Linguistik atau bahasa adalah ujung tombak berkomunikasi, di dalamnya bernaung banyak sekali arti dan makna. Agar dapat tercipta makna yang positif, nalar pikir budaya dan rasa bahasa yang indah tentunya harus bisa dipahami dua atau banyak pihak lainnya dalam keadaan yang setara atau interdependensi, yang mana berkaitan satu dengan lain. Bahasa juga dapat dijadikan banyak parameter seperti kedalaman imu, maksud itikad dan sebagainya selain kesantunan dan kerjasama bukan hanya menjadi simbol atau malah senjata untuk saling ancam atau menikam antara satu dengan lainnya.
Proses penggunaan bahasa tersebut dinamakan komunikasi, yaitu transmisi bahasa antara dua atau lebih antar muka agar terjadi kesepahaman maksud untuk menuju ke sesuatu yang diinginkan antar muka tersebut, juga muka menjadi ujung tombak dalam komunikasi karena jika ada ketimpangan makna atau kepentingan maka salah satunya akan kehilangan muka karena salah dalam menjaga mukanya, Goffman (1967). Sehingga akhirnya berkembang menjadi sebuah transaksi yang dikenal dengan kesantunan transaksi komunikasi, Brown dan Levinson (1978, 1987), yaitu kedua antar muka atau orang tersebut harus saling memperhatikan keinginan antar keduanya apakah positif atau negatif, jarak sosial, relasi kuasa, dan status relatif tindak tutur yang dilakukan oleh kedua subjek dalam ranah budaya komunikasi sebagai sebuah konteks.
Peralihan arti yang sangat tajam ketika media menjadi sebuah kata tersendiri yang mewakili sebuah wadah jurnalis. Dari sebuah media yang menyatakan proses atau papan menjadi media yang berarti sebuah usaha atau pekabaran baik online, offline maupun audio visual. Entah karena apa media informasi atau papan informasi atau wadah informasi tersebut yang pada akhirnya menjadi raksasa, dan menjumbuh menjadi media massa, media masyarakat atau apapun, pada awalnya adalah media ekspresi untuk mengemukakan sesuatu, bertransaksi, berkomunikasi baik searah maupun dua arah, menjadi sebuah industri yang demikian mempesona dengan hingar bingar pengaruh yang luar biasa sehingga bisa menjadi ancaman, tempat sampah, tempat refreshing atau apapun selain menjadi mahluk yang paling tidak sopan karena bisa menembus ruang batas privasi siapapun, dimulai dengan radio atau televisi yang tanpa kulonuwun memberikan transmisi informasi apapun kepada kita yang menyetelnya bahkan hingga di tempat tidur rumah-rumah yang pagarnya tertutup rapat.
Tersebutlah tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai aksi satu-arah, komunikasi sebagai aksi berinteraksi, dan komunikasi sebagai aksi transaksi. (John R. Wenburg & William E Wilmot juga diamini oleh Kenneth K Sereno dan Edward M. Bodaken). Sebagaimana dalam kehidupan bernegara pun negara harus mampu menjalin komunikasi yang santun dan jelas dalam 3 kerangka pemahaman di atas dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan regulasi kenegaraan diwakili dengan pemerintah sebagai salah satu devices atau antar muka yang bisa aktif melakukan komunikasi dan bertransaksi dengan warga negara, sementara legislatif dan yudikatif adalah antar muka yang lainnya untuk saling mengontrol dan mitra wicara atau tutur. Apabila negara dapat memberikan media berkomunikasi yang jelas, terarah dan sistematis tentunya akan dengan mudah warga negara menjalin komunikasi dengannya, dan salah satunya adalah dengan penyusunan regulasi atau undang-undang yang masuk akal, waras dan tidak tumpang tindih ditambah dengan perwajahan antar muka pengelola atau wakil perwujudannya yang cerdas, ngayomi dan beritikad baik jelas kepada amanat yang diemban. Bukan karena satu titik nila kemudian mencoreng semua perwajahan birokrasi, tentunya selain menjadi penyakit sosial pun mencoreng muka negara minimal pada antar muka salah satu devices yang diwakilinya.
Banyak jika akan di sederhanakan menjadi sebuah regulasi yang membumi, tidak pincang dan mudah dinalar, bukankah sebuah regulasi atau peraturan dibuat untuk memudahkan pelaksanaan bukannya menghambat atau memperkeruh sesuatu yang harusnya jernih untuk menjadi naungan orang banyak pun warga negara dan saudara kita sendiri se-bangsa dan se-tanah air. Salah satu yang semakin mengganjal adalah adanya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kesemuanya mengatur komunikasi transaksional dan hajat hidup orang banyak, dalam kerangka yang dibuat berbeda-beda sehingga menghasilkan inflasi surat ijin yang tak berarti selain menambah biaya dan kesempatan berkolusi dan korupsi di satu sisi, dilain sisi adalah hambatan dan jerat berlapis bagi yang tak kuasa terlibat dalam pasal-pasal karet yang menjerat dengan dua antarmuka positif dan negatif, seperti jeratan pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Dalam UUD 1945 amandemen disebutkan:
- Pasal 28C
- Pasal 28E
- Pasal 28F
(1)Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2)Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
(1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3)Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Meskipun disayangkan masih ada yang seperti ini:
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Saat ini dimana internet menjadi media yang luar biasa pengaruhnya karena kecepatan dan kemampuannya memberikan informasi, baik secara konten satu arah ataupun konten yang dibuat oleh pengaksesnya sendiri yang dikenal dengan web 2.0, pun dengan kekuatan sosial media yang semakin terjangkau meski belum dapat dikatakan murah, diperlukan edukasi dengan affirmative action yang jelas dari negara, masyarakat selalu up to date dengan hal ini dan permisif sementara devices perangkat negara kadang merasa risih karena kecepatan informasi dan kecurigaan tertentu yang kurang beralasan sebenarnya atau karena menganggap ini lahan baru sehingga terjadilah banyak pembodohan publik yang dilakukan. Seperti regulasi keempat UU diatas yang sebenarnya bisa dijadikan satu karena bagaimanapun media sosial atau media massa saat ini akan selalu terhubung ke internet demi kecepatan informasi ataupun memberikan dukungan kemudahan para penggunanya, dan bukan tidak mungkin sudah menjadi sebuah keharusan yang harus dilakukan.
Stasiun radio punya website dan streaming, stasiun Televisi memiliki website dan streaming, dan juga media surat kabar ataupun pers akan memiliki web yang terupdate terus menerus dan juga streaming untuk kabar peristiwa, dan lain sebagainya hingga group band ataupun para blogger yang tentusaja tidak mau kalah meski dengan konten yang akan sangat berbeda tergantung perspektif masing-masing, pun sangat terbuka peluang adanya transaksi antar muka elektronik didalamnya meskipun dengan bantuan pihak ketiga. Sangat plural, bhinneka dan yang jelas akan beradu kreatifitas. Lantas mau apa apakah akan membiarkan regulasi itu makin tidak jelas dengan membuat lagi yang baru dengan peraturan-peraturan dibawahnya seperti permen pahit yang semakin tumpang tindih atau berbuat bijaksana dengan menyederhanakannya menjadi Undang-Undang Media Komunikasi, dimana akan mengayomi kebebasan berekspresi dan berkreasi bagi warga negaranya. Belum lagi masalah keamanan dunia maya yang tentunya akan terlibat dalam setiap aktifitas dan penjamin keberlangsungan akses online baik komunikasi maupun transaksi bagi penggunanya.