. Kecongkaan seperti ini sama sekali tidak selaras dengan cita-cita kemerdekaan, bahkan mungkin cita-cita orang untuk hidup berdampingan bersama dengan banyak orang.
Sudah takdir rupanya untuk mengetahui kebenaran adalah sesuatu yang sangat mengerikan, jadi akan banyak orang yang menolaknya, bahkan mentah-mentah.
Pengungkapan dengan riset sudah dilakukan meskipun memang belum banyak namun ada di sini. Posisi Pelanggaran HAM berat masa lalu posisinya masih saja terkatung-katung menurut Kontras.
Bahwa dalam peristiwa 1965/1966, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan berkas hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Jaksa Agung. Terakhir, pada 10 Juli 2012, Komnas HAM dengan surat No. 164/TUA/VII/2012 menyerahkan berkas hasil penyelidikan peristiwa ini kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung kemudian mengembalikan berkas tersebut kepada Komnas HAM dengan surat No. R-126/A/F.6/10/2012 tanggal 25 Oktober 2012 beserta petunjuk belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM berat untuk dilanjutkan ke tahap Penyidikan.
Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Semakin dilupakan dan Tidak Penting
Permasalahan kekinian akan lebih nampak besar dibandingkan dengan permasalahan masa lalu. Kata orang 'Lupakan Masa Lalu', menjadi benar adanya, benar secara fakta dan menghibur diri bahwa tidak memiliki simpanan masalah masa lampau. Padahal apa yang dipelajari dan menjadi aras untuk menuju langkah di depan tidak dapat dipungkiri bahwa masa lalu memiliki peran yang sangat signifikan. Bahkan gerakan-gerakan radikal yang independen dan intoleran saat ini mereka membawa khabar dan ideologi kuno yang umurnya lebih dari 1000 tahun.
Senjakalaning rekonsiliasi untuk perdamaian di Indonesia semakin jauh menjadi hal yang selalu saja deadlock. Tidak ada keberanian menghadapi sejarah sendiri dan tenusaja tidak bisa untuk mengatasi hubungan yang menyakitkan. Baik kepada diri sendiri maupun negara lain. Sungguh menyedihkan.
Masa lalu dan masa depan sebagaimana saat ini, adalah permasalahan yang ada di hadapan kita. Memikirkan masa lalu dan masa depan bukan berarti kita kehilangan saat ini.