Politik Difabel, membayangkannya saja mungkin sudah sulit. Pertama soal politik, karena ulah dan penggunaan politik yang hanya untuk kepentingan sesaat dan kelompok tertentu menjadikannya hilang arti selain menjadi kepentingan tertentu. Kedua soal Difabel, budaya dan pendidikan yang menistakannya bahkan dalam segala bentuk bahasa menjauhkan dari apa pesan yang ada dibalik disabilitas atau difabel yang memiliki arti Different Ability, yaitu tentang kemampuan dan keterbatasan individu yang berbeda-beda. Dua kata yang saat ini berlawanan, berseberangan dari kepentingan maupun pemahamannya, politik cenderung menjadi sebuah tangan untuk menyelesaikan semua persoalan dalam bentuk kata maupun pernyataan yang dikemas menjadi undang-undang ataupun sekedar perjuangan kelompok tertentu untuk berkuasa dan menang. Kedua, difabel membutuhkan banyak tangan dan pemahaman untuk memberikan pelayanan terbaik atau aksesibilitas yang multiguna, meski semuanya akan mendapatkan kemudahan yang sama pada akhirnya.
Difabel adalah kaum atau manusia-manusia yang tersepelekan bahkan mungkin dianggap tidak ada selain untuk proyek-proyek dinas sosial. Omongan dan pendapatnya dianggap tidak umum atau wajar karena sudah menerima dosa yang diberikan oleh kaca mata normal, bahwa kategori tidak normal atau cacat adalah barang yang terbuang dan tak laku di jual. Begitulah kacamata pasar dalam melihat manusia sebagai komoditi perdagangan dan sumber daya manusia semakin membuatnya cacat berkali-kali.
Politik yang sudah dicacatkan sekarang hanya memberikan pemenuhan kebutuhan praktis saja seperti contohnya BLSM, Bantuan Langsung Tunai Masyarakat, secara praktis memberikan uang kepada masyarakat miskin agar bisa beli bensin, karena ini adalah kompensasi kenaikan harga BBM. Pengentasan kemiskinan dengan hanya memberikan bantuan dan pelatihan-pelatihan ketenagakerjaan sementara seleksi tenaga kerja tetap saja standarnya dinaikkan oleh para ahli HRD dan tidak diturunkan sesuai dengan kemampuan masyarakat sekitar agar kemudian baru diadakan peningkatan kapasitas dan mutunya. Pemberian bantuan kepada masyarakat difabel yang dalam kategori ini langsung dianggap miskin karena 'tidak normal' namun dalam pelibatan jaminan kesehatan masyarakat mereka tidak lantas otomatis dianggap miskin namun sakit yang tidak dapat disembuhkan. Serba praktis menurut kacamata pandang orang pintar yang 'di atas'.
Penyelesaian-penyelesaian dan pemenuhan kebutuhan beraroma 'lips service' dan praktis tersebut mungkin sudah menjadi kesepakatan masyarakat tertentu. Kesepakatan yang melihat penyelesaian problema sosial hanya dengan balsem atau plester tanpa pernah mengusik atau melihat akar permasalahan karena dianggap terlalu mahal, atau karena banyaknya persoalan yang tak pernah dapat lagi diselesaikan sehingga sudah tidak mampu lagi berpikir tentang apa yang sedang terjadi selain hanya untuk menutup mulut dan mengenyangkan perut sejam dua jam.
Kesepakatan bersama yang terjadi karena permasalahan yang sama, seperti kemacetan dan tingginya kemiskinan menjadi hal yang disepakati karena semua orang melihat, merasakan, menjadi korban, sehingga dengan berlalunya waktu hal tersebut bukan lagi dianggap sebagai masalah yang luar biasa. Kesepakatan bersama yang menjelma menjadi otoritarianisme seperti yang terjadi di Mesir, Syria dsb saat ini bukan hal yang mengagetkan jika melihat keberingasan kesepakatan bersama untuk mencacatkan para difabel, dengan label 'tidak normal' bahkan 'tak berfungsi'.
Bagaimana dengan Politik Difabel? mungkin ini bukan sekedar hembusan angin saja, namun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sudah tidak tepat lagi jika hanya diberikan secara praktis. Memang penguasa negara hingga tingkat daerah tingkat 2 hanyalah memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Mereka tak sempat lagi membuat visi dan misi yang sebenarnya. Cara pandang penyelesaian secara praktis terbukti tidak mampu menyelesaikan banyak permasalahan sosial apalagi persoalan kaum difabel. Penyelasian dan pemenuhan kebutuhan strategis mereka lebih akan membuka peluang untuk jalan perbaikan lainnya. Bukan seleksi alam yang seharusnya dikedepankan ataupun seleksi buta-butaan namun dalam hal sosial kemanusiaan semua individu memiliki hak untuk bertahan hidup dan mengembangkan hidupnya yang dijamin dengan kesepakatan bersama yang tidak munafik.