Premanisme mungkin bisa dikatakan sebagai penganut kebebasan tanpa hukum, atau bertindak semaunya sendiri, menang sendiri, tidak menganggap ada hal-hal lain diluar atau norma. Bahkan bisa jadi juga norma muncul karena premanisme. Untuk menguatkan kepremanannya atau menjaga kekuasaan dari kekuasaan lain atau kepentingan lain yang mengancamnya. Preman sendiri berasal dari bahasa Belanda 'vrijman' yang artinya 'orang bebas' atau juga dari bahasa Inggris 'Free Man'. Tidak ada hukum dan lain sebagainya yang artinya adalah kebebasan dan melawan hukum, ataupun untuk mempertahankan hukum atau pendapat dengan kekerasan atau menghalalkan segala cara.
Bukan berarti kemudian kebebasan berekspresi akan bermakna kebebasan sebagaimana premanisme, preman cenderung ke hal-hal yang berbau kekerasan dan pemaksaan untuk kepentingan yang hanya sepihak, bukan kepentingan negara atau lainnya, karena maknanya akan jadi berbeda. Namun terkadang premanisme juga terstruktur secara organisasi dan ada pemimpin-pemimpinnya secara hirarki, ini mengarah kepada kejahatan terorganisir atau mafia.
Premanisme sosmed atau sosial media, terjadi bukan karena disengaja, seperti kasus bully dan saling ejek di media sosial. Kadang bisa dikaji dengan baik seperti ketika terjadi adu pendapat di sosial media apapun dalam bentuk diskusi atau perang status, juga tweet, yang acapkali dahulu sering disebut dengan 'twitwar'.
Namun apa yang terjadi terhadap Florence Sihombing di media sosial beberapa waktu yang lalu, sulit untuk dikategorikan sebagai premanisme sosial media. mengapa karena terjadi begitu saja, dan sepanjang belum ada kekerasan fisik belum bisa dikatakan sebagai premanisme sosmed yang sebenarnya karena masih sebatas bully dan caci maki di media sosial. Namun hal baru yang ada adalah sanksi sosial, tidak hanya berlaku di dunia nyata namun juga di dunia internet yang saat ini sudah dianggap sebagai sebuah kenyataan dalam ranah yang agak tipis berbeda.
Menjadi premanisme ketika ada orang atau lembaga yang kemudian mempolemikkan kasus ini ke ranah hukum dengan dasar yang tidak jelas dan kemudian pengusiran. Jika memang ini kemudian terjadi maka bukan tidak mungkin memang ada premanisme di sosial media atas dasar apapun yang menganggap bahwa dirinya yang paling benar, berkuasa sehingga mampu untuk mengambil tindakan yang bisa mencelakakan orang lain.
Hal berkata dan mengungkapkan pendapat atau isi hati adalah hak setiap orang, tidak harus dihormati dengan kegilaan namun adalah hal yang sangat biasa dan manusiawi. Jadi perihal status atau tulisan yang tidak pas di hati atau mengusik pikiran banyak orang sehingga harus diambil tindakan untuk memberangusnya adalah bagian dari perubahan sisi-sisi kemanusiaan kita. Menjadi sebuah pertanyaan besar, manusia macam apakah kita ini?.